Biografi K.H Abdurahman Wahid

Kamis, 18 Februari 2010

Pilihan Politik Kiyai

Pilihan Politik Kyai NU.

Semula Nahdhatul Ulama adalah sebuah gagasan. Muncul dari sedikit orang yang menyadari konteks dan tantangan sosialnya dan berani menyatakan serta mengorganisasikan gagasan. Gagasan awal itu yang kemudian dikenal dengan istilah Khittah Nahdliyyah. Orang sudah banyak yang tahu isinya, tapi banyak pula yang pura-pura tidak tahu. Jaga ahli sunnah wal jama’ah utuk memahami dan mengamalkan Islam. Persatukan umat dan berdayakan rakyat. Perjuangkan kemandirian, kebebasan dan persaudaraan untuk muslimin, sebangsa dan semanusia.

Gagasan tersebut kemudian menstransformasi menjadi sebentuk organisasi. Awalnya hanya untuk memudahkan gagasan organisasi itu berkembang melului evolusi yang panjang.

Dan kini organisasi itu menjadi ajang perebutan, tanpa perlu tahu apa urusannya. Yang paling diketahui, organisasi itu banyak pengikutnya, konon puluhan juta orang. Dan itu artinya bagi sebagian elitnya, adalah komoditas politik. Itu disadari sepenuhnya oleh orang-orang yang sekarang diberi mandat untuk menghidupkan dan mengembangkan organisasi. Mereka sekarang sibuk menjual NU, atau lagi ngitung-ngitung mana yang lebih menguntungkan, dalam arti harfiah—tanpa peduli apa untungnya untuk pengembangan aswaja, alih-alih menyatukan ulama, mereka memecah belah ulama dalam kubu-kubu, NU telah menjadi mesin politik praktis seperti layaknya sebuah partai politik. Tak sungkan-sungkan bermain uang untuk membujuk ummat, karena mereka miskin gagasan. Tak heran jika kaum muda mensinyalir kaum muda yang dipimpin oleh Ngatiyar demo di panggung krapyak dengan membawa spanduk besar bertuliskan NU menjadi Nahdlotul Uang. Kenyataannya begitu mau dibilang apa??? Berkaca dari pengalaman 2004.

Pertanyaan sekarang, perlukah organisasi ulama itu diselamatkan??? Untuk apa diselamatkan? Siapa yang bisa menyelamatkan? Bisakah Khittah berkembang tanpa harus ada organisasi NU? Siapa yang bisa diharapkan--- pengalaman Mei 2004, Suriah PBNU, mengeluarkan Qaraar dan mengangkat pelaksana harian ketum PBNU, keduanya ternyata tumpul. Hasyim Muzadi tetap lenggang kangkung jadi Cawapres dengan Megawati.

Kita juga harus menghargai usaha dari ulama yang tergabung dalam pertemuan Forum Silaturrahmi Nasional 500-an ulama NU di PP Edi Mancoro Semarang (12 Januari 2009), yang menggariskan partai politik haram hukumnya memakai simbol NU (kenyataannya ada PKNU, PPNUI, PKB). Selain itu juga para ulama meminta kepada jajaran elit PBNU dan jajarannya untuk memasyarakatkan kembali 9 butir pedoman berpolitik NU dan pihak yang terlibat politik praktis diminta aktif membangun ukhuwah dan tetap bersatu dalam perbedaan. Dua poin lain adalah ulama/warga NU diminta tidak menghabiskan energi di politik praktis.

Dalam kacamata politik kebangsaan, politik kenegaraan; Ulama mengeluarkan berupa fatwa jihad pada 11 November 1949. fatwa ulama ketika posisi Soekarno dipertanyakan, membahayakan NKRI, maka dikeluarkan fatwa bahwa Soekarno sah menjadi kepala negara. Fatwa tersebut ikut menyelamatkan bangsa yang sedang dalam perpecahan karena DI/TII, mungkin keputusan asas tunggal juga termasuk didalamnya, tapi itu juga masih dipertanyakan apakah merupakan sedekah kepada negara/penguasa. Lalu yang terakhir kasus GAM dengan mengeluarkan fatwa bughat. Inilah sumbangan Ulama dalam hal politik kenegaraan.

Syahwat politik praktis kyai NU sangat tinggi. Semua lapisan warga Indonesia melihat kekuasaan adalah segala-galanya, kalau kita merebut kekuasaan seakan kita mendapat segala-galanya, padahal kekuasaan adalah barang langka, akibatnya potensi konflik sangat memungkinkan terjadi. Dalam sejarah Islam, hal ini sering terjadi mulai dari sahabat, memang Islam paling permisif terhadap kekuasaan, ia dianggap sebagai sesuatu yang diperlukan, diakui atau tidak kekuasaan merupakan sesuatu yang given, tapi masalahnya bagaimana mengarahkan kekuasaan agar tidak destruktif. Sehingga pertanyaanya bagaimana mengendalikan kekuasaan kita kategorikan sebagai Jihad.

Wilayah yang belum banyak menjadi concern ulama NU, adalah politik kerakyatan. Pertanyaannya adalah untuk siapa kekuasaan itu dikelola, untuk rakyat atau pejabat? Politik ini dapat berlangsung ketika proses perebutan kekuasaan berakhir. Inti dari politik kerakyatan adalah bagaimana ulama mampu mengontrol kebijakan dan perilaku penguasa.

Pilihan politik praktis, sikap NU sangat jelas dengan rumusan khittahnya, disini NU ingin menjadi netral, bukan berarti pasif melainkan sebagai netralitas yang aktif, kekuasaan diserahkan kepada partai politik. Kalau ulama ikut dalam kekuasaan, maka yang terjadi adalah proses demoralisasi. Kalau ini terjadi ulama tidak punya landasan moral. Hal inilah yang terjadi hari ini yang menarik-narik kyai untuk terlibat dalam kekuasaan.

Kedepan, politik kebangsaan dan politik kerakyatan yang mestinya banyak dikembangkan oleh NU (ulama), harus memikirkan persoalan-persoalan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangun bangsa Indonesia menjadi sejajar dengan bangsa Barat seperti terlibat dalam memerangi korupsi, mengembangkan toleransi, mendorong apresiasi terhadap HAM, Pemberdayaan ekonomi kecil, juga ulama harus mengambil sikap/keberpihakan yang tegas, tentu ada di tengah rakyat, bukan untuk kebutuhan pejabat. Ulama juga harus memikirkan problem marjinal rakyat seperti Nelayan, Petani, Buruh dan TKI.

Penulis

Ihyarul Fahmi
Alumni Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta

Kiamat Kecil Berupa Virus Flu Babi

‘Kiamat Kecil’ Berupa Virus Flu Babi
Oleh Ihyarul Fahmi*


Makna ‘kiamat kecil’ disini berupa kabar kematian ataupun sesuatu yang sifatnya tidak mengenakkan seperti penyebaran penyakit, wabah penyakit dan sebagainya. Tanda kiamat kecil adalah tanda yang datang sebelum kiamat dengan waktu yang relatif lama, dan kejadiannya biasa, seperti dicabutnya ilmu, dominannya kebodohan, minum khamr, berlomba-lomba dalam membangun, dan lain-lain. Terkadang sebagiannya muncul menyertai tanda kiamat besar atau bahkan sesudahnya.

Sesungguhnya setiap makhluk hidup, apakah itu manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan, memiliki tanda-tanda dari akhir kesudahan hidupnya di dunia. Tanda-tanda dekatnya kematian manusia adalah rambut beruban, tua, sakit, lemah. Begitu juga halnya dengan hewan, hampir sama dengan manusia. Sedangkan tumbuhan warna menguning, kering, jatuh, lalu hancur. Demikian juga alam semesta, memiliki tanda-tanda akhir masanya seperti kehancuran dan kerusakan.

Kapan Kiamat? Hanya Allah SWT Yang Maha Tahu. Kita hanya tahu lewat tanda-tanda akan datangnya hari Kiamat itu. Pada manuskrip peninggalan suku Maya yang tinggal di selatan Meksiko atau Guatemala yang dikenal menguasai ilmu Falak, disebutkan bahwa kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012. Disebutkan juga pada waktu itu akan muncul gelombang galaksi yang besar-besaran sehingga mengakibatkan terhentinya semua kegiatan di muka Bumi ini. Wallahu’alam.

Saat ini wabah penyakit virus flu babi yang mematikan tersebut berjangkit di Meksiko, menimbulkan ketakutan dan kepanikan. Kurang dari sebulan, flu babi menjadi ancaman global yang patut diwaspadai oleh setiap negara termasuk negara berkembang seperti Indonesia. flu babi telah menewaskan 152 orang dan ancaman yang berasal dari Meksiko ini sejak Maret 2009 tak kurang 1.400 orang terjangkiti flu babi, 103 diantaranya meninggal. Selain itu, dilaporkan ada 20 kasus flu babi di Amerika Serikat, 4 kasus di Kanada dan 10 kasus di Selandia Baru.

Saat ini hampir seluruh dunia dalam kondisi siaga terhadap serangan virus swine influenza atau yang dikenal flu babi. Virus itu memang belum masuk Indonesia, tapi WHO sudah memperingatkan soal mudahnya makhluk itu berpindah tempat. Sikap pemerintah dalam melakukan antisipasi pencegahan tersebarnya kemungkinan virus flu babi kali ini patut diacungi jempol.

Menurut WHO (Margaret Chan) Penyebab flu babi disebabkan virus influenza tipe A subtype H1N1 yang belum pernah diketahui. Virus baru itu mengandung tipe DNA yang mirip virus flu burung, flu babi, dan flu manusia, termasuk elemen virus flu babi dari Eropa dan Asia. virus ini pertama kali diisolasi tahun 1930. Pada manusia gelaja flu babi mirip flu manusia, yaitu demam, lesu, sakit kepala, batuk, pilek, tenggorokan sakit, mual, muntah dan diare. Virus ini menyebar lewat udara yaitu lewat bersin dan batuk penderita. Virus tidak menular lewat daging babi jika dimasak dalam suhu minimal 71 derajat celcius (Situs CDC AS)..

Antisipasi yang dilakukan pemerintah Indonesia perlu diberikan applous, apresiasi yang tinggi. Rakortas di Istana (Senin, 27/4) misalnya, pemerintah menetapkan larangan impor daging babi dan produk turunannya ke Indonesia dan fumigasi ke daerah peternakan babi. Diikuti dengan pengaktifan alat scanning thermografis (help alert card) pada 10 pintu bandara penerbangan dan pelabuhan internasional. Untuk mengantisipasi gejala flu babi, pemerintah menyiagakan 9 laboratorium yang memiliki tingkat keamanan sehingga, bahkan pemerintah mengajak relawan untuk mengvaksinasi ternak babi. Hal positif lainnya adalah flu babi tidak bisa hidup di daerah tropis (Siti Fadilah Supari). Namun, Indonesia tetap harus waspada dan hati-hati.

Dan juga belajar dari kasus flu burung. Kita masih ingat tentang perdebatan beberapa tahun lalu antara Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dengan Amerika Serikat dan WHO bahwa penyebaran Avian influenza dituding oleh Menkes RI sebagai senjata biologi yang sengaja dikembangkan. Kemudian, perusahaan-perusahaan disana membuat vaksin flu burung untuk dijual di Negara-negara berkembang dengan harga sangat mahal. Perusahaan multinasional itulah yang menuai keuntungan dari penyebaran virus flu burung. Dan kita semua mafhum, AS dan WHO menuding semua tuduhan tersebut.

Melihat konteksnya, mengapa Babi diharamkan dalam Islam?. Sesuai dengan Ayat (al-An’am ayat 145 dan Albaqoroh Ayat 173). Pertanyaan tersebut memang sulit dijawab, karena Islam sebagai rahmatallil’alamiin. Memang di Alqur’an disebutkan bahwa Babi itu najis dan haram, tapi karena Islam sebagai rahmat, maka babi itu tetap boleh hidup, boleh diternak dan boleh dimakan bagi orang yang di luar Islam. Seandainya Islam bukan sebagai Rahmatallil’alamiin, maka babi dimuka bumi ini tidak boleh hidup, alias umat Islam seluruh dunia akan ramai-ramai membunuh babi.

Hikmah di balik kasus flu babi
Flu babi terlanjur menjadi kekhawatiran internasional, tercermin dari anjloknya harga saham global. Ekonomi AS dan dunia, yang mulai menunjukkan tanda-tanda awal pemulihan, berpotensi terkontraksi lebih dalam akibat merebaknya virus yang mematikan tersebut. Yang jelas virus ini memukul industri turisme, kuliner, transportasi diberbagai dunia.

Penyebaran flu ini di AS dan Meksiko diperkirakan menurunkan kegiatan perjalanan dan memukul pendapatan operator penerbangan di Asia Pasifik. Bisa jadi dibalik penyebaran flu burung ada blessing is disguise bagi industri pariwisata di Indonesia, karena virus itu hidup di Negara dengan empat musim, sedangkan Indonesia beriklim tropis. Hal ini bisa dikatakan imbas pariwisata akan lari ke Indonesia, maka dari itu Indonesia memberlakukan travel advisory bagi warganya yang mau berkunjung ke Amerika Utara dan wilayah lainnya yang sudah terkontaminasi virus N1H1.

Peluang nyata itu harus dikomunikasikan kepada masyarakat internasional, dikampanyekan, dipromosikan pariwisata Indonesia untuk mendorong turisme mengunjungi Indonesia, karena Indonesia saat ini sudah mengantisipasi bahaya virus flu Babi dengan anggaran yang besar Rp 38 milyar dengan status tetap waspada. Memang terlalu dini mengaitkan wabah flu N1H1 terhadap industri penerbangan.

*Alumni Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta dan sekarang sebagai Analis Sosial Politik IndoSolution Jakarta

Tulisan di muat di koran Duta Masyarakat.

Resensi

Resensi Buku
Pemakzulan Bukan Hal Yang Baru
Oleh Ihyarul Fahmi


Judul Impeacment
Presiden dan wakil Presiden di Indonesia
Penulis Soimin, SH. M.Hum
Kata Pengantar Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, SH.
Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2009
158 Halaman. + xvi; 15 x 21 x 1 cm


Pemberhentian (pemakzulan/Impeacment) dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia terjadi hanya dua kali, yakni pada masa Presiden Soekarno (RI Pertama) era Orde Lama, dan Presiden KH Abdurrahman Wahid (RI Keempat) era Orde Reformasi.

Hal ini terjadi ketika ada sengketa antara dua lembaga Negara yakni DPR di satu sisi yang berhadap-hadapan dengan Presiden di sisi lain. Sejarah telah mencatat perseteruan tersebut para era Orde Lama terjadi pada tahun 1966-1967, di mana Presiden Soekarno memberi progress report kepada MPRS. Secara De Facto, perkembangan yang terjadi pada waktu itu memang tidak menguntungkan Soekarno. Dengan kata lain, secara politis dukungan keapda Presiden sangat kecil, jika dibilang sudah habis. Sehingga pada Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, dengan ketetapan MPRS no XXXIII/MPRS/1967, MPR mencabut (impeach) kekuasaan pemerintahan Negara dari tangan presiden Soekarno. Dan TAP MPR itu juga termuat subtansi pejabat Presiden yang menggantikan kedudukan presiden yaitu, Jenderal Soeharto.

Kemudian perseteruan antara DPR dengan Presiden yang kedua kalinya pada tahun 2001, dimana antara DPR hasil pemilihan umum tahun 1999 dengan Presiden Abdurrahman Wahid yang diangkat oleh MPR hasil pemilu 1999 tersebut. Perseteruan itu berlanjut yang kemudian melengserkan Presiden Gus Dur dari jabatan kursi kepresidenan melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001, dengan ketetapan MPR no. III/MPR/2001. dalam TAP MPR tersebut termuat materi pencabutan kekuasaan Negara dari tangan presiden Abdurrahman Wahid yang digantikan oleh Megawati Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden saat itu. Kemudian jabatan wakil Presiden digantikan oleh Hamzah Haz berdasarkan ketetapan tersebut.

Pemberhentian jabatan Presiden di tengah masa jabatan dari peristiwa diatas seringkali dalam ilmu hokum tata Negara di sebut kekuasaan “Impeacment” (hal.2). Pranata kekuasaan impeachment dalam system ketatanegaraan di dunia seringkali digunakan untuk melakukan pemberhentian jabatan yang berada pada kekuasaan eksekutif (executive of power).

Proses impeachment di Indonesia melalui proses di tiga lembaga Negara secara langsung., proses yang pertama berada di DPR. DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses “Investigasi” atas dugaan-dugaan bahwa presiden dan atau wakil presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tergolong dalam ketentuan pasal 7A UUD 1945. setelah proses di DPR selesai, dan pada rapat Paripurna DPR bersepakat untuk menyatakan, bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah melakukan tindakan yang tergolong dalam ketentuan pasal 7A UUD 1945 maka putusan Rapat Paripurna DPR itu harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di mana MK akan menentukan hasil dugaan DPR tersebut dengan putusan hasil siding peradilan konstitusi minimal ada tiga kemungkinan amar putusan sebagaimana tersebut diatas, sebelum akhirnya proses impeachment ditangani oleh MPR untuk mendapat kata akhir akan nasib Presiden dan atau Wakil Presiden.

Buku (Impeacment Presiden dan wakil Presiden di Indonesia) memang sangat actual disaat kondisi politik, sosial dan ekonomi di awal pemerintahan Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono (Kinerja 100 hari) yang di guncang oleh isu skandal Century. Isu tersebut membuat melorotnya Pamor/citra Presiden dan KIB II. Menurut Indo Barometer M Qodari, membuat skandal Bailout Bank Century benar-benar memperburuk citra Boediono sebagai Wapres. Dan Publik mengaku tidak puas dengan kinerja mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut.

Begitupun dengan konstalasi politik di Senayan, terbagi menjadi dua kelompok. Yang pertama kelompok yang kencang mendorong isu pemakzulan, pemecatan Wapres Boediono dan Sri Mulyani. Ada juga kelompok yang tidak jelas kemana arahnya (netral) dan ketiga adalah kelompok pro bailout Century. Bahwa proses bailout tersebut tidak melanggar hokum dan aturan.

Secara detail buku impeachment presiden dan wakil presiden menjadi pembahasan dalam buku ini terdiri lima (5) bab. Menjelaskan bagaimana prosedur dan mekanisme penyelenggaraan ketatanegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap lembaga kehakiman, terutama menyangkut mekanisme dan prosedur impeachment Presiden melalui peradilan konstitusional yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Golkar Ber-aroma Reformis atau Orde Baru (Munas)

Partai Golkar Aroma Reformis atau Orde Baru
Oleh Ihyarul Fahmi*


Partai Golkar dalam masa Orde Baru telah berhasil membangun rezim politik yang kuat, hal ini bisa dilacak dalam jaring sistem dan organisasi yang mencakup wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Insprastruktur Partai begitu lengkap, maklum saja sejak berdiri 20 Oktober 1964, Partai Golkar menjadi kepanjang tangan rezim otorianisme sehingga sejak berdiri dan mengikuti pemilu selalu meraih kemenangan besar dari pemilu 1972,1977, 1982,1987, 1992, hingga 1997 dan menjadi kekuatan dominant di Lembaga Rakyat baik di MPR maupun DPR. Waktu itu Golkar bukan merupakan partai yang memerintah melainkan partainya orang-orang yang berkuasa. Maka wajar ketika riak-riak perubahan transisi demokrasi dari rezim otoriter ke reformasi, HM Soeharto tumbang oleh gerakan mahasiswa dengan mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.

Dalam perjalanannya Partai Golkar mengalami pergolakan politik di awal-awal era reformasi (1998). Banyak tuntutan gerakan mahasiswa yang menginginkan partai tersebut dibubarkan. Munculnya gerakan reformis membuat Golkar berbenah diri menyesuaikan dengan kondisi dan tantangan zaman. Golkar pun pada pemilu 1999 menempati urutan ke2 setelah PDIP tampil sebagai jawara yang paling banyak menempatkan kadernya di DPR/MPR diera awal reformasi.

Akan tetapi, di Pemilu 2004, Partai Golkar tampil sebagai juara menempati posisi nomor satu dalam perolehan kursi di DPR dan berhasil menempatkan HM Jusuf Kalla sebagai wakil Presiden Republik Indonesia (2004-2009) mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.

Perjalanan Partai Golkar Pasca Pemilu legislatif dan Pilpres 2009 sangat ditentukan di musyawarah nasional (Munas) yang akan digelar pada 4-7 Oktober di Pekan Baru, Riau. Arah-sikap politik itu akan menjadi wadah masa depan (transpormasi) partai Berlambang Beringin, apakah akan masuk dan bergabung dengan SBY-Boediono atau beroposisi seperti yang pernah dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Posisi saat ini Partai Golkar diombang-ambingkan keadaan, oposisi berarti mengontrol pemerintah melalui parlemen, berkoalisi dengan PDIP atau mengikuti suratan takdir Partai Golkar sejak kelahiran hingga sekarang, bukan partai Penguasa (the rulling party) tapi pendukung pemerintahan SBY-Boediono.

Pengakuan JK dalam Dialog Golkar Bangkit yang diselenggarakan oleh SOKSI di Jakarta. Selama menjadi wakil presiden 2004-2009, “Golkar tidak mendapat apa-apa ketika pemerintahan yang didukungnya berhasil, begitu pun sebaliknya, kalau pemerintahan yang didukung Golkar gagal, akan terkena dampak”. Begitupun ketika Partai Golkar mengambil langkah oposisi, PDIP yang sejak 2004 hingga 2009 beroposisi di DPR dengan mengkritik tajam pemerintahan saja kalah dalam pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. komentar Jusuf Kalla terhadap perjalanan Golkar terefleksi dalam catatan sejarah politik Partai Golkar dari masa ke masa.
Saat ini Aburizal Bakrie diposisikan media sebagai calon terkuat ketua Umum DPP Partai Golkar menggantikan HM Jusuf Kalla. Muncul juga tokoh selain Ical panggilan akrab Aburizal Bakrie seperti Surya Paloh dan Yuddy Chrisnandi dan Ferry Mursidan Baldan (mewakili darah muda). Masing-masing calon terfragmentasi pada kepentingan memajukan partai dan memakmurkan rakyat, hal ini bisa dilihat dalam visi misi bursa calon ketua umum.

Public pun terhentak, ketika tiba-tiba nama Tommy Soeharto putra Mahkota Keluarga Cendana meramaikan bursa calon ketua Umum Partai Golkar periode mendatang. Ada apa sebenarnya problem internal partai. Apakah Partai Golkar sudah beralih dari reformis (ketebukaan) atau otorian

Citra Orde Baru di era Reformasi
Munculnya nama Tommy Soeharto dalam gelanggang politik bursa calon ketua umum Golkar menghentak public. Karena selama ini keluarga Cendana pasca Reformasi menjauhi Partai Berlambang Beringin tersebut. Pada masa itu pun, putri sulung almarhum Pak Harto, Siti Hardiyanti Rukmana, membentuk Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang merupakan konstentan pemilu di 2004 dan 2009.

Tommy yang merupakan anak emas mantan presiden Soeharto ingin terjun bebas ke dunia politik praktis. Menurut anak emas Cendana ini, segala kemungkinan bisa terjadi di politik. Gelagat Tommy menguasai Partai beringin menimbulkan pro dan kontra, salah satu alasannya adalah Golkar diposisikan seperti masa lalu, Golkar beraroma Orde Baru, Golkarnya Pak Harto bukan Partai Golkar yang reformis penuh dengan keterbukaan.

Kecurigaan itu menjadi mendasar ketika Tommy menjadi ketua Umum, maka kepentingan bisnis akan lebih kentara dibandingkan memajukan Golkar tuk bersaing di pemilu 2014. citra Orde Baru akan sangat merugikan Partai, selain itu, Figur Tommy yang diposisikan terlalu jauh di politik praktis, bisnis berbicara keuntungan, sedangkan politik mengutamakan etika dan kepentingan rakyat.

Kubu ical, dipetakan media, Aburizal Bakrie calon terkuat kandidat ketua umum DPP Partai Golkar periode mendatang menggantikan HM Jusuf Kalla dan juga bahwa Ical dikaitkan sebagai orang dekat SBY (Pemerintahan). Membawa Golkar masuk kepemerintahan dengan menduduki cabinet SBY-Boediono. Hal ini diperlukan karena kader-kader Partai Golkar kaya akan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul, siap memimpin departemen pemerintahan. Dengan menduduki kursi cabinet maka Golkar sebagai partai Pro Kekuasaan lengkap sudah. Di politik legislative (DPR-MPR) memiliki keterwakilan 3 besar di bawah Partai Demokrat, dan PDIP dari hasil pemilu legislative 6 April 2009. di lembaga Yudikatif, Partai Golkar banyak kadernya menempati posisi strategis. Selain itu, Kader berlambang beringin ini banyak dihuni kader-kader muda militant yang cerdas.

Kaderisasi menempatkan Golkar bukan saja sebagai partai dengan tradisi kekuasaan dan bergelimang dengan uang, akan tetapi pembinaan dan pemempaan kader menjadi ruh Golkar masa depan. Isu kaderisasi ini bukan untuk memotong generasi tua yang dianggap lemah syahwat (cut generation). Isu ini sangat diperlukan di tengah situasi politik yang stabil. Hal ini penting untuk meningkatkan kinerja partai kedepan.

Ihyarul Fahmi
Pemerhati Sosial Politik

Pasca Pemilu Legislatif : Caleg Stress dan Depresi

Pasca Pemilu Legislatif ; Caleg Stress dan Defresi
Oleh : Ihyarul Fahmi*

Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif telah berakhir. Kini seluruh caleg dan masyarakat berdebar-debar jantungnya menanti hasil final perhitungan suara secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Siapakah dari deretan elit politik yang pantas untuk duduk di kursi parlement baik di DPRD Kota/Kab, DPR RI atapun DPD akan segera diketahui tepatnya pada tanggal 09 Mei 2009 oleh KPU.
Dampak lanjutan pasca pemilu ini, Calon legislator yang bertarung pada pemilu legislatif pekan lalu kini sedang menghadapi masalah tekanan jiwa. Benar juga ramalan bahwa kalangan calon legislatif (caleg) yang gagal terpilih pada pemilu legislatif 09 April lalu akan mengalami gangguan kejiwaan (depresi). Sejumlah kasus sudah muncul di berbagai daerah. Kasus gangguan kejiwaan akan mulai mencolok pada dua bulan mendatang. Saat ini sudah tampak tanda-tanda caleg mengalami stress.
Penyebab gangguan jiwa pada umumnya terdiri dari tiga jenis yaitu: faktor biologis atau genetis dan pengaruh penyakit-penyakit tertentu, pola kepribadian yang dipengaruhi pola asuh (keluarga), dan penyebab yang bersifat psikososial atau lingkungan. Jika gangguan disebabkan ada kerusakan neurotransmitter otak penyembuhannya pakai obat. Gangguan kepribadian, penyembuhnya psikoterapi. Tetapi, untuk gangguan jiwa akibat etiologi epoleksosbudhankam untuk penyembuhannya sangat komplek terutama penciptaan lingkungan yang mendukung termasuk pemerintah.
Fakta ini bisa dilihat dari catatan, lima orang tercatat sebagai pasien gangguan jiwa di Balai Kesehatan Jiwa Masyarakat (BKJM) Kalawa Atei, Palangkaraya. Dampak dari kekalahan dalam pemilu tidak hanya menimpa caleg secara pribadi, melainkan juga dapat terjadi pada simpatisan dan orang terdekat misalnya isteri, keluarga dan orang lain yang menjadi pendukung panatik. Caleg yang mempunyai perilaku aneh pasca pemilu, diantaranya tidak mau mandi, tidak mau makan, dan sering tertawa terutama jika melihat hasil perhitungan suara partainya.
Contoh lain terjadi di Cirebon , 15 caleg DPRD Cirebon menjalani pengobatan mental di Majlis dzikir Darul Lukman. Di Bogor sejumlah caleg gagal di Bogor mendatangi ustadz Padepokan Majlis Dzikir Arrusy (MDA) di lereng Gunung Salak Kampung Bitung, Tenjolaya, Bogor. Di Kabupaten Ciamis, Sri Wahyuni, caleg PKB untuk DPRD Kota Banjar, Jawa Barat, gantung diri di sebuah areal persawahan di Kabupaten Ciamis. Di Bulukumba, Haji Dahlan caleg dari kecamatan Herlang Kabupaten Bulukumba mengalami depresi. Caleg dari PPRN itu melakukan cara tak terpuji dengan menyegel sekolah dan mengusir murid SD keluar ruangan sekolah itu. Sedangkan di Parepare, caleg dari PBB di Kota Parepare mengusir tiga keluarga yang menempati rumah diatas tanah miliknya. Di Palembang, FR, satu caleg DPRD Kota Palembang dari Partai Demokrat mengambil kembali alat musik jenis organ yang telah diberikan kepada kelompok Rebbana Nurul Huda karena perolehan suara minim. Di pecan Baru, Aswin, Caleg dari partai Golkar di Kecamatan Dumai Timur, Kota Dumai, Riau, membongkar kembali tiang listrik bantuannya untuk masyarakat. Di kendari, Hj. Nurlin Surunuddin, caleg dari Partai Golkar Kota Kendari, memutuskan untuk menarik sumbangan berupa 10 liter beras dari warga karena keceewa tidak dipilih. Kemudian terjadi di daerah Ternate, Hartati, seorang caleg di Ternate, Maluku Utara, menarik kembali bantuan yang pernah diberikannya kepada masyarakat karena kecewa atas minimnya suara yang diperolehnya pada pemilu legislative 2009.
Padahal kata Iwan Fals ”keinginan adalah sumber penderitaan”. Keinginan inilah sumber dari segala sumber Stress! Ketika keinginan muncul, kita ingin itu semua cepat menjadi nyata, segera terlaksana, tetapi mekanisme kehidupan biasanya berbicara lain. Fakta-fakta diatas membuat kita mengelus dada, ternyata banyak diantara mereka yang mengaku pantas jadi pemimpin adalah orang yang gila jabatan. Andai saja semua caleg betul-betul murni ingin mengabdi pada nusa, bangsa atau paling tidak bagi masyarakatnya yang terwakili dipastikan tidak ada yang stress, apalagi gila. Meski tidak terpilih, tidak meraih suara yang cukup untuk berkantor di gedung wakil rakyat, seharusnya mereka baik-baik saja. Pemilu harus dilewati dengan hati lapang, bila maju tanpa pamrih mereka pasti menyadari bahwa sukses yang mereka raih adalah cobaan, sementara kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.
Gambaran yang mencuat diberbagai kota/daerah itu seharusnya tidak terjadi bila para caleg sadar betul bahwa mereka berjuang demi rakyat, Negara dan bangsa. Tapi, apa yang diucapkan dalam kampanye ternyata bertolak belakang dengan kenyataan. Banyak yang stress karena dari jauh-jauh hari memang sudah memiliki program utama untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan bila terpilih sebagai wakil rakyat. Mereka rajin berkampanye untuk partai, sekaligus untuk dirinya sendiri, mau keluar uang meski harus menjual emas berlian, menguras tabungan, menggadaikan harta benda, meminjam dengan target akan dapat diraih kembali setelah duduk di ‘singgasana’. Nah, ketika tidak terpilih, wajar mereka keblinger karena langsung terbayang harta benda yang sudah raib tak akan dapat ditebus, utang yang menumpuk, juga kesedihan karena ternyata rakyat yang dibantu tak rela memberikan suara.
Banyak cara untuk mengatasi stress ataupun depresi yang menyerang, salah satunya adalah mengikhlaskan terhadap apa-apa yang telah disumbangkan kepada masyarakat, anggap saja itu sebagai sedekah, karena sedekah itu menolak bala (bencana). Juga banyak-banyak berzikir kepada Yang Maha Kuasa, agar hati ini menjadi tenteram. Selain itu pendidikan politik pun harus dibenahi, terutama oleh elit parpol agar membina, menempa caleg menjadi kader militant dan tahan guncangan. Menjadi politisi adalah panggilan hidup yang luhur sebagai manusia sebagai manifestasi internal locus of control.

*Penulis adalah Analis Politik IndoSolution Jakarta

Dimuat di Koran Harian Indo Pos, Sabtu 18 April 2009