Pilihan Politik Kyai NU.
Semula Nahdhatul Ulama adalah sebuah gagasan. Muncul dari sedikit orang yang menyadari konteks dan tantangan sosialnya dan berani menyatakan serta mengorganisasikan gagasan. Gagasan awal itu yang kemudian dikenal dengan istilah Khittah Nahdliyyah. Orang sudah banyak yang tahu isinya, tapi banyak pula yang pura-pura tidak tahu. Jaga ahli sunnah wal jama’ah utuk memahami dan mengamalkan Islam. Persatukan umat dan berdayakan rakyat. Perjuangkan kemandirian, kebebasan dan persaudaraan untuk muslimin, sebangsa dan semanusia.
Gagasan tersebut kemudian menstransformasi menjadi sebentuk organisasi. Awalnya hanya untuk memudahkan gagasan organisasi itu berkembang melului evolusi yang panjang.
Dan kini organisasi itu menjadi ajang perebutan, tanpa perlu tahu apa urusannya. Yang paling diketahui, organisasi itu banyak pengikutnya, konon puluhan juta orang. Dan itu artinya bagi sebagian elitnya, adalah komoditas politik. Itu disadari sepenuhnya oleh orang-orang yang sekarang diberi mandat untuk menghidupkan dan mengembangkan organisasi. Mereka sekarang sibuk menjual NU, atau lagi ngitung-ngitung mana yang lebih menguntungkan, dalam arti harfiah—tanpa peduli apa untungnya untuk pengembangan aswaja, alih-alih menyatukan ulama, mereka memecah belah ulama dalam kubu-kubu, NU telah menjadi mesin politik praktis seperti layaknya sebuah partai politik. Tak sungkan-sungkan bermain uang untuk membujuk ummat, karena mereka miskin gagasan. Tak heran jika kaum muda mensinyalir kaum muda yang dipimpin oleh Ngatiyar demo di panggung krapyak dengan membawa spanduk besar bertuliskan NU menjadi Nahdlotul Uang. Kenyataannya begitu mau dibilang apa??? Berkaca dari pengalaman 2004.
Pertanyaan sekarang, perlukah organisasi ulama itu diselamatkan??? Untuk apa diselamatkan? Siapa yang bisa menyelamatkan? Bisakah Khittah berkembang tanpa harus ada organisasi NU? Siapa yang bisa diharapkan--- pengalaman Mei 2004, Suriah PBNU, mengeluarkan Qaraar dan mengangkat pelaksana harian ketum PBNU, keduanya ternyata tumpul. Hasyim Muzadi tetap lenggang kangkung jadi Cawapres dengan Megawati.
Kita juga harus menghargai usaha dari ulama yang tergabung dalam pertemuan Forum Silaturrahmi Nasional 500-an ulama NU di PP Edi Mancoro Semarang (12 Januari 2009), yang menggariskan partai politik haram hukumnya memakai simbol NU (kenyataannya ada PKNU, PPNUI, PKB). Selain itu juga para ulama meminta kepada jajaran elit PBNU dan jajarannya untuk memasyarakatkan kembali 9 butir pedoman berpolitik NU dan pihak yang terlibat politik praktis diminta aktif membangun ukhuwah dan tetap bersatu dalam perbedaan. Dua poin lain adalah ulama/warga NU diminta tidak menghabiskan energi di politik praktis.
Dalam kacamata politik kebangsaan, politik kenegaraan; Ulama mengeluarkan berupa fatwa jihad pada 11 November 1949. fatwa ulama ketika posisi Soekarno dipertanyakan, membahayakan NKRI, maka dikeluarkan fatwa bahwa Soekarno sah menjadi kepala negara. Fatwa tersebut ikut menyelamatkan bangsa yang sedang dalam perpecahan karena DI/TII, mungkin keputusan asas tunggal juga termasuk didalamnya, tapi itu juga masih dipertanyakan apakah merupakan sedekah kepada negara/penguasa. Lalu yang terakhir kasus GAM dengan mengeluarkan fatwa bughat. Inilah sumbangan Ulama dalam hal politik kenegaraan.
Syahwat politik praktis kyai NU sangat tinggi. Semua lapisan warga Indonesia melihat kekuasaan adalah segala-galanya, kalau kita merebut kekuasaan seakan kita mendapat segala-galanya, padahal kekuasaan adalah barang langka, akibatnya potensi konflik sangat memungkinkan terjadi. Dalam sejarah Islam, hal ini sering terjadi mulai dari sahabat, memang Islam paling permisif terhadap kekuasaan, ia dianggap sebagai sesuatu yang diperlukan, diakui atau tidak kekuasaan merupakan sesuatu yang given, tapi masalahnya bagaimana mengarahkan kekuasaan agar tidak destruktif. Sehingga pertanyaanya bagaimana mengendalikan kekuasaan kita kategorikan sebagai Jihad.
Wilayah yang belum banyak menjadi concern ulama NU, adalah politik kerakyatan. Pertanyaannya adalah untuk siapa kekuasaan itu dikelola, untuk rakyat atau pejabat? Politik ini dapat berlangsung ketika proses perebutan kekuasaan berakhir. Inti dari politik kerakyatan adalah bagaimana ulama mampu mengontrol kebijakan dan perilaku penguasa.
Pilihan politik praktis, sikap NU sangat jelas dengan rumusan khittahnya, disini NU ingin menjadi netral, bukan berarti pasif melainkan sebagai netralitas yang aktif, kekuasaan diserahkan kepada partai politik. Kalau ulama ikut dalam kekuasaan, maka yang terjadi adalah proses demoralisasi. Kalau ini terjadi ulama tidak punya landasan moral. Hal inilah yang terjadi hari ini yang menarik-narik kyai untuk terlibat dalam kekuasaan.
Kedepan, politik kebangsaan dan politik kerakyatan yang mestinya banyak dikembangkan oleh NU (ulama), harus memikirkan persoalan-persoalan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangun bangsa Indonesia menjadi sejajar dengan bangsa Barat seperti terlibat dalam memerangi korupsi, mengembangkan toleransi, mendorong apresiasi terhadap HAM, Pemberdayaan ekonomi kecil, juga ulama harus mengambil sikap/keberpihakan yang tegas, tentu ada di tengah rakyat, bukan untuk kebutuhan pejabat. Ulama juga harus memikirkan problem marjinal rakyat seperti Nelayan, Petani, Buruh dan TKI.
Penulis
Ihyarul Fahmi
Alumni Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar