Pasca Pemilu Legislatif ; Caleg Stress dan Defresi
Oleh : Ihyarul Fahmi*
Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif telah berakhir. Kini seluruh caleg dan masyarakat berdebar-debar jantungnya menanti hasil final perhitungan suara secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Siapakah dari deretan elit politik yang pantas untuk duduk di kursi parlement baik di DPRD Kota/Kab, DPR RI atapun DPD akan segera diketahui tepatnya pada tanggal 09 Mei 2009 oleh KPU.
Dampak lanjutan pasca pemilu ini, Calon legislator yang bertarung pada pemilu legislatif pekan lalu kini sedang menghadapi masalah tekanan jiwa. Benar juga ramalan bahwa kalangan calon legislatif (caleg) yang gagal terpilih pada pemilu legislatif 09 April lalu akan mengalami gangguan kejiwaan (depresi). Sejumlah kasus sudah muncul di berbagai daerah. Kasus gangguan kejiwaan akan mulai mencolok pada dua bulan mendatang. Saat ini sudah tampak tanda-tanda caleg mengalami stress.
Penyebab gangguan jiwa pada umumnya terdiri dari tiga jenis yaitu: faktor biologis atau genetis dan pengaruh penyakit-penyakit tertentu, pola kepribadian yang dipengaruhi pola asuh (keluarga), dan penyebab yang bersifat psikososial atau lingkungan. Jika gangguan disebabkan ada kerusakan neurotransmitter otak penyembuhannya pakai obat. Gangguan kepribadian, penyembuhnya psikoterapi. Tetapi, untuk gangguan jiwa akibat etiologi epoleksosbudhankam untuk penyembuhannya sangat komplek terutama penciptaan lingkungan yang mendukung termasuk pemerintah.
Fakta ini bisa dilihat dari catatan, lima orang tercatat sebagai pasien gangguan jiwa di Balai Kesehatan Jiwa Masyarakat (BKJM) Kalawa Atei, Palangkaraya. Dampak dari kekalahan dalam pemilu tidak hanya menimpa caleg secara pribadi, melainkan juga dapat terjadi pada simpatisan dan orang terdekat misalnya isteri, keluarga dan orang lain yang menjadi pendukung panatik. Caleg yang mempunyai perilaku aneh pasca pemilu, diantaranya tidak mau mandi, tidak mau makan, dan sering tertawa terutama jika melihat hasil perhitungan suara partainya.
Contoh lain terjadi di Cirebon , 15 caleg DPRD Cirebon menjalani pengobatan mental di Majlis dzikir Darul Lukman. Di Bogor sejumlah caleg gagal di Bogor mendatangi ustadz Padepokan Majlis Dzikir Arrusy (MDA) di lereng Gunung Salak Kampung Bitung, Tenjolaya, Bogor. Di Kabupaten Ciamis, Sri Wahyuni, caleg PKB untuk DPRD Kota Banjar, Jawa Barat, gantung diri di sebuah areal persawahan di Kabupaten Ciamis. Di Bulukumba, Haji Dahlan caleg dari kecamatan Herlang Kabupaten Bulukumba mengalami depresi. Caleg dari PPRN itu melakukan cara tak terpuji dengan menyegel sekolah dan mengusir murid SD keluar ruangan sekolah itu. Sedangkan di Parepare, caleg dari PBB di Kota Parepare mengusir tiga keluarga yang menempati rumah diatas tanah miliknya. Di Palembang, FR, satu caleg DPRD Kota Palembang dari Partai Demokrat mengambil kembali alat musik jenis organ yang telah diberikan kepada kelompok Rebbana Nurul Huda karena perolehan suara minim. Di pecan Baru, Aswin, Caleg dari partai Golkar di Kecamatan Dumai Timur, Kota Dumai, Riau, membongkar kembali tiang listrik bantuannya untuk masyarakat. Di kendari, Hj. Nurlin Surunuddin, caleg dari Partai Golkar Kota Kendari, memutuskan untuk menarik sumbangan berupa 10 liter beras dari warga karena keceewa tidak dipilih. Kemudian terjadi di daerah Ternate, Hartati, seorang caleg di Ternate, Maluku Utara, menarik kembali bantuan yang pernah diberikannya kepada masyarakat karena kecewa atas minimnya suara yang diperolehnya pada pemilu legislative 2009.
Padahal kata Iwan Fals ”keinginan adalah sumber penderitaan”. Keinginan inilah sumber dari segala sumber Stress! Ketika keinginan muncul, kita ingin itu semua cepat menjadi nyata, segera terlaksana, tetapi mekanisme kehidupan biasanya berbicara lain. Fakta-fakta diatas membuat kita mengelus dada, ternyata banyak diantara mereka yang mengaku pantas jadi pemimpin adalah orang yang gila jabatan. Andai saja semua caleg betul-betul murni ingin mengabdi pada nusa, bangsa atau paling tidak bagi masyarakatnya yang terwakili dipastikan tidak ada yang stress, apalagi gila. Meski tidak terpilih, tidak meraih suara yang cukup untuk berkantor di gedung wakil rakyat, seharusnya mereka baik-baik saja. Pemilu harus dilewati dengan hati lapang, bila maju tanpa pamrih mereka pasti menyadari bahwa sukses yang mereka raih adalah cobaan, sementara kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.
Gambaran yang mencuat diberbagai kota/daerah itu seharusnya tidak terjadi bila para caleg sadar betul bahwa mereka berjuang demi rakyat, Negara dan bangsa. Tapi, apa yang diucapkan dalam kampanye ternyata bertolak belakang dengan kenyataan. Banyak yang stress karena dari jauh-jauh hari memang sudah memiliki program utama untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan bila terpilih sebagai wakil rakyat. Mereka rajin berkampanye untuk partai, sekaligus untuk dirinya sendiri, mau keluar uang meski harus menjual emas berlian, menguras tabungan, menggadaikan harta benda, meminjam dengan target akan dapat diraih kembali setelah duduk di ‘singgasana’. Nah, ketika tidak terpilih, wajar mereka keblinger karena langsung terbayang harta benda yang sudah raib tak akan dapat ditebus, utang yang menumpuk, juga kesedihan karena ternyata rakyat yang dibantu tak rela memberikan suara.
Banyak cara untuk mengatasi stress ataupun depresi yang menyerang, salah satunya adalah mengikhlaskan terhadap apa-apa yang telah disumbangkan kepada masyarakat, anggap saja itu sebagai sedekah, karena sedekah itu menolak bala (bencana). Juga banyak-banyak berzikir kepada Yang Maha Kuasa, agar hati ini menjadi tenteram. Selain itu pendidikan politik pun harus dibenahi, terutama oleh elit parpol agar membina, menempa caleg menjadi kader militant dan tahan guncangan. Menjadi politisi adalah panggilan hidup yang luhur sebagai manusia sebagai manifestasi internal locus of control.
*Penulis adalah Analis Politik IndoSolution Jakarta
Dimuat di Koran Harian Indo Pos, Sabtu 18 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar