Biografi K.H Abdurahman Wahid

Senin, 07 Juni 2010

Meritokrasi Bukan Politik Patron

Meritokrasi Bukan Politik Patron
Oleh Ihyarul Fahmi


Cita-cita Indonesia menjadi bersih bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme temui titik terang ketika Partai Demokrat yang merupakan partai pemenang pada pemilu 2009 dipimpin oleh anak seorang Guru-petani dalam Kongkres Nasional II Partai Demokrat. Dialah Anas Urbaninggrum mengalahkan para seniornya Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng dalam dua kali putaran pemilihan.

Publik pun kemudian bertanya, kenapa para seniornya terutama Andi Mallarangeng kalah? Opini pun berkembang dan mengerucut pada isu Politik Patron dengan menggandeng Edy Baskoro/Ibas, digadang-gadang kubu AM tuk dulang suara. Nyatanya, AM kalah di putaran pertama, Politik pencitraan pun yang dibangun lembaga Fox dengan biaya mahal menjadi sia-sia.

Berkaca pada hasil kongres tersebut, Harian Seputar Indonesia mengangkat isu “Anas Awali Era Politisi Muda”. Judul tersebut mengingatkan lagi pada sejarah perjalanan bangsa awal kemerdekaan. Ir. Soekarno menjadi Presiden di Usia 44 tahun, Mohammad. Hatta menjadi wakil presiden di usia 43 tahun, Sultan Sjahrir menjadi Perdana Menteri di usia 36 tahun dan Tan Malaka di usia 31 tahun mendirikan Partai Republik Indonesia. Kemenangan Anas Urbaninggrum dalam kongres Nasional II Partai Demokrat menjadi titik nadir era politisi muda.

Saatnya Kaum Muda Memimpin

Anas Urbaninggrum adalah Ketua Umum termuda diantara partai politik yang lolos electoral threshold pada pemilu 2009. Anas terpilih menjadi ketua umum di usia 41 tahun. Hal inilah yang kemudian dijadikan spirit bahwa pemuda Indonesia punya kesempatan dan kedudukan yang sama dalam berkiprah di panggung politik sebagai future Indonesian Leaders. Pak Tua sudahlah…. (Iwan Fals), Anak muda diberi kesempatan memimpin dan dipimpin.

Sosok Anas Urbaninggrum adalah sosok yang sederhana, lugas, cerdas yang lahir dari anak seorang guru di sebuah desa di Blitar, Jawa Timur. Sosok sederhana inilah yang kemudian menjadi modal kuat di-arena konggres maupun pasca kongres. Selain itu, Anas dan Tim Suksesnya mampu membaca kultur zaman, bahwa Partai Demokrat membutuhkan sosok figur santun dan memegang erat patsun politik.

Penempaan mental yang terus menerus melalui proses kaderisasi, baik ketika menjadi mahasiswa, aktifis maupun seorang politikus semua itu melalui proses dan butuh waktu tidak bisa secara instans. Politisi organic akan lebih kuat dan mengakar dibandingkan dengan ‘politisi salon’ yang hanya mengandalkan politik pencitraan tanpa mempertimbangkan psikologi kader-kader Demokrat. Hal inilah yang kemudian ditafsirkan terkait arahan Presiden Yudhoyono penegasan Demokrasi yang bersih, cerdas dan santun. Arahan itu ternyata melekat ke diri Ketua Umum baru.

Meritrokrasi

Sejak reformasi bergulir, patron partai politik tidak bisa lepas dari pendiri/deklaratornya, sebut saja Abdurrahman Wahid yang identik dengan PKBnya, Muhaimin Iskandar pun masih ada hubungan darah dengan sang deklarator, begitupun PAN, Amien Rais sangat kuat pengaruhnya, PDI Perjuangan pun tak lepas dari gen Soekarno. Partai Golkar diibaratkan seperti perusahaan terbuka, ada pemegang saham tunggal. Begitupun dengan Partai Demokrat yang pertama dan kedua Ketua Umumnya masih ada gen kekerabatan dengan keluarga Cikeas. Sekarang Anas mendekonstruksi sejarah kepartaian di Indonesia, bahwa Partai Politik tidak identik dengan gen pertalian keluarga. Andi Mallarangeng yang didukung penuh Edy Baskoro tumbang.

Ketua Umum baru Partai Demokrat mencapai prestasi itu tidak secara instan bisa dikatakan berdarah-darah, melainkan melalui proses penempaan mental dan jam terbang. Maka prestasi-prestasi pun tercapai dan mendapat kepercayaan penuh menahkodai partai pemerintah tersebut. Contoh sukses ini hendaknya dijadikan tamsil agar pemuda/i yang cakap dan berprestasi tidak lari keluar negeri dengan berbagai alasan.

Belajar dari kasus Sri Mulyani Indrawati yang harus lengser going to World Bank, dia merasa dipojokkan sebagai pembantu pemerintah karena dirinya tidak lagi dikehendaki oleh lingkungan politik.

Wacana perkawinan politik (Kartel) yang ditudingkan Sri Mulyani kepada Aburizal Bakrie menunjukkan kritikan pedas terhadap karakter berpikir yang hierarkis, melayani atasan dan sikap feudal. Contoh tersebut jelas menyulitkan sistem meritokrasi berkembang yang menunjuk pada suatu system politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi dan berkemampuan tuk jadi pemimpin, kritik tetap dijalankan sebagai mekanisme control agar terjadi keseimbangan (check and balancys). Ternyata gagasan meriktokrasi yang diemban Sri Mulyani ditentang oleh birokrasi yang cenderung korup dan aspek nepotism-nya sangat kuat.

Alih-alih ingin jadi partai modern tumbang ditengah jalan akibat patron clien yang cenderung nepotism. Kita juga semua setuju bahwa masa depan demokrasi Indonesia berada di tangan partai-partai politik. Kalau politisinya busuk maka akan busuk juga pemerintahan dan negara.