Biografi K.H Abdurahman Wahid

Jumat, 29 April 2011

Kisah Kisah Karamah Wali Allah


Kisah-kisah Karamah Wali Allah

Buku ini judul aslinya adalah Jami' Karamat al-Aulia'. Buku ini diterbitkan beberapa kali di Indonesia dalam beberapa judul, antara lain Kisah-kisah Karamah Wali Allah dan Mukjizat Para Wali Allah. Pengarangnya adalah Yusuf bin Ismail an-Nabhani.

Membaca buku ini insya Allah kesedihan dan ketakutan diri kita akan sirna. Jangan pernah bersedih lagi, betapa para wali tidak pernah bersedih dan takut menghadapi apapun yang ada. Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Karena janji Allah tidak pernah ingkar.

Rasulullah Saw. dalam sabdanya, Sesungguhnya ada golongan hamba Allah yang bukan termasuk nabi dan bukan syuhada (syahid), yang pada hari kiamat nanti mereka menempati tempat para nabi dan syuhada. Para sahabat lalu bertanya, Ya, Rasulullah, beritahu kami siapa mereka itu? Apa pekerjaan mereka ? Semoga kami bisa mencintai mereka. Nabi menjawab, Mereka adalah satu kaum yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan satu rahim, juga bukan karena harta yang mereka miliki. Demi Allah, wajah mereka bercahaya. Mereka berada di atas mimbar cahaya, mereka tidak pernah takut ketika orang-orang ketakutan, mereka juga tidak bersedih ketika orang-orang merasa sedih (HR. Umar bin Khattab).

Buku ini merupakan khazanah yang luar biasa tentang fenomena karamah wali-wali Allah yang dihimpun dari banyak sumber klasik karya para wali dan ulama yang diakui kapabilitasnya di seluruh penjuru dunia. Di dalamnya, karamah dibahas secara rinci dan jelas, didukung argumen kuat dari Al-Qur’an, Sunnah, dan peristiwa-peristiwa nyata yang diriwayatkan secara sahih. Dalam buku ini juga menuturkan tentang konsep dan landasan karamah, mukjizat Nabi Muhammad Saw. sebagai wali Allah yang paling agung, dan karamah sahabat-sahabatnya. Kisah-kisah ajaib tentang mereka semoga dapat menjadi bahan renungan kita untuk menambah keimanan kepada Allah dan meneladani kepatuhan mereka kepada-Nya, kearifan, kebersahajaan, dan kerendahan hati mereka yang telah dianugerahi kemuliaan.


Daftar isi

Daftar isi under construction

Bagian 1 Karamah Wali

Bagian ini berisi penjelasan dasar mengenali kewalian

2.1.1 Penetapan Karamah Wali

Mukjizat nabi membuktikan kejujuran dan kebenaran agama yang diembannya. Allah berfirman:
"Ingatlah! Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan besar."(QS Yunus[10]:62-64)
Allah juga berfirman,
"Goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menjatuhkan buah kurma yang masak untukmu, kemudian makan dan minumlah "(QS Maryam [19]: 25-26). "Setiap Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Maryam, ia melihat makanan di sisinya. Zakaria bertanya, "Hai Maryam, dari mana kau memperoleh makanan ini?" Maryam menjawab, "Makanan itu dari sisi Allah." Sesungguhnya Allah akan memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa perhitungan "(QS Ali 'Imran [3]: 37).
Firman Allah yang lain,
" Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit miring ke arah kanan gua, dan ketika terbenam, miring ke arah kiri gua" (QS Al-Kahfi [18]: 16-17).
Banyak sekali penjelasan yang menafsirkan ayat ini, berkaitan dengan penetapan karamah para wali. Al-Fakhr al-Razi dalam Al-Tafsir al-Akbar mengemukakan bahwa para sufi menjadikan ayat ini sebagai hujah atas kebenaran adanya karamah. Hal itu merupakan istidlal (pengambilan dalil) secara zahir, dan kami akan menjelaskan masalah ini dengan jalan meneliti secara mendalam sebelum menceburkan diri dalam masalah dalil tentang kemungkinan karamah.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.1.2 Definisi Wali

Siapakah wali itu? Ada dua penjelasan tentang makna wali.
Pertama, kata al-wali merupakan bentuk superlatif dari subyek (fa'il), seperti kata al-'alim bermakna yang sangat alim dan kata al-qadir bermakna yang sangat berkuasa. Maka kata al-wali bermakna orang yang sangat menjaga ketaatan kepada Allah tanpa tercederai oleh kemaksiatan atau memberi kesempatan pada dirinya untuk berbuat maksiat.

Kedua, kata al-wali merupakan subjek bermakna objek, seperti kata al-qatil bermakna yang terbunuh dan al-jarih bermakna yang terluka. Maka kata al-wali bermakna orang yang dijaga dan dilindungi oleh Allah Swt, dijaga terus-menerus dari berbagai macam maksiat dan selamanya mendapat pertolongan Allah untuk selalu berbuat taat.

Perlu diketahui bahwa kata al-wali diambil dari firman Allah Swt,:
  • "Allah adalah pelindung (wali) orang-orang yang beriman" (QS Al-Baqarah [2]: 257).
  • "Dan dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang saleh "(QS Al-A'raf [7]: 196).
  • "Engkaulah Penolong kami (maulana), maka tolonglah kami dari kaum yang kafir "(QS Al-Baqarah [2]: 286).
  • "Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung (maula) orang-orang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung" (QS Muhammad [47]: 11).
  • "Dan firman-Nya, Sesungguhnya penolong kamu (waliyyukum) adalah Allah dan Rasul-Nya" (QS Al-Maidah [5]: 55)
Menurut saya, ditinjau dari segi etimologis, al-wali berarti yang dekat. Ketika seorang hamba dekat kepada Allah karena ketaatan dan keikhlasannya, maka Allah akan senantiasa dekat kepadanya, dengan limpahan rahmat, keutamaan, dan kebaikan, hingga mencapai jenjang al-wilayah (kewalian).

Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.1.3 Kejadian Luar Biasa

Kejadian-kejadian di luar kebiasaan manusia ada tiga macam:
Kejadian Luar Biasa Pertama, kejadian luar biasa yang muncul diiringi dengan pengakuan. Pengakuan dalam hal ini ada empat macam: pengakuan ketuhanan, pengakuan kenabian, pengakuan kewalian, pengakuan sihir dan menaati setan.

a. Pengakuan ketuhanan (iddi'aul ilahiyyah)
Mereka ini kemungkinan dapat memunculkan kejadian luar biasa di tangannya sendiri tanpa ada perlawanan, seperti cerita tentang Fir'aun yang mengaku sebagai Tuhan dan memunculkan kejadian luar biasa dengan tangannya. Demikian pula tentang kebenaran Dajjal. Menurut mazhab kami, hal itu mungkin saja terjadi karena bentuk dan timbulnya kejadian luar biasa itu justru semakin membuktikan kebohongan dan kepalsuan dirinya.
b. Pengakuan kenabian {iddi'aun nubuwwah)
Orang yang mengaku nabi ada dua macam; orang yang jujur dan pendusta. Kalau ia seorang yang jujur, sudah semestinya ia mampu memunculkan kejadian luar biasa dengan tangannya, hal ini bisa diterima karena untuk membuktikan kebenaran kenabiannya. Kalau ia seorang pendusta, maka ia tidak akan mungkin menunjukkan kejadian luar biasa. Artinya, kalaupun ia mampu menampakkannya, maka ia harus ditentang.
c. Pengakuan kewalian (iddi'aul wilayah)
Orang-orang yang mengakui adanya karamah wali berbeda pendapat dalam hal ini. Apakah boleh seseorang mengaku memiliki karamah? sehingga muncul persetujuan terhadap pengakuan kewaliannya atau tidak.
d. Pengakuan sihir dan menaati setan (iddiaus sihrwatha 'atusy syaithan) Menurut kami, orang-orang yang mengaku sebagai pelaku
sihir dan pengikut setan mungkin bisa menampakkan hal-hal luar biasa dengan tangannya, sedangkan menurut kelompok Mu'tazilah mereka tidak mungkin menampakkan hal-hal luar biasa.
Kejadian Luar Biasa Kedua, kejadian-kejadian luar biasa yang ditunjukkan seseorang tanpa mengaku sesuatu, baik oleh orang saleh yang diridhai Allah maupun orang yang keji dan suka berbuat dosa. Kejadian luar biasa yang ditunjukkan oleh orang-orang yang saleh disebut karamah wali, dan mazhab kami sepakat dengan kemungkinan terjadinya hal ini, sedangkan kaum Mu'tazilah mengingkarinya, kecuali Abu Husain al-Bashri dan Mahmud al-Khawarizmi.
Kejadian Luar Biasa Ketiga, kejadian-kejadian luar biasa yang ditunjukkan oleh sebagian orang yang menolak taat kepada Allah yang disebut dengan istidraj.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.1.4 Dalil Dalil Tentang Adanya Karamah Wali

Ketetapan adanya karamah para wali dinyatakan oleh dalil-dalil dari Al-Qur'an, khabar, atsar, dan dalil aqli (rasio).
1. Dalil Al-Qur'an
Ada banyak ayat yang dijadikan pegangan mengenai hal ini:

Dalil 1
Kisah Maryam dalam QS Ali 'Imran [3]: 37 di atas, sebagaimana telah dijelaskan di muka maka tidak akan kami ulangi lagi di sini.
Dalil 2
Kisah ashabul kahfi yang tertidur selama 309 tahun, namun tetap selamat dari malapetaka. Allah melindungi mereka dari panas matahari, seperti termaktub dalam firman Allah, Dan kamu mengira mereka itu terjaga, padahal sebenarnya mereka tidur (QS Al-Kahfi [18]: 18). Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong ke arah kanan gua (QS Al-Kahfi [18]: 17).
Sebagian orang menetapkan adanya karamah wali berdasarkan firman Allah, Berkatalah seorang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Padahal orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab dalam ayat tersebut adalah Nabi Sulaiman a.s., maka tidak benar mengambil dalil dengan ayat ini.
Al-Qadhi menanggapi masalah ini, "Di antara ashabul kahfi atau pada zaman mereka pasti ada seorang nabi, karena tidur mereka yang begitu lama bertentangan dengan kebiasaan manusia, sebagaimana seluruh mukjizat yang ada." Menurut saya, tidurnya ashabul kahfi yang begitu lama mustahil merupakan mukjizat salah seorang nabi, karena tidur bukanlah kejadian yang luar biasa untuk disebut sebagai mukjizat. Banyak orang tidak mempercayai kejadian ini, karena mereka tidak mengetahui bahwa ashabul kahfi adalah orang yang jujur dalam pengakuannya kecuali bahwa mereka tinggal di dalam gua selama itu. Orang-orang mengetahui bahwa mereka yang datang pada masa itu telah tertidur selama 309 tahun. Keseluruhan syarat ini tidak terpenuhi, jadi tidak mungkin mengklasifikasikan kejadian tersebut dalam kategori mukjizat salah satu nabi, cukuplah dianggap sebagai karamah dan ihsan para wali.
2. Khabar Nabi Saw.
Khabar 1
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda,
"Hanya ada tiga bayi yang bisa bicara, yaitu Isa a.s., bayi pada masa Juraij (seorang ahli ibadah), dan seorang bayi lainnya." Kisah Nabi Isa a.s. telah diketahui secara luas. Sementara Juraij adalah seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang memiliki seorang ibu. Pada suatu hari ketika Juraij sedang shalat, sang ibu mengetuk pintu dan memanggilnya, "Juraij!" Juraij kebingungan, "Tuhan, manakah yang lebih baik, melanjutkan shalat atau menjawab panggilan ibu?" Juraij memutuskan untuk tetap melanjutkan shalatnya. Sang ibu lalu memanggil untuk kedua kalinya, tetapi Juraij tetap melanjutkan shalatnya. Sampai panggilan ketiga, Juraij tetap kukuh melanjutkan shalatnya dan tidak menghiraukan panggilan ibunya.
Sang ibu marah, lalu berdoa, "Ya Allah, jangan biarkan dia mati, sampai ia bertemu seorang pelacur." Di tempat Juraij tinggal, ada seorang pelacur yang berkata pada beberapa orang, "Aku akan menggoda Juraij, sampai ia mau berzina denganku." Pelacur itu mendatangi Juraij tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa. Suatu malam, seorang penggembala beristirahat di gubugnya. Ketika lelah, pelacur itu merayu penggembala, dan terjadilah perzinaan antara keduanya. Pelacur itu kemudian melahirkan seorang bayi dan mengaku, "Ini anak Juraij." Bani Israil lalu mendatangi Juraij, menghancurkan rumahnya dan mencaci-makinya. Kemudian Juraij shalat dan memanjatkan doa, hingga bergeraklah bayi itu.
Abu Hurairah berkata, "Sepertinya aku melihat Nabi Saw. bercerita dengan mengacungkan tangan ketika beliau berkata, "Hai bocah, siapa ayahmu?" Bayi itu menjawab, "Penggembala itu." Akhirnya Bani Israil menyesali perbuatan mereka terhadap Juraij dan mengucapkan janji, "Kami akan membangun rumahmu dari emas atau perak." Akan tetapi Juraij menolak tawaran mereka dan membangun rumahnya seperti semula.
Bayi lain yang bisa bicara adalah seorang bayi yang sedang menyusu kepada ibunya. Lalu lewatlah seorang pemuda tampan berparas elok. Sang ibu berdoa, "Ya Allah, jadikan anakku seperti dia." Kemudian bayi itu menyahut, "Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia." Lewat lagi seorang perempuan yang diisukan sebagai pencuri, pezina, dan residivis. Sang ibu berdoa, "Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia." Bayi itu menimpali, "Ya Allah, jadikan aku seperti dia." Sang ibu bertanya-tanya tentang celoteh anaknya. Si bayi berkata, "Pemuda itu orang yang suka bertindak sewenang-wenang, aku tidak ingin jadi seperti dia. Sementara perempuan yang diisukan sebagai pelacur itu bukanlah seorang pelacur, ia diisukan sebagai seorang pencuri, padahal ia bukan pencuri, dan ia hanya berkata, "Cukuplah Allah sebagai pelindungku."
Khabar 2
Khabar tentang sebuah gua yang terkenal dalam kitab-kitab sahih. Al-Zuhri meriwayatkan dari Salim dari Ibnu 'Umar bahwa Rasulullah Saw. bercerita, "Dulu, ada tiga orang sedang menempuh suatu perjalanan, kemudian mereka berlindung dan bermalam di dalam gua. Lalu sebuah batu besar menggelinding dari atas gunung dan menutupi pintu gua. Mereka berkata, 'Demi Allah, kami tidak akan selamat dalam gua ini, kecuali kami memohon kepada Allah dengan perbuatan baik yang telah kami lakukan'
Salah seorang di antara mereka berkata, 'Aku memiliki dua orang tua yang lanjut usia, sebelumnya aku tidak pernah membuatkan mereka minuman. Suatu hari, mereka tertidur di bawah sebatang pohon, aku tidak memindahkan mereka. Aku memerah susu sebagai minuman sore hari untuk keduanya, aku membawakannya untuk mereka, tetapi mereka tetap tidur. Aku tidak berniat membangunkan mereka juga tidak mendahului meminumnya. Sambil berdiri dengan menenteng gelas di tangan, aku tunggui mereka hingga terjaga sampai fajar merekah. Selanjutnya mereka bangun, dan meminumnya.Ya Allah, apabila aku lakukan semua" itu karena mencari ridha-Mu, maka keluarkan kami dari hadangan batu besar ini/' Kemudian batu itu bergeser sedikit sehingga terbuka celah kecil, namun mereka belum bisa keluar dari gua.
Orang kedua berkata, 'Aku memiliki sepupu perempuan yang sangat mencintaiku. Kemudian ia merayuku, tetapi aku menolak, hingga aku menyakiti dirinya selama beberapa tahun. Akhirnya ia menemuiku dan aku berikan harta yang banyak agar dia mau meninggalkanku. Waktu itu ia berkata, 'Tidak mungkin kamu bisa melepaskan cincin ini, kecuali dengan cara yang benar.' Lalu aku meninggalkannya bersama hartanya. Ya Allah, apabila aku lakukan hal itu karena mencari ridha-Mu, maka bebaskan kami dari pintu gua ini.' Bergeserlah batu besar itu, tetapi mereka belum juga bisa keluar dari sana.
Orang ketiga berkata, 'Ya Allah, aku telah mempekerjakan orang. Aku beri mereka upah, dan hanya ada satu orang yang belum kuberi karena ia meninggalkan pekerjaannya, kemudian pergi. Aku membungakan upahnya hingga menjadi kekayaan yang berlipat-lipat. Pada suatu saat, ia mendatangiku dan berkata, 'Hai 'Abdullah, saya mau minta upah.' Aku menjawab, 'Seperti apa yang kamu lihat, semua upahmu berupa unta, kambing, dan budak.' Dia berkata, 'Hai'Abdullah, engkau mengolok-olok saya?' Aku menjawab, 'Aku tidak mengolok-olokmu, ambillah semua upahmu dan gunakan untuk makan/ Ya Allah, apabila hamba melakukan semua itu karena mencari ridha-Mu, maka lepaskan kami dari padang pasir ini.' Akhirnya terbukalah batu itu dari gua. Mereka keluar dan berjalan bersama-sama." (HR Bukhari dan Muslim dengan kualitas hasan sahih)
Khabar 3
Sabda Rasulullah Saw., "Ya Allah, aku sudah membuat kusut dan mengotori kain lusuh dengan debu. Jika aku bersumpah dengan nama Allah, niscaya kain itu akan rapih dan bersih kembali." Tidak ada sesuatu pun yang dapat menyangkal sumpah Nabi Muhammad Saw. atas nama Allah.
Khabar 4
Sa'id bin Musayyab meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw., "Suatu hari, ada seorang laki-laki yang sedang menggiring seekor sapi dengan beban berat. Sapi itu menoleh ke arah laki-laki itu dan berkata, 'Aku diciptakan bukan untuk ini, tetapi untuk membajak.' Beberapa orang berseru, 'Maha suci Allah, seekor sapi bisa bicara.' Aku, Abu Bakar, dan 'Umar mempercayai kejadian itu."
Khabar 5
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, "Suatu hari seseorang mendengar petir, tanda musim hujan, yang akan mengairi kebun Fulan. Aku bergegas menuju kebun itu, pada waktu itu, ada seorang laki-laki berdiri di sana, dan aku bertanya, 'Siapa namamu?' Dia menjawab, 'Fulan bin Fulan bin Fulan.' Aku bertanya lagi, 'Apa yang kau kerjakan di kebun ketika panen tiba?' Dia balik bertanya, 'Kenapa kau tanyakan hal itu?' Jawabku, 'Karena aku mendengar suara petir yang akan mengairi kebun Fulan.' Dia berkata, 'Jika benar apa yang kau katakan, maka aku akan membaginya menjadi tiga, sepertiga untukku dan keluargaku, sepertiga untuk orang-orang miskin dan musafir, dan sepertiga lagi akan aku nafkahkan.'"
3. Atsar Sahabat
Kita mulai dengan mengutip beberapa karamah yang muncul dari Khulafa'ur Rasyidin dan para sahabat Nabi Saw. lainnya. Di sini saya mengutip sebagian karamah Khulafa'ur Rasyidin dari Al-
Razi, dan mengutip karamah para sahabat Nabi lainnya dari periwayat lain. Al-Razi berkata, "Beberapa kitab sufi membahas hal ini berupa riwayat-riwayat yang tak terhitung jumlahnya. Siapa yang ingin mempelajarinya, silakan mengkajinya."
4. Dalil Aqli (rasio)
Di antara dalil aqli dan qat'i yang berkaitan dengan kemungkinan munculnya karamah adalah:
Dalil 1
Sesungguhnya hamba Allah adalah wali-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
  • "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih" (QS Yunus [10]: 62).
Allah juga wali hamba-Nya, seperti dinyatakan dalam firman-Nya,
  • "Allah itu pelindung (wali) orang-orang beriman" (QS Al-Baqarah [2]: 257).
  • "Dia terus-menerus melindungi orang-orang yang saleh" (QS al-A'raf [7]: 196).
  • "Sesungguhnya penolong kalian (waliyyukum) adalah Allah dan Rasul-Nya" (QS Al-Maidah [5]: 55).
  • "Engkaulah Penolong kami (maulana)" (QS Al-Baqarah [2]: 286).
  • "Demikianlah, sesungguhnya Allah menjadi pelindung (maula) orang-orang beriman" (QS Muhammad [47]: 11).
Jadi, jelaslah bahwa Allah adalah wali hambaNya dan hamba adalah wali Allah. Begitu juga Allah adalah kekasih hamba, sebaliknya hamba adalah kekasih Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
  • "Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya" (QS Al-Maidah [5]: 54).
  • "Orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah" (QS Al-Baqarah [2]: 165).
  • "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri "(QS al-Baqarah [2]: 222).
Jadi, bisa dikatakan bahwa jika seorang hamba telah mencapai ketaatan, maka ia akan terdorong untuk melaksanakan segala yang diperintahkan Allah dan semua hal yang diridhai-Nya, dan akan meninggalkan semua perbuatan yang dilarang dan dicegah olehNya. Bagaimana mungkin ia tidak melaksanakan perbuatan yang dikehendaki Tuhan Yang Maha Penyayang lagi Maha Mulia sekali saja, padahal hanya Tuhanlah yang utama baginya, karena hamba sesungguhnya tidak berdaya dan lemah ketika mengerjakan semua hal yang dikehendaki dan dititahkan Allah, sedangkan Tuhan Yang Maha Penyayang melakukan hal-hal utama yang dikehendaki hamba-Nya dalam sekali hitungan saja. Hal ini berdasarkan pada firman Allah,
  • "Penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu." (QS Al-Baqarah [2]: 40)
Dalil 2
Jika ketidakmunculan karamah membuat manusia menuduh Allah tidak ahli melakukan perbuatan seperti itu, maka itu termasuk mencela kekuasaan Allah dan dihukumi kufur. Atau jika ketidakmunculan karamah membuat manusia menuduh seorang mukmin tidak patut dikaruniai karamah oleh Allah, alasan ini tidak sah, karena mengetahui zat, sifat, perbuatan, hukum-hukum dan nama-nama Allah, cinta dan ketaatan kepada-Nya, serta terus-menerus menyucikan, mengagungkan, dan menyambut gembira nama-Nya dan membacakan tahlil untuk-Nya itu jauh lebih mulia daripada hanya memberikan sepotong kue untuk menundukkan ular atau harimau. Ketika Allah menganugerahi seorang mukmin ma'rifat, mahabbah, zikir, dan syukur tanpa permohonan, hal itu lebih utama daripada hanya memberi sepotong kue sebagai hidangan.
Dalil 3
Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa Allah berfirman,
"Tidak ada yang lebih mendekatkan seorang hamba kepada-Ku yang sebanding dengan menunaikan semua kewajiban yang Kuperintahkan dan senantiasa mendekati-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka aku menjadi pendengaran, penglihatan, lidah, hati, tangan, dan kakinya. Ia mendengar melalui Aku, ia melihat melalui Aku, ia berbicara melalui Aku, dan berjalan melalui Aku.'
Khabar ini menunjukkan tidak adanya ruang dalam pendengaran mereka untuk selain Allah, tidak juga dalam penglihatan dan keseluruhan anggota tubuhnya. Sebab kalau masih ada ruang untuk selain Allah, tentunya Allah tidak akan berkata, "Aku mendengar dan melihat-Nya." Maka tidak ada keraguan lagi bahwa inilah maqam yang lebih mulia daripada kemampuan menundukkan ular dan binatang buas, atau memberi sepotong roti, setangkai anggur dan segelas air kepada seseorang yang kelaparan dan kehausan di padang tandus. Ketika Allah dengan rahmat-Nya mengantarkan hamba-Nya sampai derajat yang tinggi, maka apa susahnya memberi sepotong roti atau air minum di padang tandus kepada seseorang?
Dalil 4
Nabi Muhammad Saw. menceritakan bahwa Allah berfirman, "Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia benar-benar menyatakan peperangan dengan-Ku." Menyakiti wali sama dengan menyakiti Allah, hal ini sesuai dengan firman-Nya:
  • "Orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah" (QS Al-Fath [48]: 10).
  • "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin (untuk memilih ketetapan lain), apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan" (QS Al-Ahzab [33]: 36).
  • "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya akan dilaknat oleh Allah di dunia dan akhirat" (QS Al-Ahzab [33]: 57).
Berjanji setia (bai'at) kepada Nabi Muhammad Saw. berarti berjanji setia kepada Allah, ridha kepada Nabi Muhammad Saw. berarti ridha kepada Allah, menyakiti Nabi Muhammad Saw. berarti menyakiti Allah. Tidak diragukan lagi, derajat Muhammad adalah derajat tertinggi. Inilah arti dari firman Allah dalam sebuah hadis qudsi, "Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia telah menyatakan peperangan dengan-Ku." Hadis qudsi ini menunjukkan ketetapan Allah bahwa menyakiti wali sama dengan menyakiti-Nya.
Hal ini diperkuat dengan khabar masyhur yang menyatakan bahwa pada hari kiamat nanti Allah Swt. berfirman,
"Aku sakit, tetapi kau tidak menjengukku. Aku meminta minum tetapi kau tidak memberiku mimun. Aku meminta makan kepadamu tapi kau tidak memberiku makan." Orang-orang bertanya, "Ya Tuhan, bagaimana kami melakukan hal ini, sementara Engkau adalah Tuhan Penguasa alam?" Allah menjawab, "Sesungguhnya hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Apakah kamu tidak tahu kalau saja kamu menjenguknya, maka kamu akan menemukan Aku di sisinya."
Demikian juga ketika kita memberi minum dam makan wali-Nya berarti kita juga memberi minum dan makan Allah. Seluruh khabar di atas membuktikan bahwa para wali Allah telah mencapai derajat ini.
Dalil 5
Kita melihat bahwa dalam kebiasaan, seseorang yang diangkat sebagai pelayan khusus oleh seorang raja dan diizinkan masuk ke ruang untuk bersenang-senang, maka ia juga diberi kekhususan untuk melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang lain. Bahkan akal sehat juga menyaksikan bahwa kedekatan dengan seorang raja akan menimbulkan naiknya pangkat (kedudukan). Kedekatan adalah asal atau pokok, sementara kedudukan adalah pengiring. Sedangkan Raja Paling Agung adalah Tuhan Penguasa alam. Jika Allah memuliakan seorang hamba dengan mengantarkannya ke pintu pengabdian dan derajat karamah, menganugerahinya rahasia ma'rifat dan kemampuan menyingkap hijab antara Allah dan dirinya, serta mendudukkannya dalam kedekatan, maka tidak ada kesulitan baginya untuk menampakkan sebagian karamah di dunia ini.
Dalil 6
Tidak diragukan lagi bahwa yang menguasai perbuatan adalah ruh, bukan badan. Begitu juga penguasaan Allah atas ruh sama dengan penguasaan ruh atas badan, berdasarkan penafsiran kami atas firman Allah, "Dia menurunkan malaikat dengan (membawa) ruh (wahyu) berupa perintah-Nya" (QS Al-Nahl [16]: 2). Rasulullah Saw. bersabda, "Aku bermalam di sisi Tuhanku yang memberiku makan dan minum." Dari hadis ini, kita tahu bahwa semakin banyak pengetahuan seseorang tentang alam gaib, maka semakin kuat hatinya dan semakin sedikit kelemahannya. Karena itu, 'Ali bin Abi Thalib berkata, "Demi Allah, gerbang Khaibar itu tidak aku dobrak dengan kekuatan jasadiah, tetapi gerbang itu terlepas dengan kekuatan rabbaniyyah." Hal tersebut karena pada waktu perang Khaibar, 'Ali memutus pandangannya dengan alam jasad, dan malaikat memancarkan cahaya alam keagungan, sehingga ruh 'Ali menjadi kuat dan menyerupai subtansi ruh malaikat serta memancarkan kilauan cahaya alam kesucian dan keagungan. Maka 'Ali memiliki kemampuan seperti malaikat yang tidak dimiliki oleh orang lain. Demikian pula hamba lain yang terus-menerus taat, ia akan tiba pada maqam yang difirmankan Allah dalam sebuah hadis qudsi, "Aku menjadi pendengaran dan penglihatannya." Ketika cahaya keagungan Allah menjadi pendengarannya, maka ia mampu mendengar suara yang dekat maupun yang jauh. Ketika cahaya Allah menjadi tangannya, maka ia memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan yang sulit maupun mudah, jauh maupun dekat.
Dalil 7
Menurut hukum akal, subtansi ruh bukanlah raga yang fana, rusak, dapat dipisah-pisah, dan dipotong-potong. Namun ruh adalah substansi malaikat, penghuni langit, sesuatu yang kudus dan suci. Hanya saja ketika ruh terikat dengan tubuh dan terbelenggu dengan kehendaknya, maka ia akan melupakan negeri asal dan tempat tinggalnya yang lama, dan secara keseluruhan ia serupa dengan tubuh yang rusak, kekuatannya melemah, kekokohannya lenyap hingga ia tidak kuasa melakukan apa-apa. Ketika ruh senang dengan ma'rifat dan mahabbah kepada Allah, serta jarang mengikuti kehendak tubuh, maka ruh-ruh penghuni langit dan 'arsy akan memancarkan kilauan cahaya mereka atasnya dan menyelubunginya, kemudian ia akan diberi kekuatan hingga mampu menguasai alam materi, seperti ruh-ruh penghuni langit, dan inilah yang disebut karamah.
Menurut mazhab kami, ruh manusia berbeda dengan benda-benda cair. Ruh manusia mengandung kekuatan dan kelemahan, cahaya dan kegelapan, kehormatan dan kehinaan, demikian juga ruh-ruh falakiyah (wilayah langit). Tidakkah kau lihat Jibril, ketika Allah menyifatinya dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan dan kedudukan tinggi di sisi Allah Pemilik 'Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya" (QS Al-Takwir [81]: 19-21). Allah berfirman tentang sekelompok malaikat lainnya, dan berapa banyak malaikat di langit yang syafa'atnya tidak berguna kecuali setelah Allah memberikan izin kepada yang dikehendaki dan diridhai-Nya.
Demikianlah, ketika jiwa berpadu dengan kekuatan yang suci dan mendasar, cahaya substansi, keluhuran tabiat, ditambah dengan berbagai macam riyadhah (olah spiritual) yang membersihkan debu dunia wujud dan kerusakan dari wajahnya, maka jiwanya akan bercahaya, berkilauan, dan mampu menguasai alam nyata dan fana dengan bantuan cahaya ma'rifat yang mulia dan kekuatan cahaya Sang Maha Perkasa lagi Maha Mulia. Penjelasan yang mulia ini mengandung rahasia-rahasia terselubung dan fenomena-fenomena yang mendalam, karenanya kita memohon pertolongan Allah agar dapat memahaminya. Barangsiapa tidak bisa mencapainya, berarti ia tidak meyakininya.
Para penyangkal adanya karamah memiliki beberapa argumen:
  1. Para penyangkal karamah berlaku tidak adil dan menyesatkan karena berpendapat bahwa munculnya peristiwa luar biasa merupakan bukti kenabian, kalau muncul di tangan selain nabi, maka bukti ini menjadi batal. Adanya bukti tetapi tidak ada yang dibuktikan akan menodai eksistensi bukti tersebut dengan demikian bukti tersebut menjadi batal.
  2. Mereka berpegang pada sabda Rasulullah dalam sebuah hadis qudsi yang menceritakan tentang Allah, "Orang-orang yang mendekat kepada-Ku itu tidak akan pernah dekat kepada-Ku, hingga mereka menunaikan hal-hal yang Ku-wajibkan atas mereka." Mereka mengatakan hadis ini adalah bukti bahwa mendekat kepada Allah dengan cara menjalankan semua perintah-perintah-Nya yang wajib lebih agung daripada mendekat kepada-Nya dengan menjalankan perbuatan sunnah. Jika orang yang mendekat kepada-Nya karena menjalankan perbuatan wajib saja tidak memperoleh karamah apa pun, maka apalagi orang yang mendekat kepada Allah dengan menjalankan perbuatan sunnah tidak patut memperoleh karamah.
  3. Mereka berpegang pada firman Allah, "Dan dia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang tidak sanggup kamu capai kecuali dengan kesukaran-kesukaran yang memayahkan diri"(QS Al-Nahl [16]: 7). Pendapat mereka yang menyatakan bahwa wali itu pindah dari satu negeri ke negeri yang jauh tidak sesuai bahkan bertentangan dengan ayat ini. Demikian juga. Nabi Muhammad Saw. tidak akan bisa berjalan dari Mekah ke Madinah kecuali dalam tempo yang lama dengan disertai kepayahan-kepayahan. Bagaimana mungkin dapat dipahami bahwa seorang wali meninggalkan negerinya untuk beribadah haji dalam waktu satu hari saja?
  4. Mereka bertanya apakah wali yang memperlihatkan karamah karena mengharapkan uang dari manusia bisa dituntut untuk menunjukkan bukti kewaliannya atau tidak? Kalau kita menuntutnya untuk menunjukkan bukti, maka itu sia-sia belaka, karena tampaknya karamah menunjukkan bahwa ia tidak berdusta. Sudah ada dalil meyakinkan mengapa harus mencari dalil perkiraan, tetapi kalau kita tidak menuntutnya untuk menunjukkan bukti, berarti kita telah mengabaikan Sabda Nabi SAW. yang berbunyi, "Bukti itu ada pada orang yang menyatakannya." Ini menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan adanya karamah itu batil.
  5. Apabila karamah bisa muncul pada sebagian wali, maka ia juga bisa terjadi pada orang lain. Jika karamah sudah begitu banyak sampai menjadi hal yang tak luar biasa lagi, maka akan sama dengan adat. Apabila kemunculan karamah begitu sering, maka karamah itu menjadi biasa saja, dan hal inilah yang akan menodai mukjizat dan karamah.
Jawaban atas argumen yang pertama:
Umat muslim berbeda pendapat tentang apakah seorang wali boleh menyatakan kewaliannya?

Kelompok Al-Muhaqqiqun (orang-orang yang menyatakan kebenaran) tidak membolehkannya. Berdasarkan pendapat ini, kita bisa membedakan antara mukjizat dan karamah. Mukjizat muncul setelah pengakuan kenabian, sementara karamah tidak muncul setelah pengakuan kewalian. Karena perbedaan inilah, para nabi diutus kepada makhluk untuk menyeru dari kekufuran kepada keimanan, dari maksiat kepada ketaatan. Kalau pengakuan kenabian tidak dinyatakan, maka kaum mereka tidak akan beriman, dengan kata lain tetap kufur. Jika para nabi menyatakan kenabian dan menampakkan mukjizat mereka, maka kaum yang diserunya akan mempercayai mereka. Langkah-langkah Nabi Muhammad Saw. menyatakan kenabiannya bukan bertujuan untuk mengagungkan diri, tetapi untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada makhluk, agar mereka hijrah (beralih) dari kufur menuju iman. Adapun pernyataan kewalian seseorang tidak menyebabkan orang yang tidak mengakui kewalian-nya menjadi kafir atau menyebabkan orang yang mengakui kewalian-nya menjadi beriman. Jadi, pengakuan kewalian dinyatakan karena nafsu, oleh karenanya Nabi wajib menyatakan secara jelas pengakuan kenabiannya, sedangkan wali tidak diperkenankan menyatakan pengakuan kewaliannya, sehingga tampaklah perbedaan antara keduanya.
Sementara orang yang berpendapat bahwa seorang wali boleh menyatakan pengakuan kewaliannya, menyebutkan perbedaan mukjizat dan karamah ditinjau dari beberapa segi:
1) Kemampuan melakukan hal-hal luar biasa menunjukkan pelakunya bebas dari maksiat. Adapun peristiwa luar biasa yang diiringi dengan pengakuan kenabian menunjukkan pengakuan kenabiannya itu benar, sedangkan peristiwa luar biasa yang diiringi dengan pengakuan kewalian menunjukkan pengakuan kewaliannya itu benar. Dengan demikian, jelas bahwa mengakui adanya karamah para wali tidak berarti menyangkal mukjizat para nabi.
2) Nabi Saw. menunjukkan mukjizatnya dan meyakinkan dirinya, sedangkan wali ketika menunjukkan karamahnya tidak untuk meyakinkan dirinya. Karena mukjizat wajib ditampakkan, sementara karamah tidak.
3) Melawan orang-orang yang menyangkal mukjizat itu wajib, sedangkan para penyangkal karamah tidak wajib dilawan.
4) Seorang wali tidak boleh memperlihatkan karamahnya ketika ia menyatakan pengakuan kewaliannya, kecuali jika untuk memper kuat dakwah agama Nabi Saw. Bila hal ini terjadi, maka karamah itu menjadi mukjizat bagi Nabi dan mengukuhkan risalahnya. Dengan demikian, tindakan memperlihatkan karamah tidak berarti menyangkal kenabian seorang nabi, tetapi justru menjadi penguat kenabiannya.
Jawaban atas argumen yang kedua: Taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan melakukan amalan-amalan wajib tentu lebih sempurna daripada taqarrub dengan amalan-amalan sunnah. Seorang wali hanya akan menjadi wali ketika ia menunaikan ibadah fardhu dan sunnah. Tidak diragukan lagi, kondisi ini lebih baik daripada orang yang membatasi diri pada hal-hal yang fardhu semata. Jadi, jelaslah perbedaannya.
Jawaban atas argumen yang ketiga: Firman Allah dalam QS Al-Nahl [16]: 7 yang berbunyi, "Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang tidak sanggup kamu capai kecuali dengan kesukaran kesukaran yang memayahkan diri", mencakup kebiasaan-kebiasaan umum. Sedangkan karamah para wali adalah fenomena yang langka, pengecualian dari kebiasaan-kebiasaan umum.
Jawaban atas argumen yang keempat: Berpegang pada Sabda Nabi Saw. yang menyatakan, "Bukti itu ada pada orang yang mengaku."
Jawaban atas argumen yang kelima: Orang-orang yang taat itu sedikit jumlahnya, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, "Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang bersyukur/taat"(QS Saba' [34]: 13). Dan seperti yang dikatakan iblis dalam firman-Nya, "Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur/taat" (QS Al-A'raf [7]: 17). Jadi, ketika orang yang memperlihatkan karamah sangat sedikit, maka itu berarti berbeda dengan kebiasaan.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.1.6 Perbedaan Antara Karamah Dan Istidraj

Perlu diketahui bahwa siapa saja yang menginginkan sesuatu dan keinginannya itu dikabulkan oleh Allah, maka itu belum tentu menunjukkan bahwa ia seorang hamba yang mulia di sisi Allah, baik pemberian Allah tersebut sesuai atau berbeda dengan kebiasaan. Akan tetapi pemberian Allah tersebut bisa berarti penghormatan Allah untuk hamba-Nya (karamah) atau tipuan untuknya (istidraj). Dalam Al-Qur'an, istilah istidraj diungkapkan dengan beberapa istilah:
1. Al-istidraj, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
Kami (Allah) akan memperdaya mereka secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS Al-A'raf [7]: 182)
Makna al-istidraj dalam ayat ini adalah Allah mengabulkan semua keinginannya di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Allah. Pada praktiknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan. Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukasyafah (tingkat ketersingkapan cahaya) dan derajat ma'rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia. Inilah yang dinamakan istidraj.
2. Al-makr, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
  • Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS Al-A'raf [71: 99)
  • Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali'Imran [31:54)
  • Mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar pula, sedang mereka tidak menyadari. (OS Al-Naml T271:50)
3. Al-kaid (tipu daya), seperti dinyatakan dalam firman Allah,
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (QS Al-Nisa' [4]: 142)
4. Al-imla (memberi tangguh), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa masa penangguhan yang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka bertambah. (QS Ali 'Imran [3]: 178)
5. Al-ihlak (siksaan), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. (QS Al-An'am [6]: 44)
Dan dalam firman Allah tentang Fir'aun,
Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.
Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan karamah yang dimilikinya, bahkan karamah itu membuatnya semakin takut kepada Allah, kewaspadaannya terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan mengira bahwa karamah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Allah, dan tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti yang dimilikinya bukanlah
karamah tetapi istidraj.
Orang-orang yang berpegang pada kebenaran (Al-Muhaqqiqun) mengatakan bahwa ada kesepakatan bahwa keterputusan dari hadirat Allah sebagian besar terjadi dalam kondisi memiliki karamah. Tidak diragukan lagi, golongan Al-Muhaqqiqun takut kepada karamah, seperti rasa takut mereka kepada berbagai macam cobaan. Rasa senang kepada karamah dapat memutuskan jalan kepada Allah. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa hujjah:
Hujjah pertama: Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang yakin bahwa dirinya berhak memperoleh karamah dan sekiranya ia bukanlah orang yang berhak mendapatkannya maka tidak akan muncul rasa bangga itu bahkan rasa bangganya itu muncul hanya karena karamah wali. Keutamaan karamahnya lebih besar daripada kebahagiaan karena karamah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adanya karamah itu melebihi kebahagiaan pada dirinya sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena adanya karamah tidak akan muncul kecuali dengan adanya keyakinan bahwa dirinyalah pemilik karamah itu dan yang berhak mendapatkannya. Ini adalah kebodohan yang nyata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada yang kami ketahui kecuali dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqarah [2]: 32). Dan Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (QS Al-An'am [6]: 91). Ada dalil meyakinkan yang menyatakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan kebenaran, maka bagaimana mungkin ada orang mengaku berhak mempunyai karamah.
Hujjah kedua: Karamah adalah sesuatu yang senantiasa tergantung pada Allah Swt. Rasa senang karena memiliki karamah adalah senang kepada sesuatu yang bukan haknya. Rasa senang kepada sesuatu yang
bukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin layak untuk senang dan bergembira?
Hujjah ketiga: Orang yang yakin bahwa dirinya berhak memiliki karamah karena merasa amal perbuatannya memiliki pengaruh besar dalam dirinya dan merasa bahwa perbuatannya bernilai atau berpengaruh pada dirinya adalah orang yang bodoh. Kalau saja ia mengenal Tuhan, ia pasti menyadari semua ketaatan makhluk di sisi Allah itu hanya sedikit, semua rasa syukur mereka atas anugerah dan nikmat-Nya itu juga sangat sedikit, dan semua pengetahuan dan ilmu mereka dibandingkan dengan keagungan Allah hanyalah kebingungan dan kebodohan saja.
Ketika Ustaz Abu 'Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah yang berbunyi Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya ia berkata, "Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah Swt."
Hujjah keempat: Pemilik karamah merasa bahwa karamah yang dimilikinya justru untuk memperlihatkan kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Allah. Jika ia merasa bangga, tinggi hati, dan sombong disebabkan karamah yang dimilikinya, maka batallah segala sesuatu yang menyebabkannya menerima karamah. Sikap seperti inilah yang membuat pemilik karamah tertolak. Oleh karena itu, setiap kali Rasulullah Saw. menceritakan tentang manaqib (keistimewaan) dan keutamaan dirinya, beliau selalu mengakhirinya dengan kalimat, "Tiada kebanggaan," maksudnya "Aku tidak bangga dengan karamah yang kumiliki ini, yang aku banggakan adalah Zat yang memberi karamah."
Hujjah kelima: Kemunculan hal-hal luar biasa pada iblis dan bal'am begitu menakjubkan, tetapi kemudian Allah berfirman kepada iblis, Ia termasuk golongan kafir, kepada bal'am, Ia seperti anjing, dan kepada ulama Bani Israil, Perumpamaan orang-orang yang memegang Taurat, tetapi tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (QS Al-Jumu'ah [62]: 5), juga firman-Nya kepada Bani Israil, Orang-orang yang telah diberi Al-Kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang ilmu kepada mereka, di antara mereka kemudian ada yang membangkang (QS Ali 'Imran [3]: 19). Jadi jelaslah bahwa kegelapan dan kesesatan yang menimpa mereka disebabkan karena rasa bangga dengan ilmu dan kezuhudan yang diberikan kepada mereka.
Hujjah keenam: Karamah bukanlah kemuliaan, dan segala sesuatu yang tidak mulia adalah kehinaan. Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena itu Nabi Ibrahim a.s. berkata, "Adapun bagi-Mu, itu tidak berarti apa-apa." Merasa cukup dengan kefakiran adalah fakir, takwa dengan kelemahan adalah lemah, merasa sempurna dengan kekurangan adalah kurang, bahagia dengan semua hal yang diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran adalah sikap ikhlas. Fakir adalah ketika seseorang senang dengan kemuliaan yang menjatuhkan derajatnya. Jika seseorang melihat karamah, sesunggu-hnya setiap ia melihat keperkasaan niscaya ia melihat sang pemberi keperkasaan, dan setiap ia melihat ciptaan niscaya ia melihat penciptanya.
Hujjah ketujuh: Bangga terhadap diri dan sifat-sifatnya termasuk sifat-sifat iblis dan Fir'aun. Iblis berkata, Aku lebih baik daripada Adam (QS Al-A'raf [7]: 12) dan Fir'aun berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini adalah kepunyaanku (QS Al-Zukhruf [43]: 51). Setiap orang yang mengaku nabi atau tuhan secara dusta, maka ia tidak memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias diri, memperkuat ketamakan dan kebanggaan diri. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda, "Ada tiga hal yang merusak, yang terakhir adalah orang yang membanggakan diri."
Hujjah kedelapan: Allah berfirman, Berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur (QS Al-A'raf [7]: 144). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr [15]: 99). Ketika Allah menganugerahkan karunia yang melimpah kepada kita, kita diperintah untuk menyibukkan diri dengan melayani Sang Pemberi, bukan malah bangga dengan karunia yang diberikan-Nya itu.
Hujjah kesembilan: Ketika Nabi Saw. disuruh oleh Allah untuk memilih antara menjadi raja yang nabi atau hamba yang nabi, beliau tidak memilih posisi raja, padahal tidak diragukan bahwa posisi raja yang meliputi daerah Timur dan Barat adalah kemuliaan, bahkan mukjizat. Namun Nabi Saw. meninggalkan singgasana dan memilih penghambaan ('ubudiyah)kepada Allah. Sebab ketika menjadi seorang hamba, kebanggaannya diarahkan kepada tuannya. Tetapi ketika menjadi raja, kebanggaannya diarahkan kepada budaknya. Ketika Nabi Saw. memilih penghambaan, sudah tentu dia menjadikan sunnah sebagai peng-
hormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud, "Aku bersaksi bahwa Muhammmad Saw. adalah hamba dan utusan-Nya." Allah berfirman tentang mi'raj Nabi Saw., Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra' [17]: 1)
Hujjah kesepuluh: Mencintai tuan itu tidak ada artinya, mencintai sesuatu demi tuan juga tidak ada artinya. Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan senang dan gembira selain dengan kekasihnya. Kesenangan dan kegembiraan dengan selain Allah menunjukkan bahwa ia tidak mencintai tuannya, tetapi ia hanya mencintai bagian dari nafsunya sendiri dan bagian dari nafsu hanya dituntut oleh nafsu. Orang seperti ini hanya mencintai dirinya sendiri. Sebenarnya ia tidak mencintai tuannya, ia hanya menjadikan tuannya sebagai sarana untuk memperoleh apa yang dicarinya. Berhala besar adalah nafsu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (QS Al-Furqan [25]: 43). Manusia seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para muhaqqiqin mengemukakan bahwa mudarat karena menyembah berhala tidak sebesar mudarat karena menyembah nafsu, rasa takut karena menyembah berhala tidak sebesar rasa takut karena merasa bangga dengan adanya karamah.
Hujjah kesebelas: Allah berfirman, Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya (QS Al-Thalaq [65]: 2-3). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa dan bertawakkal kepada Allah, maka tidak akan memperoleh apa-apa dari perbuatan dan keadaan mereka itu.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.1.5 Apakah Seorang Wali Dapat Mengetahui Kewalian Dirinya

Ustad Abu Bakar bin Faurak mengatakan bahwa seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya adalah seorang wali. Sementara Ustad Abu 'Ali al-Daqaq dan Abu Qasim al-Qusyairi (muridnya) mengatakan bahwa hal itu mungkin. Alasan kedua pendapat yang berseberangan ini cukup banyak.
Alasan pertama: Kalau seseorang mengetahui bahwa dirinya adalah wali, maka ia akan merasa aman, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak bersedih hati (QS Yunus [10]: 62). Akan tetapi meraih keyakinan rasa aman itu tidak diperbolehkan, karena beberapa alasan:
1) Allah berfirman, Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi (QS Al-A'raf [7]: 99). Putus asa juga tidak diperbolehkan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir (QS Yusuf [12]: 87). Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat (QS Al-Hijr [15]: 56). Artinya, rasa aman hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya lemah, keputusasaan hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya sedikit. Keyakinan yang lemah dan sedikit kepada hak-hak Allah adalah perbuatan kufur, maka orang yang merasa aman dari siksa Allah dan putus asa dari rahmat Allah adalah orang yang kafir.
2) Ketaatan sebesar apa pun tetap lebih besar rasa terpaksa, jika rasa terpaksa ini mendominasi jiwa seseorang, maka tidak akan diperoleh rasa aman.
3) Rasa aman akan menyebabkan hilangnya penghambaan kepada Allah. Hilangnya sikap pengabdian dan penghambaan kepada Allah akan menimbulkan rasa permusuhan, sedangkan rasa aman menyebabkan hilangnya rasa takut.
4) Allah menyifati orang-orang yang ikhlas dengan firman-Nya, Dan mereka berdoa kepada Kami dengan rasa berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami (QS Al-Anbiya' [21]: 90). Sebagian orang menafsirkan bahwa berdoa dengan rasa berharap di sini adalah berdoa memohon pahala kepada Allah, sementara berdoa dengan rasa takut adalah takut terhadap siksa Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat di atas bermakna berdoa dengan mengharap karunia Allah dan berdoa dengan rasa takut terhadap siksa-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat di atas menganjurkan berdoa dengan mengharap dapat berjumpa dengan Allah, dan berdoa dengan rasa takut berpisah dari Allah. Adapun pendapat yang paling tepat adalah berdoa dengan mengharap kepada Allah dan rasa takut terhadap-Nya.
Alasan kedua: Seorang wali tidak mengetahui bahwa dirinya wali, sebab ia menjadi wali karena Allah mencintainya, bukan karena ia mencintai Allah, demikian juga sebaliknya seseorang menjadi musuh Allah karena Allah memusuhinya bukan karena ia memusuhi Allah. Mencintai dan memusuhi Allah adalah dua rahasia yang tidak tampak pada diri seseorang. Ketaatan dan kemaksiatan hamba tidak mempengaruhi seseorang untuk mencintai atau memusuhi Allah, karena ketaatan adalah sesuatu yang baru muncul kemudian, sedangkan sifat Allah itu kekal dan tidak terbatas. Sesuatu yang baru dan terbatas tidak dapat mengalahkan yang kekal dan tak terbatas. Berdasarkan hal ini, terkadang seorang hamba bermaksiat kepada Allah saat ini, padahal sebelumnya ia mencintai-Nya, terkadang juga seorang hamba taat kepada-Nya saat ini padahal dulunya ia bermaksiat terhadap-Nya. Pada prinsipnya, mencintai dan memusuhi Allah adalah sifat, sedangkan sifat Allah tidak bisa dijelaskan alasannya. Barangsiapa mencintai Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi musuh-Nya karena melakukan maksiat. Barangsiapa memusuhi Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi pencinta Allah karena melakukan ketaatan. Karena mencintai dan memusuhi Allah merupakan dua rahasia yang tidak bisa dilihat, maka Nabi Isa a.s. berkata. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sementara aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib. (QS Al-Maidah [5]: 116)
Alasan ketiga: Seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya wali karena hukum yang menentukan bahwa seseorang termasuk wali, orang yang berpahala, dan penghuni surga tergantung pada akhir kehidupan, dalilnya adalah firman Allah yang menyatakan, Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya, dan barangsiapa membawa amal yang buruk maka dia ia hanya diberi balasan yang sepadan dengan amal buruknya (QS Al-Maidah [6]: 160). Firman Allah tersebut bukan berbunyi, Barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka baginya pahala sepuluh kali lipat sepadan dengan perbuatannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pahala dari Allah tergantung pada akhir pelaksanaan, bukan pada awal perbuatan. Yang memperkuat pendapat ini adalah dalil yang menyatakan bahwa apabila seseorang menghabiskan seluruh usianya dalam kekufuran, lalu di akhir hayatnya ia masuk Islam, maka ia termasuk golongan orang yang mendapatkan pahala, begitu pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa yang penting adalah akhirnya bukan awal perbuatannya. Karena itu, Allah berfirman, Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, "Jika mereka berhenti dari kekufuran, niscaya Alah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu" (QS Al-Anfal [8]: 38). Jadi, ketetapan bahwa seseorang termasuk wali atau musuh Allah, orang yang mendapat pahala atau mendapat siksa terletak di akhir hidupnya. Dan telah jelas bahwa akhir kehidupan tidak diketahui oleh seorang pun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang wali tidak bisa mengetahui bahwa dirinya wali.
Adapun mereka yang menyatakan bahwa seorang wali terkadang bisa mengetahui kedudukannya sebagai wali, berpegang pada kesahihan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kewalian terdiri dari beberapa unsur:
  1. Secara lahiriah, ia tunduk dan patuh kepada syariat.
  2. Secara batiniah, ia tenggelam dalam cahaya hakikat.
Apabila seseorang telah mencapai dua unsur ini dan orang-orang mengetahui manifestasi dari dua unsur di atas, maka eksistensi kewaliannya bisa diketahui. Kepatuhan kepada syariat secara lahir terlihat dari tindakan lahir, sementara tenggelamnya batin dalam cahaya hakikat berupa kesenangan menaati Allah dan mengingat-Nya, tiada sesuatu pun dalam dirinya selain Allah.
Banyak kesalahan yang samar dalam pembahasan tentang apakah wali mengetahui kedudukannya sebagai wali atau tidak, penetapannya sulit, pengalamannya membahayakan, kepastiannya adalah tipuan, dan di depan jalan menuju alam ketuhanan ada tabir-tabir yang terkadang berupa api dan terkadang berupa cahaya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui hakikat dari rahasia-rahasia.
Sayyid 'Abdul Ghani al-Nabulusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah mengutip penuturan Imam Barkawi yang menyatakan bahwa karamah wali itu benar-benar ada. Karamah adalah munculnya hal-hal luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk menampakkannya, yang muncul di tangan seorang hamba untuk menampakkan kemaslahatan, dipakai untuk menetapkan ittiba'nya (ketaatannya) kepada Nabi Saw., didukung oleh keyakinan yang benar dan amal saleh. Adapun kejadian luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk memperlihatkannya seperti halnya mukjizat, yang muncul di tangan orang yang secara lahiriah dinilai baik, disebut sebagai ma'unah. Ma'unah adalah kejadian luar biasa di tangan orang-orang muslim awam untuk melepaskan diri dari berbagai cobaan dan hal-hal yang tidak disukai, disertai keyakinan yang benar dan amal saleh, dijauhkan dari istidraj, dan dengan mengikuti Nabi Saw. Nabi memperlihatkan kejadian luar biasa untuk mengokohkan kebohongan para pendusta, seperti meludahnya Musailamah ke dalam sumur air tawar agar airnya terasa manis, tetapi yang terjadi justru airnya asin dan pahit.
Al-Laqani menyatakan bahwa karamah diperuntukkan bagi para wali, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Karena kewalian seorang wali tidak terlepas meskipun ia wafat. Seperti Nabi yang tidak lepas dari status kenabiannya. Wali adalah orang yang 'arif, mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya, senantiasa taat, menjauhi maksiat, dan bersungguh-sungguh menahan diri dari kenikmatan dan hawa nafsu. Al-Sa'di mengungkapkan dalam kitab Syarh al-'Aqaid bahwa dengan mengekang hawa nafsu, keinginan untuk bersenang-senang dan mengumbar hawa nafsu akan hilang, hanya saja seorang wali tidak diboleh mencegah diri dari melakukan hal-hal yang dimudahkan dan dihalalkan baginya.
Karamah para wali adalah kebenaran yang ditegaskan dalam nash Al-Qur'an, di antaranya dalam kisah Maryam, Setiap Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Maryam, ia mendapati makanan di sisi Maryam. Zakaria bertanya, "Hai Maryam, dari mana engkau memperoleh semua makanan ini?" Maryam menjawab, "Makanan itu dari Allah" (QS Ali 'Imran [3]: 37). Maryam berada dalam asuhan Zakaria a.s., dan tak seorang pun pernah masuk ke dalam mihrab Maryam, selain Zakaria. Bila Zakaria keluar dari sana, tertutuplah tujuh pintu mihrab tersebut. Setiap Zakaria masuk ke mihrab Maryam, ia menemukan buah-buahan musim dingin pada musim panas, dan menemukan buah-buahan musim panas ketika cuaca dingin. Zakaria merasa heran dan menanyai Maryam. Maryam menjawab bahwa semua itu adalah rezeki dari Allah, Dialah Pemberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Kisah lain dalam Al-Qur'an yang menegaskan adanya karamah adalah kisah tentang ashabul kahfi yang tinggal dalam gua selama bertahun-tahun tanpa makan dan minum dan kisah tentang Asif bin Barkhiya yang mampu menghadirkan singgasana Ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya. Karamah para sahabat, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan orang-orang saleh sesudahnya diriwayatkan secara mutawatir dalam hal makna atau inti ceritanya walaupun perinciannya disampaikan secara ahad.
Dalam kitabnya, Syarh Maqasid al-Maqasid, Al-Dulji berkata, "Orang-orang yang mengingkari karamah bukan termasuk ahli bid'ah. Anehnya, meskipun mereka belum pernah meyaksikan langsung karamah para wali dan belum pernah mendengarnya secara langsung dari para pemimpin mereka padahal mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi kemaksiatan, tetapi mereka mencaci maki wali-wali Allah sebagai pemilik karamah dan menyakiti hati mereka, karena mereka tidak mengerti bahwa karamah didasarkan pada akidah yang jernih, jiwa yang bersih, jalan dan hakikat pilihan. Bahkan sangat mengherankan pendapat sebagian ahli fikih pengikut Sunnah yang diriwayatkan Ibrahim bin Adham r.a. di Basrah dan Mekah pada hari tarwiyyah (lempar jumrah), yang menyatakan bahwa orang yang meyakini hal-hal tersebut adalah kafir. Pendapat yang moderat diungkapkan oleh Al-Nasafi ketika ia ditanya tentang suatu berita yang menyatakan bahwa Ka'bah selalu dikunjungi oleh salah seorang wali, betulkah kabar itu? Ia menjawab, 'Itu melanggar kebiasaan para wali yang menempuh jalan karamah, tetapi mungkin saja bagi orang yang mengikuti Sunnah Nabi Saw. yang biasa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat.' Hal-hal tersebut dimasukkan oleh para ahli fikih pengikut Hanafi dan Syafi'i ke dalam pembahasan masalah-masalah syariat."
Ibnu Hajar al-Haitami al-Syafi'i menjelaskan dalam kitab Al-Fatawa bahwa jika seorang musafir tiba di suatu negeri saat matahari telah terbenam, lalu ia melaksanakan shalat Maghrib di sana, kemudian ia sampai di tempat pemberhentian lain yang di sana matahari belum terbenam, padahal ia telah melakukan shalat magrib di negeri pertama, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya. Munculnya makanan, minuman, dan pakaian secara gaib ketika dibutuhkan seperti yang terjadi pada para wali, kemampuan terbang di udara seperti dikutip dari Ja'far bin Abi Thalib dan Luqman al-Sarkhasi, kemampuan berjalan di atas air, berbicara dengan benda mati dan binatang seperti binatang ternak dan burung dan lain-lain adalah sebagian dari kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada para wali. Semua itu adalah penghormatan dari Allah untuk mereka, dan merupakan mukjizat bagi Rasul-Nya, meskipun beliau sudah wafat. Dalam hal ini, munculnya mukjizat tidak harus ketika Rasul masih hidup, tetapi juga bisa terjadi setelah beliau wafat. Demikian pula karamah bisa terjadi setelah sang wali wafat, seperti telah dijelaskan pada akhir penjelasan Sayyid 'Abdul Ghani al-Nablusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah.
Dalam kitabnya Nasyrul Mahasin al-Ghaliyyah, Imam Yafi'i mengutip pendapat tokoh-tokoh umat ahlus sunnah wa al-jama'ah dan para syaikh tentang kemungkinan terjadinya sesuatu di luar adat yang muncul dari karamah para wali. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Imam Haramain, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Fauraq, Hujjatul Islam Al-Ghazali, Fahruddin al-Razi, Nashiruddin al-Baidhawi, Muhammad bin 'Abdul Malik al-Salma, Nashiruddin al-Thusi, Hafiduddin al-Nasafi, dan Abu Qasim al-Qusyairi. Setelah mengutip pendapat mereka, Al-Yafi'i berkata, "Mereka adalah sepuluh imam yang sebagiannya menyusun kitab-kitab dan memiliki pembicaraan tentang agama yang bisa dijadikan pegangan dalam bidang akidah ahlus sunnah wa al-jama'ah. Tidak perlu menyebut lebih banyak lagi, karena menyebut sepuluh saja sudah dianggap cukup. Mereka sepakat bahwa perbedaan antara karamah dan mukjizat adalah pada tingkat kenabian semata, dan tidak satu pun dari mereka yang mensyaratkan bahwa jenis dan keagungan karamah tergantung kepada mukjizat."
Imam Abu Qasim al-Qusyairi mengungkapkan dalam Al-Risalah karyanya bahwa kemunculan karamah pada para wali mungkin terjadi karena bisa dipahami secara rasional, lagi pula kemunculannya tidak melenyapkan asal-usul karamah, tetapi justru menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Jika keberadaan karamah sangat tergantung kepada Allah, maka tidak ada satu pun hal yang dapat merintangi keberadaannya. Kemunculan karamah merupakan tanda kejujuran orang yang memilikinya. Orang yang tidak jujur tidak mungkin mampu memunculkan karamah. Dalilnya adalah bahwa ilmu ma'rifat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga ia bisa membedakan antara orang yang jujur dengan orang yang batil ketika meniti jalan yang ditempuhnya adalah persoalan yang abstrak. Hal-hal itu tidak akan terjadi kecuali pada para wali secara khusus, tidak pada orang yang hanya berpura-pura mengaku wali. Inilah persoalan karamah yang sedang kita bicarakan. Karamah pasti merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan dan menjelaskan sifat kewalian untuk menyatakan kebenaran keadaannya.
Banyak ulama membahas perbedaan antara karamah dan mukjizat, salah satunya adalah Imam Abu Ishaq al-Asfaraini yang menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran para nabi dan dalil kenabian yang hanya ada pada nabi, sedangkan wali memiliki karamah seperti terkabulnya doa, tetapi mereka tidak memiliki mukjizat seperti
yang dimiliki para nabi.
Imam Abu Bakar bin Faurak R.A. menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran. Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai nabi maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya. Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai wali, maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya, tetapi hal itu disebut karamah, bukan mukjizat, meskipun serupa dengan mukjizat, tetapi memiliki perbedaan yang nyata.
Al-Qusyairi mengemukakan pendapat orang yang paling ahli dalam bidang mukjizat pada masanya yaitu Al-Qadhi Abu Bakar al-Asy'ari r.a. yang menyatakan, "Mukjizat dikhususkan bagi para nabi, sedangkan karamah untuk para wali. Para wali tidak memiliki mukjizat, karena di antara syarat-syarat mukjizat adalah jika kejadian-kejadian luar biasa itu dibarengi dengan pengakuan kenabian. Kejadian luar biasa tidak disebut mukjizat hanya karena bentuknya saja, tetapi disebut mukjizat karena adanya banyak syarat yang dipenuhinya, jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka itu bukan mukjizat. Satu dari beberapa syarat mukjizat adalah pengakuan kenabian, sedangkan wali tidak menyatakan pengakuan kenabian, jadi yang muncul darinya bukanlah mukjizat."
Al-Qusyairi menegaskan, "Pendapat inilah yang kami pegang dan ungkapkan, bahkan kami meminjamnya. Semua syarat mukjizat atau sebagian besarnya ada dalam karamah, kecuali syarat pengakuan kenabian saja."
Al-Qusyairi mengungkapkan bahwa karamah adalah peristiwa yang mungkin terjadi, karena tidak ada sesuatu yang dahulu khusus ada pada seseorang, bertentangan dengan kebiasaan dan tampak pada masa taklif, muncul pada hamba sebagai bentuk pengkhususan dan pengutamaan, kadang sebagai hasil dari ikhtiar dan doanya, namun kadang bukan karena ikhtiar. Wali tidak diperintah untuk memohon karamah bagi dirinya.
Al-Qusyairi berkata, "Tidak setiap karamah yang dimiliki seorang wali wajib dimiliki oleh seluruh wali, bahkan meskipun seorang wali tidak memiliki karamah secara lahiriah di dunia, hal tersebut tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai wali. Berbeda dengan para nabi yang harus memiliki mukjizat, karena mereka diutus kepada manusia yang harus mengetahui kebenarannya, dan tidak ada jalan lain kecuali dengan mukjizat. Sebaliknya kedudukan sebagai wali tidak harus diketahui oleh orang lain."
Masih menurut Al-Qusyairi, sesungguhnya seorang wali tidak merasa senang dengan karamah yang muncul pada dirinya tidak juga memiliki perhatian yang besar kepadanya. Ketika muncul karamah padanya, keyakinannya semakin kuat dan mata hatinya semakin tajam untuk menegaskan bahwa karamah adalah perbuatan Allah, yang dengannya mereka memperoleh bukti kebenaran akidah yang diyakininya. Singkatnya kemunculan karamah pada para wali adalah wajib, begitu juga menurut kebanyakan ahli ma'rifat. Dan karena banyaknya riwayat mutawatir tentang eksistensi karamah, baik berupa khabar maupun hikayat, maka keyakinan dan pengetahuan tentang adanya karamah pada para wali tidak diragukan lagi. Barangsiapa bersikap moderat terhadap masalah karamah, didukung dengan hikayat dan khabar mutawatir, maka ia tidak akan meragukan karamah.
Al-Qusyairi kemudian mengemukakan bahwa di antara dalil-dalil dari pendapat di atas adalah nash Al-Qur'an tentang sahabat Nabi Sulaiman yang berkata, "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana (Balqis) kepadamu sebelum matamu berkedip" (QS Al-Naml[27]: 40), padahal ia bukan seorang nabi. Juga riwayat tentang Umar bin Khattab R.A. yang tiba-tiba berkata, "Hai para kabilah di atas gunung!" padahal ia sedang menyampaikan khutbah Jumat, suara Umar didengar oleh pasukan Islam yang berada di gunung, sehingga mereka selamat dari tempat persembunyian musuh di gunung saat itu.
Bagaimana mungkin diperbolehkan melebihkan karamah para wali di atas mukjizat para nabi, dan bolehkah mengutamakan para wali di atas para nabi? Menurut Al-Qusyairi, karamah para wali terkait dengan mukjizat Nabi Muhammad Saw., karena setiap orang yang tidak jujur dan sungguh-sungguh dalam Islamnya maka ia tidak akan mampu memunculkan karamah. Setiap nabi yang memunculkan karamahnya kepada salah seorang umatnya, maka karamah itu termasuk mukjizatnya. Jika seorang rasul tidak mempercayai umatnya, maka tidak akan muncul karamah pada umatnya. Adapun tingkatan para wali tidak akan menyamai tingkatan para nabi berdasarkan dalil ijma' (kesepakatan ulama). Mengenai hal tersebut, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa karamah terkadang berupa terkabulnya doa, munculnya makanan ketika dibutuhkan tanpa sebab yang jelas, ditemukannya air ketika haus, kemudahan menempuh jarak dalam waktu sekejap, terbebas dari musuh, mendengar percakapan tanpa rupa, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan kebiasaan.
Al-Qusyairi menyatakan bahwa pada masa sekarang ini banyak kemampuan wali yang tampak, padahal seorang wali tidak diperkenankan untuk memperlihatkan karamahnya, baik karena terpaksa atau sedikit keterpaksaan. Di antara karamah adalah dilahirkannya seorang manusia tanpa ayah dan ibu dan mengubah benda mati, binatang
ternak, atau hewan-hewan lain.
Al-Qusyairi mengungkapkan,
"Wali adalah orang yang senantiasa menjaga ketaatan. Barangsiapa mencintai Allah Swt, maka Dia akan menjaga dan melindunginya. Allah tidak akan membiarkannya berbuat maksiat. Dia akan melanggengkan pertolongan-Nya kepada orang yang taat, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya," Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh "(QS Al-A'raf [7]: 196). Para wali bukan orang yang ma'shum (terjaga dari kesalahan dan dosa) seperti para nabi, tetapi orang yang terjaga, sehingga tidak terus menerus berada dalam dosa."
Sahal bin 'Abdullah berkata, "Siapa yang zuhud terhadap dunia selama 40 hari dengan ketulusan dan kejujuran dari lubuk hatinya, maka muncullah karamah padanya. Bila tidak muncul karamah, berarti zuhudnya tidak benar." Lalu ada yang bertanya kepada Sahal, "Bagaimana cara karamah tampak padanya?" Sahal menjawab, "Dengan memperoleh segala yang diinginkannya."
Karamah paling agung yang dimiliki para wali adalah langgengnya ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan dan pelanggaran. Demikianlah pendapat Al-Qusyairi tentang karamah.
Syaikhul Akbar Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a. mengemukakan dalam kitabnya Mawaqi' al-Nujum wa Mathali' Ahl al-Asrar wa al-'Ulum bahwa Nabi Isa A.S. memperoleh kedudukan yang mulia dan penglihatan yang agung berupa kemampuan menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang buta dan orang sakit lepra dengan izin Allah. Demikian juga Ibrahim A.S. mampu menghidupkan burung-burung; mengumpulkan bagian-bagian burung yang telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian, kemudian mencampur daging-dagingnya. Ibrahim memanggil potongan-potongan burung, dan burung-burung tersebut segera datang kepadanya, semua terjadi dengan seizin Allah. Bukan hal yang bertentangan dengan akal ketika Allah memuliakan seorang wali dengan memberinya karamah dan menampakkan karamah di tangannya. Setiap karamah akan diperoleh wali atau akan ditunjukkan melalui tangannya. Kemuliaan karamah merujuk kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan mengikuti Rasulullah dan tetap menaati batas-batas yang ditetapkan olehnya maka karamah adalah hal yang benar. Dalam persoalan ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat bahwa mukjizat Nabi SAW. adalah karamah bagi wali, ada juga yang menolak pendapat ini, ada juga yang berpendapat bahwa wali memiliki karamah yang bukan merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad Saw.
Tokoh-tokoh sufi tidak menafikan karamah karena mereka melihatnya ada pada diri mereka sendiri dan rekan-rekan mereka, karena mereka adalah orang yang mencapai tingkatan kasyf dan dzauq. Jika kami mengungkapkan karamah-karamah yang kami saksikan dan cerita-cerita dari orang-orang tsiqah (tepercaya) tentang karamah, pasti orang yang mendengarnya akan mendustakannya, bahkan mungkin mencelanya. Hal itu dikarenakan kurangnya pemahaman mereka terhadap diri orang yang menampakkan karamah melalui tangannya, karena kepribadian dan sikap mereka yang memandang rendah terhadapnya. Kalau saja ia menyempurnakan pandangannya terhadap orang yang mampu dan dipilih oleh Allah untuk menunjukkan karamah, tentu kebingungan dan sikap mereka yang mendustakannya tidak akan muncul.
Ibnu 'Arabi menyatakan bahwa ia sungguh-sungguh pernah bertemu seorang sufi pada masanya yang berkata, "Seandainya aku melihat kejadian luar biasa muncul dari tangan seseorang, niscaya aku akan menganggap peristiwa tersebut dusta menurut logikaku, tetapi jika memang peristiwa itu benar-benar terjadi dan menurutku itu mungkin maka sesungguhnya jika Allah menghendaki terjadinya sesuatu yang luar biasa di tangan seseorang, pastilah akan terjadi."Ibnu 'Arabi mengomentari orang itu, "Lihatlah! Alangkah tebal penghalang ini, begitu ingkar dan bodohnya ia. Semoga Allah menjaga tangan-tangan kita dan tangannya serta cahaya mata hatinya."
Imam Tajuddin al-Subki dalam kitab Thabaqatnya berbicara panjang lebar tentang ketetapan adanya karamah para wali dan menyatakan kepalsuan argumentasi para penentang karamah. Setelah menjelaskan beberapa karamah sahabat Nabi SAW., ia berkata, "Peristiwa-peristiwa luar biasa yang muncul dari tangan para sahabat yang telah kami ceritakan akan diterima orang yang memiliki bashirah(penglihatan mata hati). Kami akan mengemukakan dalil-dalil khusus untuk mematahkan kekacauan pandangan para penentang karamah dan menangkis argumen mereka. Menurut kami, ada beberapa macam dalil tentang penetapan karamah:
  1. Cerita yang tersebar dan terdengar yang tidak diingkari, kecuali oleh orang bodoh dan orang yang menolak karamah para ulama dan orang saleh, seperti keberanian 'Ali dan kedermawanan Hatim. Mengingkari karamah itu lebih besar tingkat kedurhakaannya, karena karamah lebih dikenal dan lebih nyata, dan hanya orang yang hatinya tertutup yang menentang adanya karamah.
  2. Kisah Maryam yang hamil tanpa suami, tersedianya kurma segar dari batang kurma kering untuknya, dan adanya makanan yang bukan musimnya di sisi Maryam tanpa sebab. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, "Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia menemukan makanan di sisinya. Zakaria bertanya, "Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh makanan ini?" Maryam menjawab, "Semua ini dari Allah" "(QS Ali 'Imran [31:37), padahal Maryam bukan seorang nabi.
  3. Kisah ashabul kahfi (penghuni gua) yang tertidur dalam sebuah gua selama 300 tahun lebih tanpa terkena penyakit dan tetap kuat seperti sediakala meski tanpa makan dan minum. Hal itu termasuk menyalahi kebiasaan manusia. Mereka bukan nabi, jadi semua yang mereka alami bukanlah mukjizat, melainkan karamah.
  4. Kisah Asif bin Barkhiya dengan Sulaiman a.s. ketika memboyong singgasana Ratu Bilqis sebelum Sulaiman mengedipkan matanya. Kebanyakan mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Asif dalam kisah tersebut adalah orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab. Kami telah memengemukakan kisah-kisah tentang karamah beberapa sahabat dan orang-orang sesudah mereka yang disampaikan secara mutawatir. Kalau saja ada seseorang yang mau mencurahkan segala daya untuk meneliti kisah-kisah tersebut, tentu akan diperoleh data yang berlimpah. Sejak dulu sampai sekarang selalu ada orang-orang seperti itu, bahkan kami mengambil kesimpulan dari kisah-kisah yang ada pada mereka. Pada masa mereka, orang-orang yang cendekia hanya sedikit sedangkan orang-orang yang menyimpang sangat banyak. Mereka mempercayai karamah orang-orang yang saleh dan meriwayatkan kisah-kisah tentang hal tersebut dari Bani Israil dan orang-orang sesudah mereka, dan para sahabat termasuk orang yang bercerita tentang kisah-kisah seperti ini secara panjang lebar.
Allah menganugerahkan ilmu-ilmu para ulama dan wali, sehingga mereka mampu menyusun banyak kitab yang tidak mungkin mampu disusun oleh orang selain mereka dalam waktu sepanjang usia pengarangnya, mampu menjelaskan hal-hal di luar kebiasaan, menemukan hal yang menggembirakan orang yang memiliki kecerdasan, mengambil banyak makna dari Al-Quran dan hadis yang dapat diterapkan dalam kehidupan dunia, menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan, bersabar dalam mujahadah (berjihad) dan riyadhah (melakukan olah spiritual), menyerukan kebenaran dan sabar terhadap berbagai penderitaan, mengekang diri dari kenikmatan duniawi dengan kesadaran total, tekun mencintai ilmu dan gigih untuk memperolehnya. Jika seseorang merenungkan anugerah Allah yang diberikan kepada para ulama dan wali di atas, maka ia akan mengetahui bahwa yang diberikan kepada mereka lebih besar daripada yang diberikan kepada sebagian hambanya, seperti munculnya roti di tanah yang gersang dan air di padang sahara yang tandus dan sejenisnya yang dapat dianggap sebagai karamah.
Dalam pembahasan ke-29 tentang al-Yawaqit wa al- Jawahir, Imam Al-Sya'rani r.a. berkata, "Ketahuilah, mayoritas ulama berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi bisa menjadi karamah bagi wali. Berbeda dengan kaum Mu'tazilah dan Syaikh Abu Ishaq al-Isfiraini yang berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi tidak mungkin menjadi karamah bagi wali. Karamah bisa berupa terkabulnya doa atau munculnya air di padang sahara yang biasanya tidak ada air, dan beberapa peristiwa luar biasa lainnya. Pada bab ke-187 dalam kitab Al-Futuhat, Syaikh Muhyiddin Ibnu 'Arabi berkata, "Pendapat Abu Ishaq al-Isfaraini benar, hanya saja saya mensyaratkan satu syarat lain yang tidak disebutkan olehnya. Menurut saya, mukjizat tidak mungkin menjadi karamah bagi wali, kecuali sang wali melakukan perbuatan luar biasa untuk menegaskan kebenaran nabinya, bukan demi karamah itu sendiri. Hal tersebut tidaklah dilarang seperti yang terkenal di kalangan para wali, kecuali jika ketika karamah muncul, sang nabi melarangnya pada waktu tertentu atau selama hidupnya. Oleh karena itu, diperkenankan melakukan karamah bagi selain rasul sesudah zamannya berakhir. Namun, bila nabi tersebut membiarkannya melakukan karamah dan tidak memberi batasan, maka apa yang diucapkan oleh Abu Ishaq tidak bisa direalisasikan."
Syaikh Muhammad bin 'Ali al-Mahalli dalam Syarh Taiyati al-Imam al-Subki menyenandungkan syair mengomentari perkataan penulis; "Setiap waktu kalau kamu memperhatikan orang yang akalnya mencapai puncak menyaksikan munculnya mukjizat yang baru."
Syihabuddin al-Suhrawardi mengatakan, "Para wali terkadang memiliki berbagai macam karamah, seperti mendengar suara tanpa rupa di awang-awang, panggilan batin, melipat bumi, dan mengetahui sebagian peristiwa sebelum terjadinya karena berkah mengikuti Rasulullah SAW. Karamah wali adalah penyempurnaan mukjizat para nabi." Artinya, setiap wali yang memiliki karamah sesudah nabinya, maka karamah tersebut merupakan kesempurnaan bagi mukjizat nabinya. Jadi, karamah milik orang-orang yang saleh dalam umat ini adalah penyempurnaan bagi mukjizat Nabi Muhammad SAW. Adanya para wali di bumi ini termasuk dalam mukjizat nabi yang terus menerus, karena dengan adanya mereka kebutuhan para hamba terpenuhi, dengan berkah mereka bencana yang akan menimpa suatu negeri tertolak, dengan doa mereka turunlah rahmat, dan dengan adanya mereka hilanglah siksa.
Hikmah banyaknya karamah para wali di kalangan umat Muhammad adalah menunjukkan kepemimpinan Nabi Saw. atas keseluruhan nabi, dengan melimpahnya mukjizat pada masa hidup dan sesudah wafatnya. Dan karena Nabi Saw. adalah penutup para nabi dan kekasih Tuhan Penguasa alam serta karena kelanggengan agama yang diembannya hingga akhir masa, maka kebutuhan akan sebab-sebab yang membenar-kan Nabi juga terus berlangsung. Di antara sebab-sebabnya yang paling kuat adalah adanya karamah-karamah di kalangan umatnya, yang pada hakikatnya serupa dengan mukjizat Nabi Saw., yang memperkuat eksistensi Al-Qur'an sebagai induk mukjizat, kumpulan ayat-ayat penjelasan, firman Allah yang qadim, peringatan-Nya yang bijak, yang tidak didatangkan oleh-Nya kebatilan dari hadapan dan belakangnya, yang diturunkan oleh Sang Maha Bijak lagi Maha terpuji, dan penguat hadis Nabi Saw. tentang tanda-tanda terjadinya kiamat dan lain-lain secara berangsur-angsur. Dengan adanya karamah, seolah-olah Nabi SAW. berada di tengah-tengah umatnya, menyaksikan mukjizatnya sesudah beliau wafat sebagaimana umatnya menyaksikan mukjizat Nabi ketika beliau masih hidup. Allah berfirman, "Supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya" (QS Al-Muddatsir [74]: 31). Allah akan memberi petunjuk menuju agama-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk kepada orang-orang yang sebelumnya tidak beriman.
Banyaknya karamah diketahui dari banyaknya wali dari kalangan umat Nabi SAW. yang muncul di setiap masa, seperti yang dijelaskan oleh Muhyiddin Ibnu 'Arabi dan yang lainnya berdasarkan hadis yang menjelaskan tentang hal itu juga berdasarkan pengetahuan sahih yang menyatakan bahwa para nabi berjumlah 124.000. Tidak diragukan lagi bahwa dari tangan mereka muncul sangat banyak karamah, dan seluruh karamah itu merupakan mukjizat bagi Nabi SAW. Jadi, mukjizat Nabi SAW. itu berlipat ganda, tidak berbilang, dan tidak berbatas. Hikmah banyaknya karamah dan keberlangsungannya sebagaimana yang telah kami kemukakan adalah penyebab munculnya karamah di tangan para sahabat lebih sedikit ketimbang di tangan para wali, karena tetapnya kebenaran agama disebabkan oleh bertambahnya iman orang-orang mukmin dan hidayah untuk orang-orang yang belum beriman. Pada masa sahabat, muncul begitu banyak mukjizat Nabi Saw. yang bisa disaksikan setiap saat dalam beraneka ragam jenisnya. Meskipun karamah para sahabat juga dianggap sebagai mukjizat Nabi SAW., seperti halnya seluruh karamah para wali, hanya saja kebutuhan ter hadap karamah para sahabat lebih kecil dibanding kebutuhan terhadap karamah para wali.
Al-Taj al-Subki juga menjelaskan dalam kitab Al-Tabaqat, bahwa meskipun jumlah sahabat banyak, karamah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan karamah para wali lainnya. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal R.A. hal itu dikarenakan para sahabat memiliki iman yang kuat sehingga tidak membutuhkan tambahan untuk memperkuat iman, sedangkan orang-orang selain mereka imannya lemah, sehingga memerlukan penguat iman dengan menampakkan karamah.
Syaikh Suhrawardi r.a. berpendapat senada dengan mengemukakan dua sebab karamah para sahabat lebih sedikit daripada akramah para wali. Pertama, munculnya peristiwa-peristiwa luar biasa pada para wali akan menghilangkan lemahnya keyakinan mereka, sebagai rahmat Allah untuk hamba-hamba-Nya dan sebagai pahala yang disegerakan, sedangkan para sahabat yang kedudukannya di atas para wali tidak mempunyai hijab (tabir) yang menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak memerlukan munculnya kejadian-kejadian luar biasa. Kedua, barangkali para sahabat tidak memerlukan munculnya kejadian-kejadian luar biasa karena merasa cukup dengan jumlah mereka yang banyak, merasa puas dengan memandang Nabi Muhammad SAW., dan senantiasa menempuh jalan istiqamah yang merupakan karamah terbesar. Meskipun dunia dibukakan di tangan mereka, mereka tidak meliriknya, tidak mendekatinya, dan tidak memintanya, sehingga Allah meridhai mereka. Kenikmatan duniawi yang ada di tangan mereka berlipat-lipat banyaknya daripada yang ada di tangan kita, tetapi penolakan mereka terhadapnya begitu besar dan ini merupakan karamah terbesar bagi mereka. Mereka hanya ingin meninggikan agama Allah dan berada di dekat-Nya Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.
Imam Qusyairi mengemukakan bahwa tidak tampaknya karamah seorang wali di dunia tidak mempengaruhi eksistensinya sebagai wali. Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari menjelaskan dalam syaraknya bahwa terkadang wali yang tidak ditampakkan karamahnya oleh Allah lebih utama daripada wali yang ditampakkan karamahnya. Sebab keutamaan terletak pada bertambahnya keyakinan bukan pada tampaknya karamah. Begitu juga Imam Yafi'i berpendapat senada bahwa wali yang memiliki karamah tidak mesti lebih utama daripada wali yang tidak memiliki karamah, bahkan terkadang wali yang tidak memiliki karamah lebih utama daripada yang memiliki karamah.
Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi menjelaskan dalam Mawaqi' al-Nujum, setelah menceritakan sejumlah karamah seperti kemampuan berjalan di atas air, berjalan di udara, dan lain-lain, "Semua wali yang sudah saya jelaskan adalah orang-orang yang memiliki maqam-maqam pemimpin kebajikan, orang-orang takwa nan terpilih, rijalullah dan para walinya, pusat masa dan wali-wali badai al-abda. Adapun permata merah, obat mukjizat yang mujarab, perbuatan yang bersih dari kekurangan, penguasa seluruh sifat, yang bebas dari segala malapetaka merupakan pengantin yang penglihatannya tersembunyi dalam tirai perlindungan, dalam kegaiban, dan naungan kebajikan makhluk, tidak mengenal dan dikenal, tersingkap dan tersembunyi, yang ditemukan dalam pertokoan dalam keadaan berbaring di tempat yang didiami anjing, atau badut yang dilempar dengan batu, tidak dipedulikan dan tidak dipandang orang, dan tertutup dari yang lain. Saya tidak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wali-wali yang terpilih dalam kondisi seperti permata yang ada pada masanya dan dalam wujud seperti mukjizat adalah wali-wali yang tidak memiliki karamah sama sekali. Memang, karamah adalah waktu baginya, bukan terhadap persoalannya. Adapun kelanjutannya tiada jalan, hanya berupa rahasia yang samar."
Al-Qusyairi r.a. menjelaskan bahwa para wali golongan ini meskipun memiliki kemampuan yang sangat besar, hanya sedikit yang memperlihatkan karamah. Mereka tersembunyi dari manusia, kedudukan mereka tak dikenal dan tertutup. Dari sini diketahui bahwa seorang wali yang memiliki karamah lebih banyak daripada wali lainnya belum tentu memiliki keutamaan yang lebih. Begitu juga sebagian wali yang tidak memperlihatkan karamah belum tentu tidak lebih utama daripada wali yang memperlihatkan karamah. Mereka adalah pemilik keutamaan yang selalu memelihara derajat kewalian, jika tidak mengapa Allah Swt. memuliakan mereka dengan karamah dan menganugerahi mereka kemampuan melakukan hal-hal luar biasa. Para da'i palsu terkadang memanipulasi masyarakat dengan memakai jubah sufi dan mengaku sebagai ahli petunjuk, padahal pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang bodoh, suka berbuat kerusakan, dan melanggar batas jalan petunjuk. Mereka khawatir jika mereka tidak memperlihatkan karamah, maka orang-orang tidak mempercayai derajat kewalian mereka. Mereka merasa lebih agung daripada para pemilik karamah sejati dan meremehkan kejadian-kejadian luar biasa yang muncul melalui tangan wali-wali Allah. Semua itu dilakukan untuk menipu masyarakat dan membuat mereka kagum. Sesungguhnya mereka termasuk orang yang paling buruk dan maksiat, dan orang-orang awam yang bodoh yang menampakkan beragam kefasikan secara terang-terangan jauh lebih baik daripada mereka.
Penulis akan mengutip ucapan Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi yang memuat penjelasan hakiki berdasarkan kebenaran. Dalam bab 185 tentang mengetahui maqam wali yang tidak memperlihatkan karamah, ia menyatakan:
"Tidak memperlihatkan karamah bukanlah petunjuk ketidakwalian seseorang
Dengarkanlah ucapanku yang merupakan jawaban paling benar
Karamah itu terkadang tampak wujudnya
Sebagai keberuntungan bagi orang yang dimuliakan tetapi kemudian jeleklah jalannya
Peliharalah ilmu yang kau kuasai jangan kau ambil pengganti selain Tuhan
Menyembunyikan karamah wajib bagi para wali
Dan karenanya engkau tak akan diabaikan
Menampakkan karamah wajib bagi para rasul
Dengannya, wahyunya benar-benar turun
"
Sebagaimana wajib bagi para Rasul untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan karamah mereka demi dakwahnya, demikian juga wajib bagi wali yang mengikuti jejak Nabi untuk menyembunyikan karamahnya. Inilah madzhab jamaah, karena wali tidak diwajibkan untuk menyatakan kewaliannya. Tidak semestinya seorang wali mengaku memiliki karamah, karena hal tersebut tidak disyariatkan. Parameter syariat telah ditetapkan di dunia ini dan ditegakkan oleh para ahli fatwa penyeru agama Allah. Mereka adalah pemuka-pemuka agama ahli tajrih (mencela) dan ta'dil (menganggap adil).
Apabila seorang wali keluar dari aturan syariat yang telah ditetapkan, padahal ia memiliki akal taklif, maka akibat perbuatan tersebut ditanggung dirinya sendiri. Hal tersebut juga berlaku pada hal-hal yang disyariatkan. Jika seorang wali melakukan perbuatan yang mengharuskan adanya had (hukuman) menurut zahir syara', maka hakim wajib menetapkan hukuman atasnya. Meskipun para wali mungkin termasuk hamba-hamba yang diampuni dosa-dosanya atau diperbolehkan melakukan perbuatan yang diharamkan syara tanpa mendapatkan siksa, mereka tetap tidak terlepas dari hukuman di dunia jika menyalahi syara'. Akan tetapi di akhirat, Allah berkata kepada para pahlawan perang Badar tentang dimaafkannya perbuatan-perbuatan mereka. Hal ini juga dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi, "Lakukan apa yang kau inginkan, karena Aku telah mengampunimu." Allah tidak berkata kepada mereka, "Aku telah menggugurkan hukuman-hukuman syara' yang ditetapkan atasmu di dunia." Di dunia, wali tetap terkena hukum syara'. Seorang wali yang dikenai hudud akan diberi pahala dan sebenarnya ia tidak berdosa, seperti Al-Hallaj dan orang-orang yang senasib dengannya.
Sikap wali yang tidak menampakkan karamah adakalanya bersumber dari Allah, artinya Allah tidak membekali wali tersebut sesuatu pun meskipun ia termasuk hambanya yang terpilih, atau terkadang wali tersebut dianugerahi kekuatan, namun ia membiarkannya tetap menjadi milik Allah, sehingga ia tidak menampakkannya sama sekali. Kita melihat beberapa wali yang menjalani perilaku ini, sebagaimana yang dikatakan Sayyid Abu Su'ud bin al-Syibli al-Baghdadi r.a., seorang rasionalis pada masanya. Ada seseorang bertanya kepadanya, "Apakah Allah menganugerahi Anda karamah?" Ia menjawab, "Ya, sejak umur 25 tahun Allah telah memberi saya karamah dan saya meninggalkannya dengan baik, Allah ridha jika kita melaksanakan perintah-Nya untuk menjadikan-Nya sebagai wakil." Si penanya bertanya lagi, "Kemudian perintah apa lagi?" Al-Syibli menjawab, "Shalat lima waktu dan menanti kematian. Manusia itu laksana pengusir burung, mulutnya sibuk sementara kakinya terus melangkah." Si penanya berkata, "Betapa mengagumkan apa yang dikatakannya, kecuali perkataannya berikut ini:
"Kakinya memijak kuat dalam genangan kematian. Ia berkata padanya tanpa menepiskannya"
Demikianlah sikap seorang wali, kalau tidak demikian ia bukanlah seorang wali. Sayyid Muhyiddin berkata, "Berkaitan dengan penjelasan di atas, suatu ketika Allah berkata kepadaku secara rahasia, 'Barangsiapa menjadikan-Ku wakilnya, maka ia telah melindungi-Ku. Barangsiapa melindungi-Ku, maka ia telah meminta-Ku untuk menegakkan perhitungan yang telah ia jaga untuk-Ku.' Perintahnya berbalik dan urutannya berganti. Inilah anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang diridhai dan dipilih-Nya. Di atas anugerah tersebut, ada anugerah yang senantiasa dicari seorang hamba. Seorang hamba yang teguh selalu sadar dengan kemampuannya. Allah hanya akan menjadikan orang yang memiliki akal dan anggota badan yang benar sebagai wakil-Nya. Jadi, tidak mungkin kebenaran bisa diganti:
"Kebenaran tetap kebenaran, makhluk tetap makhluk,hamba tetap hamba, dan Tuhan tetap Tuhan"
Apabila muncul peristiwa luar biasa seperti ini, menurut penulis, itu bukanlah karamah, karena karamah merujuk kepada orang yang menampakkannya. Mungkin ada yang sepakat dengan maqam ini seperti yang telah penulis sepakati dalam sidang yang kami hadiri pada 586 H. Seorang filosof menyampaikan kepada kami bahwa ia mengingkari kenabian berdasarkan batas yang ditetapkan oleh orang-orang Islam. Ia mengingkari kejadian-kejadian luar biasa yang ditunjukkan oleh nabi, dan bahkan kebenaran itu tidak akan berubah. Pada waktu itu musim dingin dan hujan, Di hadapan kami ada tungku besar yang apinya menyala, kemudian si penyangkal dan pendusta itu berkata, "Orang awam mengatakan bahwa Ibrahim dilemparkan ke dalam api dan tidak terbakar di dalamnya, padahal api bersifat membakar benda yang bisa terbakar. Api yang disebutkan dalam Al-Qur'an dalam kisah Ibrahim merupakan kiasan tentang kemarahan dan dendam Namrud kepada Ibrahim. Api yang dimaksud adalah api kemarahan. Ibrahim dilempar ke dalam api, karena amarah itu ditujukan kepadanya, dan api kemarahan itu tidak membakar Ibrahim, dengan kata lain kemarahan Namrud tidak mempengaruhi Ibrahim, karena baginya telah jelas hujah yang diperolehnya, yakni dalil berupa terbenamnya cahaya. Kalau saja cahaya itu adalah Tuhan pasti tidak akan terbenam. Dan Ibrahim menjadikan ini sebagai dalil."
Setelah penyangkal itu menyelesaikan ucapannya, salah seorang hadirin berkata, "Yang jelas, Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi mampu menampakkan karamah seperti ini (tidak terbakar api), karena dia memiliki maqam dan kedudukan. Kalau boleh aku memberitahumu, aku meyakini firman Allah yang menyatakan bahwa api itu tidak membakar Ibrahim secara makna lahir, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim (QS Al-Anbiya' [21]: 69). Aku tegaskan bahwa Ibrahim berada dalam maqam. Dan itu adalah mukjizatnya."
Sang penyangkal berkata, "Itu tidak mungkin terjadi." Lalu Syaikh Muhyiddin berkata kepadanya, "Bukankah api ini membakar?" Jawabnya, "Ya." Syaikh Muhyiddin berkata lagi, "Lihatlah sendiri."
Kemudian ia melemparkan api dari tungku ke pangkuan sang penyangkal itu. Api itu masih melekat di atas pakaiannya, ia membolak-balik api itu dengan tangannya, tetapi tidak membakarnya, sehingga si panyangkal merasa heran. Lalu dikembalikannya api itu ke dalam tungku, kemudian Syaikh Muhyiddin berkata kepadanya, "Dekatkan tanganmu ke dalam api itu!" Si penyangkal mendekatkan tangannya ke dalam api hingga tangannya masuk. Syaikh berkata padanya, "Demikianlah adanya, api diperintah untuk membakar sesuatu atau untuk tidak membakarnya. Allah Maha Berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya." Akhirnya si penyangkal itu masuk Islam dan mengakui mukjizat Nabi Ibrahim A.S.
Contoh orang yang tidak mengakui karamah muncul pada masa setelah Rasulullah SAW
Bukti-bukti kekuasaan Allah atas kebenaran Rasulullah SAW berfungsi untuk menunjukkan kebenaran syariat dan agama Islam, bukan semata-mata untuk menunjukkan Muhammad SAW sebagai wali Allah dengan hal-hal luar biasa yang dimilikinya. Inilah makna dari meninggalkan karamah bagi kelompok Al-Mulamatiyyah khususnya. Adapun menurut ulama-ulama besar, para sufi menampakkan karamah sebagai bagian dari gerakan jiwa, kecuali menurut batas yang telah kami sebutkan. Demikianlah pendapat Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a., seorang yang selalu berkata benar dan jujur.
Tidak diragukan lagi bahwa mukjizat Nabi SAW. dan bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran dan kesahihan agama serta kenabiannya, sebagian muncul karena permintaan orang-orang musyrik seperti terbelahnya rembulan, sebagian lagi muncul karena permintaan kaum muslimin seperti melimpahnya air dan makanan, dan sebagian lagi muncul bukan karena permintaan seseorang seperti berita-berita tentang kejadian-kejaidan gaib. Karena karamah para wali merupakan bagian dari mukjizat Nabi Saw., berarti mereka menampakkan karamah sebagai ganti dari Nabi SAW. Sebagimana yang dikatakan Sayyid Muhyiddin, "Para wali harus mengeluarkan berbagai macam karamah dengan cara sebagaimana mukjizat Nabi dimunculkan yakni sebagian karena permintaan orang-orang kafir, sebagian karena permohonan kaum muslimin, dan sebagian lagi tanpa diminta. Semua itu memiliki manfaat besar bagi yang menyaksikannya, baik bagi mereka yang melihat rahasia tersebut atau tidak. Tidak sedikit karamah yang menjadi sebab semakin kuatnya iman orang-orang yang menyaksikannya. Inilah manfaat besar yang dikehendaki menurut syara'. Karamah wajib disembunyikan ketika tidak ada hikmah dan faedah menampakkannya. Kita harus berprasangka baik bahwa para wali yang memperlihatkan karamah tidak bermaksud memamerkan kewaliannya, tetapi mereka pasti punya tujuan lain yang sesuai dengan syara', meskipun pengaruhnya tidak terlihat oleh kita seperti untuk memperkuat iman para hadirin yang menyaksikan- nya atau menampakkan kemulian dan kebenaran agama yang lurus ini."
Janganlah berburuk sangka kepada salah seorang wali bahwa ia menampilkan karamah untuk menetapkan kewalian dirinya dan menambah pengaruh dirinya atas orang lain. Para wali pasti tidak akan melakukan hal tersebut dan pasti menyadari bahwa mereka seharusnya menyembunyikan karamah. Bagaimana mungkin mereka memperlihatkannya, sehingga diharamkan keberkahannya. Tetapi yakinlah bahwa mereka tidak menampakkannya kecuali berdasarkan hukum yang benar dan niat yang lurus yakni untuk mencari ridha Allah dan mengabdi kepada agama-Nya yang lurus. Ketika itulah, para wali menempati maqam pemilik mukjizat, yaitu pemimpin para rasul, Muhammad SAW. Kebanyakan karamah yang dianugerahkan Allah kepada mereka muncul karena dipaksakan dan tanpa ikhtiar. Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada kita dengan berkah mereka, dan semoga Allah tidak memberi kita kemampuan untuk menentang mereka, karena mereka adalah wali Allah. Allah Swt. berfirman dalam hadis qudsi, "Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka Aku izinkan memeranginya." Maksudnya, Allah memberitahukan akan memerangi orang yang menyakiti wali-Nya dan menjadi musuhnya. Para ulama menyatakan bahwa peringatan keras ini hanya diberikan kepada mereka yang menyakiti para wali dan memakan riba. Kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan yang sempurna dalam agama, dunia, dan akhirat.
Imam Yafi'i menjelaskan dalam Raudh al-Rayyahin, "Manusia yang mengingkari karamah ada berbagai macam; ada yang mengingkari karamah para wali secara mutlak, ada yang mendustakan karamah para wali pada masanya tetapi mempercayai karamah para wali yang bukan masanya, seperti Ma'ruf, Sahi, Al-Junaid, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang yang oleh Abu Hasan al-Syadhily r.a., dikatakan, 'Demi Allah, tidak ada yang bertindak demikian selain kaum Bani Israil. Mereka percaya kepada Musa tetapi mendustakan Muhammad SAW. karena mereka semasa dengan Musa. Ada sebagian orang yang mempercayai bahwa wali-wali Allah memiliki karamah, tetapi tidak meyakini karamah satu orang wali pun yang hidup pada masanya.
Mereka ini terhalang mendapatkan berkah karamah, karena barang-siapa tidak mengakui karamah seorang wali, maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari karamah wali lainnya. Hanya kepada Allahlah kita mohon pertolongan dan husnul khatimah (akhir yang baik)." Imam Yafi'i mengatakan bahwa ketika beberapa ulama besar ditanya tentang karamah wali, mereka menjawab, "Barangsiapa menyangkal karamah padahal ia tidak mengerti sedikit pun tentang karamah dan tidak mampu memikirkannya, maka hendaklah ia kembali pada pemikiran bahwa sesungguhnya Allah Maha berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan Maha menetapkan apa yang Dia inginkan." Menurut Imam Yafi'i, sikap para penyangkal karamah ini sangat aneh, padahal karamah-karamah itu telah dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia, hadis-hadis sahih, atsar-atsar terkenal, hikayat-hikayat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang melihat dan menyaksikan langsung, ulama salaf dan khalaf, dan begitu banyak jumlahnya yang tersebar di seluruh negeri, sampai tak terhitung banyaknya. Mayoritas penyangkal karamah, kalau mereka melihat langsung para wali dan orang-orang saleh terbang di udara, mereka akan menganggap itu sihir atau menuduh mereka setan. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengharamkan taufiq lalu mendustakan kebenaran karamah karena dianggap tidak masuk akal dan dengki, berarti ia mendustakan hal-hal yang tampak di depan mata dan yang tertangkap oleh fisik. Sebagaimana firman Allah, dan Dialah Yang Maha benar perkataan-Nya, "Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata, "Ini benar-benar sihir yang nyata." "(QS Al-An' am [6]: 7)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.1.7 Perbedaan Karamah Dengan Peristiwa Luar Biasa Lainnya

Kami telah menjelaskan perbedaan antara mukjizat dengan kejadian luar biasa lainnya dalam pembukaan kitab Hujjatullah 'ala al-'Alamin. Dalam penjelasan itu, kami mengutip pendapat imam-imam yang berkompeten dalam hal ini seperti Al-Mawardi, Al-Sya'rani, Al-Qasthalani, Ibnu Hajar, dan lain-lain. Jadi, kami tidak perlu mencantumkannya lagi di sini, hanya perlu mengingatkan satu hal yang belum dijelaskan dalam kitab di atas, yang bersumber dari ucapan Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a. dalam bab 186 kitab Mawaqif al-Nujum tentang mengetahui maqam peristiwa luar biasa:
Peristiwa luar biasa terbagi menjadi beberapa macam.
Saya akan mengemukakan batasan-batasannya
Diantaranya, peristiwa luar biasa
yang muncul untuk menunjukkan kebenaran
Seperti mukjizat para Rasul
Yang lainnya ada beberapa macam
Tiada ilmu untuk bisa menjelaskannya
Semuanya termuat jelas dalam kitabullah
Cobalah kaji dalam tulisannya
Kabar gembira, sihir, tipu muslihat atau
tanda-tandanya Semua telah disebutkan dalam kitabullah
Semuanya diringkas dalam lima macam
Terkenal di kalangan orang-orang yang mampu melihatnya

Perlu diketahui, peristiwa luar biasa itu ada beberapa macam; di antaranya, peristiwa luar biasa yang muncul karena kekuatan diri, yaitu apabila orang alim berbuat dosa, lalu ia melakukan hal-hal luar biasa untuk memenuhi keinginannya itu. Demikian Allah mengabulkan kehendaknya. Terkadang berupa tipu muslihat yang sudah diketahui, seperti al-qalfitriyat dan hal-hal yang sudah dimaklumi ulama, terkadang berupa kemampuan mengatur huruf-huruf dengan astrologi, ini berlaku untuk ahli astronomi. Terkadang berupa penyebutan nama-nama, lalu muncul hal-hal luar biasa menurut pandangan mata orang yang melihatnya, yang berbeda dengan kebiasaan. Peristiwa tersebut muncul sesuai dengan kekuatan nama yang disebutkan. Semua ini terjadi di bawah kekuasaan makhluk atas izin Allah. Dan semua peristiwa luar biasa ini muncul melalui kekuatan ilahi, manusia tidak mempunyai andil dan kekuasaan, tetapi Allah-lah yang menampakkannya atau muncul atas perintah Allah dan petunjuknya.
Kejadian-kejadian luar biasa mempunyai tingkatan sebagai berikut; ada yang disebut mukjizat yang memiliki syarat dan sifat tertentu yang sudah diketahui. Ada yang disebut sebagai ayat, bukan mukjizat. Ada yang dinamakan karamah, muayyadah, munabbihat dan baitsah, jaza', makr, dan istidraj. Selain mukjizat, semua kejadian luar biasa ini tampak tanda-tandanya pada diri orang-orang yang menempuh jalan Allah meskipun mereka tidak mengetahuinya. Berbeda dengan mukjizat, karena para pemiliknya mengetahui apa yang ada dalam diri mereka. Apakah kejadian-kejadian luar biasa ini terjadi dengan campur tangan Allah atau tidak? Hanya mukjizat dan ayat yang pasti terjadi karena pertolongan Allah, oleh karena itu keduanya harus diyakini dan
diceritakan. Demikian juga dengan muayyadah, selain dua hal ini masih merupakan kemungkinan seperti yang telah kami jelaskan.
Kejadian luar biasa yang muncul dari para wali tidak akan terjadi pada orang yang mampu menampakkan kejadian luar biasa tetapi kemampuan itu digunakan untuk hal yang mubah, atau melakukan perbuatan yang dilarang karena godaan setan, atau meninggalkan suatu kewajiban syariat. Barangsiapa mempunyai hal luar biasa dalam dirinya, maka Allah akan memberinya kemampuan melakukan hal-hal luar biasa di dunia ini seperti kemampuan berbicara melalui kontak batin atau berjalan di udara, dan lain-lain. Ibnu 'Arabi telah menjelaskan karamah, tingkatan-tingkatan, dan hasil-hasilnya dalam kitab Mawaqi' al-Nujum. Kitab ini hanya menceritakan karamah-karamah saja bukan menjelaskan pengetahuan tentangnya. Mawaqi' al-Nujum adalah sebuah kitab dengan metode yang sahih, sangat bermanfaat, dan kecil bentuknya. Penulisnya menjelaskannya secara teratur karena keteraturan merupakan asal adanya alam. Dan kejadian luar biasa termasuk kejadian alam.
Allah membuat tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam ini, baik yang biasa maupun yang luar biasa. Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah di alam ini yang bersifat biasa hanya bisa dipahami oleh ahlul fahmi (orang yang memahami Allah secara khusus) dan selain mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang kehendak Allah. Allah telah memenuhi Al-Qur'an dengan ayat-ayat yang menerangkan tanda-tanda kekuasaan Allah berupa kejadian-kejadian yang biasa, seperti perbedaan malam dan siang, turunnya hujan, keluarnya tumbuh-tumbuhan, berlayarnya kapal di laut, perbedaan bahasa dan warna, tidur di waktu malam dan kerja di waktu siang. Semua dijelaskan dalam Al-Qurxan sebagai tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal, mau mendengar, bisa memahami, beriman, mengerti, meyakini, dan mau berpikir. Di samping itu, tidak ada yang mau memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah kecuali Ahlullah, yaitu ahli Al-Qur'an secara khusus.
Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah yang luar biasa adalah adanya kejadian-kejadian di luar kebiasaan manusia. Kejadian-kejadian tersebut memberi pengaruh kejiwaan atas manusia, seperti goncangan, gempa bumi dan gerhana, binatang berbicara, berjalan di atas air atau di udara, mengetahui peristiwa yang akan datang sebatas yang diketahui, berbicara melalui batin, sedikit makanan yang mengenyangkan banyak orang, hal ini dijadikan pelajaran oleh orang kebanyakan pada khususnya. Kalau suatu peristiwa yang luar biasa tidak membuat orang menjadi istiqamah, sadar, dan tidak mendorong untuk kembali kepada Allah dan tidak berpengaruh sedikit pun baginya, maka hal itu disebut makar dan istidraj karena dia tidak tahu bahwa itu adalah tipuan setan yang kuat yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang ingkar.
Kejadian-kejadian luar biasa mengandung rahasia yang mengagumkan bagi para ahli ma'rifat, dan kalau tidak berbahaya disiarkan kepada orang awam, kami pasti akan menjelaskannya. Kejadian luar biasa terjadi hanya satu kali, kalau terjadi dua kali maka disebut hal yang biasa. Pada hakikatnya, kejadian luar biasa selalu merupakan kejadian baru, kalau kemudian terulang maka tidak dinamakan kejadian luar biasa, paling ada kejadian yang serupa dengannya.
Dalam kitab Al-Futuhat al-Makiyyah dan Mawaqi' al-Nujum, kitab yang banyak faedahnya, kecil bentuknya, ditulis dalam cetakan lama kira-kira 100 halaman, dan dikarang pada 595 M, Ibnu 'Arabi menyatakan, "Manusia tidak bisa mengetahui hakikat kejadian-kejadian luar biasa. Allah lebih berhak disembah tetapi kejadian-kejadian luar biasa telah menutup mata buta yang hanya mengutamakan hal-hal lahir kehidupan dunia yaitu wujud kehidupan kedua (al-mitslu al-tsani)daripada kehidupan akhirat. Mereka lalai dan terpedaya kehidupan dunia. Kemungkinan itu tidak terbatas, kekuasaan adalah jendelanya, dan kebenaran adalah pasti. Mana pengulangan itu? Tidak masuk akal kalau tidak ada pengulangan karena pengulangan
merupakan kejadian luar biasa."
Syaikh Muhammad bin 'Ibad al-Randa dalam syaraknya tentang hikmah yang dianugerahkan Allah, berkata, "Setiap orang yang merasa dirinya istimewa, tidak sempurna keikhlasannya." Keistimewaan yang dimaksud di sini adalah kemuliaan, pertolongan, perlindungan, kasih sayang, dan penjagaan yang dilimpahkan Allah kepada sebagian hamba-Nya. Di antara mereka ada yang terus menerus mendapatkan karunia-karunia di atas dari Allah hingga tampaklah kearifannya, sehingga mereka mempunyai keistimewaan dibandingkan orang lain dan alam ini. Mereka adalah orang-orang khawwash yang dekat dengan Allah, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu ma'rifatullah dan mencintai Allah. Di antara mereka ada yang diberi kemampuan mencapai puncak kesempurnaan dan Allah menjaga keadaannya dengan menganugerahinya ilmu dan perbuatan yang pantas baginya. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah, golongan kanan,
ahli zuhud, ahli mujahadah, dan ahli zikir. Meskipun mereka sejajar dengan orang-orang yang pertama kali masuk surga karena mendapatkan kemurahan, kemuliaan, dan kemampuan dari Allah untuk melakukan tugas, ketaatan dan ibadah hanya kepada-Nya, mereka tidak memandang diri mereka istimewa, selalu menjaga langkah, bahkan menjaga sebab-sebab untuk mendapatkan karunia Allah tersebut, dan percaya akan adanya hijab.
Allah memberikan keistimewaan kepada mereka dengan menampakkan karamah di tangan mereka dan melalui perantaraan mereka, sebagai penenang jiwa dan penguat keyakinan dalam hati. Para sahabat Rasulullah yang termasuk golongan yang pertama masuk surga tidak mendapatkan karamah karena mereka tidak membutuhkannya dan karena kedalaman keyakinan, kekokohan dan keteguhan mereka. Sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab Awarif al-Ma'arif bahwa orang yang tidak mampu menyingkap makna kejadian-kejadian luar biasa terkadang lebih utama daripada yang mampu menyingkapnya bila telah disingkapkan oleh Allah dengan ma'rifat. Kekuasaan adalah bukti adanya Zat Yang Maha Kuasa. Dan orang yang secara khusus mendekat kepada Yang Maha Kuasa tidak memandang aneh kejadian-kejadian luar biasa, ia melihatnya tampak nyata dari tabir alam hikmah. ' i <
Al-Syibli r.a. diberitahu tentang Abu Turab yang kelaparan di gurun pasir lalu ia melihat gurun pasir itu penuh berisi makanan. Al-Syibli kemudian berkomentar, "Abu Turab adalah hamba yang ditolong oleh Allah, kalau ia mencapai tempat kebenaran, maka dia akan seperti orang yang berkata, 'Aku menginap di sisi Allah, maka Dia akan memberiku makan dan minum.'"
Al-Syibli menjelaskan dalam kitab Lathaif al-Minan bahwa karamah dalam diri seorang wali terkadang tampak oleh dirinya sendiri dan terkadang tampak oleh orang lain. Jika seorang wali melihat adanya karamah dalam dirinya, berarti ia mengetahui kekuasaan dan keesaan Allah dan mengetahui bahwa kekuasaan-Nya itu tidak mengikuti sebab akibat. Allah-lah yang telah menetapkan adanya kejadian-kejadian yang biasa, bukan kejadian-kejadian biasa yang menetapkan adanya Allah. Allah-lah yang telah membuat kejadian-kejadian yang biasa, perantara-perantara, dan sebab-sebabnya untuk menutupi kekuasaan dan menyelubungi cahaya keesaan-Nya. Orang yang tidak mempercayainya adalah hina dan orang yang terbuka hatinya serta percaya bahwa Allah pelakunya, maka dia itu mulia.
Al-Syibli selanjutnya mengutip pendapat Syaikh Abu Hasan yang mengemukakan bahwa karamah berfaedah untuk memperkuat keyakinan kepada ilmu, kekuasaan, kehendak dan sifat-sifat azali Allah yang menyatu dan tidak berdiri sendiri, seakan-akan satu sifat vang menyatu dalam Zat Yang Maha Esa. Tidaklah sama antara orang yang mengenal Allah melalui mata hatinya dengan orang yang mengenal Allah melalui akalnya. Karamah adalah penguat keyakinan bagi orang yang dianugerahi karamah seperti yang dialami oleh para wali di awal laku spiritualnya dan tidak dialami para ulama yang telah sempurna laku spiritualnya karena sudah mempunyai keyakinan yang mendalam, sehingga mereka tidak membutuhkan karamah untuk memperkuat keyakinan mereka. Demikianlah keadaan para sahabat Rasulullah. Allah tidak perlu menampakkan karamah berupa fisik pada mereka karena Allah telah menganugerahi mereka pengetahun tentang hal-hal gaib, pengetahuan musyahadah, laksana gunung yang tak membutuhkan tiang. Karamah dimunculkan karena adanya keraguan terhadap karunia Allah dan untuk mengetahui karunia Allah pada orang yang mempunyainya. Karamah adalah bukti bahwa orang yang mempunyainya istiqamah dalam beribadah kepada Allah.
Sikap manusia terhadap karamah ada tiga macam:
Pertama, golongan yang menjadikan karamah sebagai puncak kekuatan. Apabila mereka menemukan orang yang mempunyai karamah mereka memuliakannya, dan apabila karamah lenyap dari diri seseorang, mereka tidak memuliakannya.
Kedua, golongan yang meragukan karamah dan menganggapnya sebagai tipuan yang dilakukan oleh para pencinta dunia untuk menjaga kedudukan mereka sehingga mereka tidak bisa mencapai kedudukan yang bukan haknya.
Abu Turab al-Nakhsyabi bertanya kepada Abu Abbas al-Riqi, "Apa pendapat teman-temanmu tentang karamah yang merupakan cara Allah memuliakan hambanya." Abu Abbas menjawab, "Saya tidak melihat satu pun dari mereka yang tidak mempercayainya." Kemudian Abu Turab berkata, "Barangsiapa tidak mempercayainya, maka dia telah kafir. Yang saya tanyakan adalah pendapat mereka tentang ahwal (keadaan ketika orang alim dekat dengan Allah)." Abu Abbas menjawab, "Saya tidak tahu pendapat mereka." Abu Turab berkata lagi, "Sesungguhnya teman-teman- mu berkeyakinan bahwa karamah adalah tipuan untuk memalingkan manusia dari kebenaran, padahal sebenarnya tidak begitu, karena tipuan bersifat menenangkan orang
yang memilikinya. Maka barangsiapa yang tidak gembira dan tidak merasa aman dengan adanya karamah, berarti ia telah mencapai tingkat rabbaniyyin." Cerita ini berasal dari Abu Turab r.a. ketika ada beberapa temannya yang kehausan, lalu ia memukulkan tangannya ke atas tanah dan tiba-tiba mengalirlah air dari tanah tersebut. Kemudian ia berkata, "Aku ingin minum dengan gelas," lalu ia memukulkan tangannya ke tanah tiba-tiba ia memegang gelas dari kaca putih, ia minum dan memberi minum kami semua. Abu Abbas berkata, "Gelas itu kami
bawa sampai ke Mekah."
Syaikh Abu Hasan berkata, "Kesimpulannya, kita tidak pantas meminta karamah dari Allah. Barangsiapa dikaruniai karamah, berarti Allah memuliakannya karena hal itu menjadi bukti bahwa dia istiqamah dalam beribadah kepada Allah."
Ketiga, tampaknya karamah dalam diri seorang wali di hadapan orang lain. Maksudnya adalah supaya orang yang menyaksikannya mengakui kebenaran jalan yang ditempuh wali yang dikaruniai karamah tersebut. Baik orang itu dulunya mengingkari karamah kemudian mengakuinya, atau dulu ia kafir lalu beriman, atau dia ragu akan keistimewaan seorang wali kemudian muncul karamah dalam diri wali tersebut supaya Allah menunjukan kebaikannya kepada orang lain.
Abu Nashr al-Siraj bertanya kepada Abu Hasan bin Salim, "Apa makna karamah, sampai-sampai orang yang memilikinya meninggalkan dunia sebagai ladang ikhtiar, bagaimana mungkin mereka mulia dengan merubah batu menjadi emas?" Abu Hasan menjawab, "Mereka dianugerahi karamah bukan karena mereka menguasainya, tetapi karena mereka membutuhkannya dalam keadaan terpaksa dan untuk menghilangkan kesedihan karena kurangnya rezeki yang telah dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga mereka mengatakan, 'Allah berkuasa mengubah batu menjadi emas, seperti yang terlihat. Dia berkuasa memberikan rezeki kepadamu dari arah yang tidak disangka-sangka.' Para wali memerlukan karamah untuk mendidik jiwa mereka karena tidak adanya rezeki. Karamah adalah bukti kuat bagi mereka dan sarana untuk melatih dan mendidik jiwa."
Dalam hal ini, Abu Nashr pernah mendengar Ibnu Salim bercerita tentang hikayat Sahi bin 'Abdullah r.a. yang mengisahkan bahwa ada seorang laki-laki Basrah bernama Ishaq bin Ahmad yang tergolong memiliki banyak harta, tetapi ia kemudian meninggalkan hartanya. Ia bertobat dan bersahabat dengan Sahl. Pada suatu hari ia berkata kepada Sahi, "Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya jiwaku tidak bisa lepas
dari bisikan dan teriakan takut kehilangan makanan dan harta." Sahl menjawab, "Ambil batu lalu mintalah kepada Allah untuk mengubahnya menjadi makanan yang bisa kau makan." Ishaq berkata, "Siapa panutanku untuk melakukan hal itu?" Sahl menjawab, "Panutanmu adalah Nabi Ibrahim ketika ia berkata, 'Ya Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.' Allah bertanya, 'Apakah kamu belum percaya?' Ibrahim menjawab, 'Aku telah percaya, tetapi agar hatiku bertambah kuat (Al-Baqarah [2]: 260)."
Artinya, jiwa hanya akan puas setelah melihat secara langsung karena ia diliputi keraguan, seolah-olah Ibrahim berkata, "Ya Tuhan, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati agar hatiku bertambah kuat. Aku sebenarnya sudah percaya kepada-Mu, tetapi jiwa tidak puas apabila tidak melihat langsung." Demikian juga para wali Allah dianugerahi karamah untuk mendidik dan memperhalus jiwa serta sebagai keutamaan tambahan bagi mereka. Demikianlah pendapat Abu Nasr.
Salah seorang ulama berpendapat bahwa karamah hanya dimiliki oleh orang-orang jujur yang bodoh. Pada suatu hari, seorang sahabat Sahl bin 'Abdullah r.a. berkata kepadanya, "Tatkala aku berwudhu untuk shalat, tiba-tiba air yang mengalir di tanganku berubah menjadi segenggam emas dan perak." Sahl kemudian berkata kepadanya, "Yang saya tahu, jika anak kecil menangis ia diberi mainan agar tenang."
Al-Junaid menceritakan bahwa Abu Hafshah al-Naisaburi dan 'Abdullah al-Ribati beserta jamaahnya pernah berkunjung kepadanya. Di antara mereka ada yang kepala bagian depannya botak dan sedikit bicara. Pada suatu hari, si kepala botak bertanya kepada Abu Hafsah, "Salah seorang jamaah yang kemarin ke sini memiliki tanda-tanda karamah yang nyata, tetapi aku tidak melihat sesuatu pun pada dirimu." Abu Hafshah r.a. menjawab, "Kemarilah," kemudian ia membawanya ke pasar pandai besi. Abu Hafshah menuju tungku besar dan memasukan besi besar ke dalam tungku kemudian memasukan tangannya ke tungku tersebut dan mengambil besi yang terbakar itu lalu mengeluarkannya hingga menjadi dingin di tangannya. Kemudian ia berkata kepada orang itu, "Inikah yang kau inginkan?" Beberapa orang di antara mereka menanyakan tujuan menampakkan karamah, ia menjawab, "Hal itu menunjukkan bahwa orang yang memilikinya adalah orang yang mulia dan ia takut kalau tidak menunjukkannya, keadaannya akan berubah. Maka ia menunjukkannya untuk memperoleh simpati, menjaga keadaannya, dan menambah imannya. Akan tetapi
para ahli ma'rifat dan para ahli hakikat menghindar dan takut untuk menunjukan karamah mereka."
Salah seorang ulama salaf berkata, "Tipu daya yang paling tidak kentara bagi para wali adalah karamah dan ma'nah" Diceritakan bahwa ketika Abu Hafs duduk dengan teman-temannya, ada seekor kijang turun dari gunung dan ia meminta berkah kepada mereka. Abu Hafs lalu menangis, kemudian ia ditanya kenapa menangis. Abu Hafs menjawab, "Ketika kalian duduk di sampingku tiba-tiba terbesit dalam hatiku apabila aku mempunyai kambing, maka akan aku sembelih untuk kalian. Maka ketika kijang ini meminta berkah kepada kita aku merasa diriku seperti Fir'aun ketika meminta kepada Allah untuk mengizinkannya berlayar di Sungai Nil lalu Allah mengizinkannya. Lalu aku menangis dan bertanya kepada Allah tentang apa yang diminta dan diharapkan kijang tersebut."
Diceritakan bahwa salah seorang Abdal berkata kepada salah satu murid Syaikh Abu Madyan r.a., "Apa yang terjadi pada kita sehingga kita sulit melakukan sesuatu, sedangkan Abu Madyan mudah sekali melakukannya, padahal kita ingin mencapai kedudukan seperti kedudukannya sedangkan ia tidak menginginkan kedudukan kita?" Pembicaraan tersebut terdengar oleh Syaikh Abu Madyan, lalu ia berkata, "Katakan padanya bahwa kami akan meninggalkan tujuan kami untuk tujuannya."
Diceritakan bahwa suatu kali Syekh Abu Madyan berjalan di gurun pasir sampai ke sebuah sumur yang airnya meluap hingga bibir sumur, lalu ia berkata, "Aku tahu Engkau mampu melakukan ini sedangkan aku tidak mampu melakukannya. Seandainya Engkau mendatangkan seorang badui kepadaku, niscaya ia akan menamparku dan memberiku minum, sungguh hal itu lebih aku sukai dan aku tahu bahwa bantuan orang badui itu bukan dari dirinya sendiri."
Yahya bin Mu'adz al-Razi r.a. berkata, "Apabila kamu melihat orang menunjukkan tanda-tanda karamah, berarti jalan spiritualnya adalah jalan kaum Abdal. Jika kamu melihat orang menunjukkan karamah dan menyenandungkan pujian kepada Allah, berarti ia menempuh jalan cinta. Jalan kedua ini lebih utama daripada jalan pertama. Dan apabila kamu melihat orang yang berzikir dan hatinya bergantung kepada yang ia zikirkan, berarti ia menempuh jalan ahli ma'rifat {'arifin). Inilah jalan yang paling tinggi derajatnya."
Abu Yazid r.a. berkata, "Pada permulaan olah spiritualku, Allah Swt. memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya dan karamah, tetapi
aku tidak mempedulikannya. Kemudian tatkala Allah memperlihatkan lagi kepadaku, tahulah aku bahwa Allah menjadikan hal tersebut sebagai jalan untuk mengenal-Nya." Selesailah penjelasan dalam Syarh Ibn 'Ibad atas kitab Al-Hikam.«
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.2.1 Macam-macam-karamah

Al-Tajj al-Subki menjelaskan macam-macam karamah dalam kitab Al-Tabaqah al-Kubra sebagai berikut:
1. Menghidupkan yang sudah mati
Kisah Abu 'Ubaid al-Bisri dalam sebuah peperangan ketika memohon kepada Allah untuk menghidupkan kembali binatang yang dikendarainya, maka hiduplah binatang yang sudah mati itu. Kisah Mifraj al-Dimamini ketika berkata kepada ayam yang dipanggang, "Terbanglah!" Tiba-tiba ayam itu terbang. Kisah Syaikh al-Ahdai ketika memanggil seekor kucing yang sudah mati, lalu kucing itu mendatanginya. Hikayat Syaikh 'Abdul Qadir ketika berbicara dengan ayam setelah ia menyantap dagingnya, "Bangunlah dengan izin Allah, Zat Yang Menghidupkan tulang-tulang yang remuk," tiba-tiba ayam itu bangkit kembali. Kisah Syaikh Abu Yusuf al-Dahmani ketika mendatangi sesosok mayat, ia berkata, "Bangkitlah! Dengan izin Allah," lalu mayat itu berdiri dan hidup kembali dalam waktu yang cukup lama. Kisah Syaikh Zainuddin al-Faruqi al-Syafi'i, guru besar Syam, yang diriwayatkan oleh Al-Subki bahwa di rumah Syaikh Zainuddin, ada anak kecil yang jatuh dari atap lalu meninggal. Syaikh Zainuddin kemudian berdoa kepada Allah, hingga akhirnya anak tersebut hidup kembali. (Riwayat Syaikh Fathuddin Yahya, putra Syaikh Zainuddin) Al-Subki selanjutnya berkata, "Tidak ada cara untuk menghitung cerita-cerita seperti ini karena banyaknya. Tetapi saya atau mungkin juga orang lain belum yakin bahwa seorang wali bisa menghidupkan orang yang sudah lama mati dan telah menjadi tulang belulang
kemudian mayat itu hidup untuk waktu lama. Hal ini belum pernah kami temui dan saya tidak percaya hal itu bisa dilakukan oleh seorang wali, tetapi tidak diragukan bahwa kejadian semacam itu pernah dilakukan oleh nabi-nabi Hal ini bisa terjadi melalui mukjizat bukan dengan karamah. Seorang nabi sebelum tertutupnya pintu kenabian bisa menghidupkan umat yang telah hancur beberapa abad, kemudian mereka hidup kembali untuk waktu lama. Saya tidak percaya bahwa wali bisa menghidupkan Imam Syafi'i atau Imam Abu Hanifah lalu keduanya hidup dalam waktu lama sebelum wali tersebut wafat atau bahkan hanya untuk waktu singkat dan mereka bisa bergaul dengan orang yang hidup sebagaimana mereka bergaul sebelum wafat.'
2. Dapat berbicara dengan orang mati
Karamah ini lebih banyak terjadi dibandingkan karamah sebelumnya. Misalnya kisah tentang Abu Sa'id al-Kharazi r.a., Syaikh 'Abdul Qadir r.a., dan golongan wali setelah mereka yakni beberapa guru Syaikh Imam al-Walid, ayahanda dari Imam Taqiyuddin al-Subki.
3. Membelah dan mengeringkan laut, serta berjalan di atas air Karamah ini sering terjadi. Syaikhul Islam dan pemimpin kaum
mutaakhirin, Taqiyuddin bin Daqiqil 'Id juga telah mengalami hal ini
4. Merubah benda-benda
Diceritakan bahwa Syaikh 'Isa al-Hatar al-Yamani pernah didatangi utusan seseorang yang mengolok-oloknya dengan membawa dua bejana penuh arak. Kemudian Syeikh 'Isa menuangkan arak dari salah satu bejana ke wadah lainnya dan Syaikh berkata kepada murid-muridnya, "Dengan menyebut nama Allah, makanlah!" Mereka lalu memakannya dan tiba-tiba arak itu berubah menjadi mentega dan tidak terlihat sedikit pun warna maupun aroma arak. Banyak orang menceritakan kisah semacam ini.
5. Melipat jarak bumi
Diceritakan bahwa beberapa wali berkumpul di Masjid Tharsus, mereka ingin sekali mengunjungi Masjidil Haram. Mereka kemudian memasukkan kepala ke dalam saku masing-masing. Ketika kepala mereka dikeluarkan, mereka sudah sampai di Masjidil Haram. Hikayat-hikayat semacam ini sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, tidak ada yang mengingkarinya, kecuali para pendusta.
6. Berbicara dengan benda mati dan binatang
Tidak diragukan hal ini sering terjadi Diceritakan bahwa Ibrahim bin Adham memanggil sebatang pohon delima ketika ingin sekali me
makannya. Beliau memakannya, mulanya buahnya kecil, tetapi kemudian memanjang, dan yang mulanya asam, menjadi manis. Peristiwa ini terjadi dua kali dalam setahun.
7. Menyembuhkan berbagai macam penyakit
Al-Sari menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan seorang laki-laki di sebuah gunung yang dapat menyembuhkan cacat sebagian anggota badan, buta, dan penyakit lain. Diceritakan pula kisah Syaikh 'Abdul Qadir ketika berkata kepada seorang bocah yang lumpuh, buta, dan sakit lepra, "Bangunlah dengan izin Allah." Akhirnya bocah tersebut bangun tanpa kesulitan.
8. Menundukkan binatang
Seperti hikayat Abu Sa'id bin Abu Khair al-Mihani yang menundukkan singa dan hikayat Ibrahim al-Khawwash. Juga kemampuan menundukkan benda mati seperti hikayat Syaikhul Islam 'Izzuddin bin 'Abdussalam yang menundukkan angin dalam peristiwa al-Faranji, "Angin, bawalah mereka!"
9. Melipat waktu
10. Membentangkan waktu
Dua macam karamah di atas sulit dipahami, dan lebih baik kita menyerahkan pemahamannya kepada para ulama. Hikayat-hikayat tentang keduanya cukup banyak.
11. Terkabulnya doa
Karamah macam ini sering terjadi dan kita juga sering menyaksikannya.
12. Mengendalikan lisan ketika berkata dan fasih bicaranya.
13. Memikat hati dalam majelis hingga mempengaruhi akhir keputusan yang diambil
14. Memberitahukan dan menyingkap hal-hal gaib. Karamah ini merupakan tingkatan yang melampaui batas pengetahuan kita
15. Sabar atas ketiadaan makanan dan minuman dalam waktu yang cukup lama
16. Mengendalikan perubahan musim
Banyak orang menceritakan bahwa ada wali yang selalu diikuti hujan, diantaranya Syaikh 'Abdul'Abbas al-Syathir (dari kelompok ulama mutaakhirin) yang pernah menjual hujan dengan harga beberapa dirham. Banyak hikayat tentang karamah semacam ini, sehingga tidak ada alasan untuk mengingkarinya.
17. Mampu memperoleh banyak makanan
18. Terjaga dari memakan makanan haram
Diceritakan bahwa Al-Harits al-Muhasibi mampu mencium aroma panas makanan yang haram sehingga ia tidak jadi memakannya. Ada yang mengatakan tubuhnya bergerak-gerak jika menemukan makanan haram. Syaikh Abu 'Abbas al-Mursi juga mempunyai kemampuan serupa.
19. Melihat tempat yang jauh dari belakang h ijab
Sebagaimana diceritakan bahwa Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi mampu melihat Ka'bah, padahal ia sedang berada di Baghdad.
20. Ditakuti
Orang yang menyaksikannya secara langsung bisa meninggal seperti sahabat Abu Yazid al-Busthami, atau menjadi tidak berkutik di hadapannya, atau mengaku bahwa ia menyembunyikan sesuatu darinya, dan lain-lain.
21. Allah mencegah kejahatan yang akan menimpa seorang wali dan mengubahnya menjadi kebaikan, seperti yang terjadi antara Imam Syafi'i dan Khalifah Harun al-Rasyid.
22. Menampakkan diri dalam bentuk yang berbeda-beda
Dalam istilah sufi disebut alam mitsal (dunia penyerupaan). Mereka menetapkannya sebagai dunia pertengahan antara dunia fisik dan dunia metafisik sehingga disebut alam mitsal, yakni dunia yang lebih lembut daripada dunia fisik dan lebih kasar daripada dunia metafisik. Ruh bisa mengambil bentuk dan menampakkan diri dalam bentuk yang bermacam-macam di alam mitsal lalu menyerupai manusia, berdasarkan firman Allah, Maka ia (malaikat) menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna (QS Maryam [19]: 17). Diceritakan bahwa Qadhib al-Ban al-Musili, salah seorang Abdal, dituduh meninggalkan shalat oleh seseorang yang belum pernah melihatnya. Ia tiba-tiba mengubah dirinya menjadi beberapa bentuk lalu bertanya, "Dalam bentuk mana engkau melihatku tidak melakukan shalat?"
Banyak kisah mengenai karamah semacam ini. Salah satu kisah yang disepakati oleh para ulama Mutaakhirin adalah kisah tentang seorang sufi besar di Kairo yang berwudhu tidak secara berurutan di madrasah Suyufiyyah. Kemudian ada orang menegurnya, "Wahai Syaikh, wudhumu tidak berurutan." Syaikh itu lalu menjawab, "Saya selalu berwudhu dengan urut, kamu yang salah lihat." Ia lalu mengambil tangan orang itu dan memperlihatkan Ka'bah kepadanya.
Orang itu kemudian melewati Mekah dan melihat Syaikh itu ada di Mekah, dan ia tinggal di sana beberapa tahun.
23. Allah memperlihatkan isi bumi kepada mereka Sebagaimana dalam hikayat Abu Turab, ketika kakinya menjejak
bumi, tiba-tiba air memancar. Ibn al-Subki mengatakan, "Karamah ini terjadi sebagai berikut: Allah menciptakan air tidak pada tempatnya, sementara bumi patuh pada kaki yang menginjaknya." Diceritakan pula bahwa ada seseorang yang dilanda kehausan di tengah perjalanan menunaikan ibadah haji, ia tidak menemukan seorang pun yang memiliki air. Ia hanya menemukan seorang sufi sedang menyandarkan tongkat di suatu tempat, sementara air memancar dari bawah tongkat itu. Selanjutnya ia memenuhi bejana miliknya dengan air itu, kemudian ia menunjukkan sumber air itu kepada jamaah haji rombongannya, akhirnya mereka memenuhi bejana yang mereka bawa dengan air tersebut.
24. Kemudahan para ulama untuk menyusun karya dalam waktu relatif singkat. Mereka mampu menyusun banyak kitab di tengah kesibukan dalam bidang keilmuan sampai mereka wafat, padahal untuk menuliskan kitab-kitab itu pun waktu yang ada tidak mencukupi apalagi untuk mengarangnya. Hal ini termasuk karamah memanjangkan waktu seperti telah kami sebutkan di muka. Para ulama sepakat bahwa umur Imam Syafi'i r.a. tidak cukup untuk menyusun sepuluh kitabnya, padahal ia setiap hari menghatamkan Al-Qur'an sambil merenungkannya. Dan setiap bulan Ramadhan ia khatam dua kali sehari padahal ia sibuk mengajar, memberi fatwa, berpikir dan berzikir serta terkadang tertimpa sakit karena ia terkena satu atau dua penyakit atau lebih, dan mungkin ia terkena tiga puluh macam penyakit. Demikian juga yang terjadi pada Imam Haramain Abu Ma'ali al-Juwani r.a., bila umur, karya-karya yang dihasilkannya, pertemuan-pertemuannya untuk pengajaran, dan waktu zikirnya di majelis zikir yang tidak pernah terlewatkan dibandingkan, niscaya umurnya tidak cukup untuk melakukan semua itu.
Banyak wali yang mampu menghatamkan Al-QurKan 8 kali setiap harinya. Imam Al-Rabani Syaikh Muhyiddin al-Nawawi r.a. telah mengisi hidupnya untuk menyusun berbagai kitab, padahal usia hidupnya tidak cukup untuk menuliskan kitab-kitab itu apalagi untuk mengarangnya, ditambah lagi waktu untuk melakukan berbagai ibadah dan aktivitas lainnya. Demikian juga Syaikh Imam al-Walid, ayahanda
dari Syaikhul Islam Imam Taqiyuddin al-Subki r.a. Jika waktunya untuk menyusun berbagai kitab, ditambah dengan kegiatan ibadahnya, aktivitas-aktivitas lain yang bermanfaat, mengajarkan ilmu, menuliskan fatwa, membaca Al-Qursan, dan kesibukannya dalam urusan hukum dihitung, niscaya umurnya tidak cukup untuk melakukan sepertiga dari aktivitas-aktivitasnya itu. Semua itu terjadi berkat Allah yang Maha Suci yang telah memberikan berkah dan rahmat kepada para wali.
25. Menghilangkan pengaruh racun dan hal yang membahayakan.
Diceritakan bahwa pada sua tu hari seorang syaikh ditantang oleh seorang raja untuk menunjukkan karamahnya, "Kalau Engkau tidak bisa menunjukkan hal yang luar biasa kepadaku, maka aku akan membunuh murid-muridmu ini?" Saat itu, di dekat syaikh ada kotoran unta, lalu syaikh berkata, "Lihatlah!" Tiba-tiba kotoran itu berubah menjadi emas. Di sisi syaikh ada sebuah gayung tanpa air. Lalu ia mengambil gayung itu dan melemparkannya ke udara. Sewaktu ia mengambilnya kembali, gayung itu sudah penuh air, padahal posisi gayung itu terbalik tetapi tidak ada setetes air pun yang tumpah. Sang raja berkomentar, "Ini sihir!" Selanjutnya raja menyalakan api besar, lalu memerintahkan murid-murid syaikh itu memasukinya. Selesai mengelilingi api, masuklah syaikh dan beberapa muridnya ke dalam api. Kemudian syaikh keluar lagi dari api itu dan menyambar putra kecil sang raja. Ia masuk kembali ke dalam api dan menghilang selama satu jam sampai raja menduga anaknya ikut terbakar. Kemudian Syaikh dan anak raja itu keluar sambil memegang apel dan delima. Sang ayah bertanya, "Dari mana saja kamu?" Jawabnya, "Dari taman." Berkomentarlah para punggawa raja, "Ini dibuat-buat, tidak nyata." Sang raja berkata kepada Syaikh itu, "Kalau kamu bisa selamat minum segelas racun ini, maka aku akan mempercayaimu." Syaikh itu meminumnya, maka terkoyak-koyaklah pakaiannya. Hadirin lalu memberinya pakaian yang lain, maka terkoyak-koyaklah kainnya. Demikian hal tersebut dilakukan berulang-ulang hingga hancurlah pakaian syaikh tersebut hingga kelihatan ototnya. Tetapi racun yang mematikan itu tidak berpengaruh apa-apa.
Selanjutnya Al-Subki menjelaskan, "Menurut perkiraan saya, karamah para wali lebih dari seratus macam. Macam-macam karamah yang telah saya kemukakan di atas merupakan bukti bagi orang yang meremehkan dan mengabaikannya. Semua karamah di atas telah banyak diriwayatkan dan diceritakan dan telah tersebar pula khabar-khabar dan riwayat-riwayat tentangnya. Jadi, selain kebenaran adalah
kesesatan, dan kalau bukan berupa penjelasan tentang hidayah berarti sia-sia. Orang yang setuju tidak menyerah begitu saja, tetapi selalu meminta kepada Tuhannya untuk menghubungkannya dengan orang-orang yang saleh. Mereka senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. Kalau saya mencoba membatasi apa yang terjadi pada para wali, berarti saya telah mempersempit jiwa kita dan menghabiskan banyak kertas.' Imam' Abdur Rauf al-Munawi menuturkan dalam pendahuluan kitab Thabaqah al-Shugra tentang macam-macam karamah dengan gaya bahasa yang berbeda. Meskipun pendapatnya tidak berbeda dengan pendapat Muhyiddin Ibnu 'Arabi dalam kitab Mawaqi' al-Nujum, akan tetapi Al-Munawi memberikan ringkasan, mengemukakan pendapat-nya sendiri, dan menolak pendapat yang sudah ada.
Al-Munawi berkata, "Perlu diketahui bahwa tujuan Allah menampakkan karamah adalah untuk menunjukkan keajaiban-keajaiban-Nya dan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada wali tersebut yang akan menambah kecintaan wali kepada maqamnya dan memperkuat tujuannya. Sebagaimana firman Allah, Agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami (QS Al-Isra' [17]: 1). Maksudnya adalah, apabila seorang wali telah menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memberikan karamah kepadanya seperti kemampuan untuk mengetahui orang yang akan datang dari jarak jauh atau melalui hijab yang tebal, melihat Ka'bah dari tempat yang jauh, menyaksikan alam gaib, dan hal-hal luar biasa lainnya seperti yang dialami Nabi, sebagai penghormatan bagi orang yang mengikuti dan mencintainya. Ia juga bisa menyaksikan alam malakut seperti malaikat, alam jabarut seperti jin, dan alam ruh seperti Abdal dan Autad. Para malaikat adalah makhluk yang difirmankan Allah sebagai, Mereka bertasbih malam dan siang tiada hentinya (QS Al-Anbiya' [21]: 20). Apa anggapanmu terhadap orang yang menjadi teman para malaikat yang tidak pernah lalai. Ia pasti orang yang selalu berzikir dan merenungi kekurangan dirinya dengan menjalankan berbagai ketaatan untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dan menyaksikan {musyahadah) Yang Maha Agung dan Mulia, dan teman yang menyelamatkan dari kejahatan. Adapun alam ruhani bisa disaksikan oleh setiap orang yang mempunyai sifat seperti malaikat yang teguh dan sungguh-sungguh menaati perintah Allah serta mempunyai sifat-sifat yang sempurna seperti Nabi Khidir a.s. dan lain-lain. Tidakkah kau lihat Ibrahim al-Khawwas ketika bertemu dengan Khidir, ia menjadikan pertemuan itu sebagai bentuk penghormatan.
Lalu ia bertanya kepada Khidir, 'Bagaimana aku bisa melihat engkau?' Khidir menjawab, Itu karena kebaikanmu terhadap ibumu.'"
Masih menurut Al-Munawi, pertemuan dengan makhluk-makhluk Allah yang mulia harus kita yakini sebagai perhatian Allah kepada kita, karena Allah-lah yang telah mempertemukan kita dengan makhluk-Nya yang taat dan khawwash, yaitu makhluk yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya. Tidak akan sengsara orang yang menjadi teman mereka karena mereka adalah orang-orang yang telah terlepas dari unsur-unsur tanah dan keluar dari kejelekan-kejelekan sifat manusia. Cahaya perlindungan Allah telah mematangkan sifat-sifat ketanahan mereka yang baik, terberkati, lurus, dan bercampur dengan sifat-sifat yang lembut, lalu mengeluarkan mereka dari asal mula mereka untuk mencapai alam yang tinggi. Sehingga pada akhirnya kebiasaan-kebiasan mereka menjadi luar biasa. Apabila manusia memiliki sifat-sifat malaikat, maka ia akan keluar dari kebiasaan manusia dan muncul darinya keajaiban seperti yang dimiliki malaikat hasil dari musyahadatnya. Kebanyakan manusia seperti itu tidak bisa dilihat oleh mata sebab terhalang oleh sesuatu, bisa dirasakan tetapi tidak bisa dilihat, mampu berjalan di atas air, terbang di udara, tidak terlihat, dan mampu berubah bentuk seperti alam ruhani, seperti Khidir a.s. yang bisa menjelma menjadi bentuk yang ia inginkan.
Al-Munawi menjelaskan lagi, "Ketahuilah bahwa manusia bisa berpindah dari menyaksikan alam malakut yang ada di luar dirinya untuk melihat keadaan alam khusus tersebut. Melihat di sini artinya terbuka mata batinnya sehingga tersingkaplah baginya rahasia hakikat dan tampaklah cahaya yang suci, yakni tersingkapnya selubung hati sehingga maksud-maksud ilahiah dan rahasia-rahasia hakikat menjadi jelas. Hal itu menjelma dalam cermin imajinasi penglihatan sehingga mata batin bisa melihatnya yang pada akhirnya tampak kepadanya hal-hal gaib dan apa yang tersembunyi dalam hati. Apabila hijab (penghalang) mata hati telah tersingkap dan tutupnya telah terbuka, maka orang akan mampu mengetahui getaran-getaran hati yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, apabila seorang wali mau, niscaya ia bisa menunjukkan kemampuannya itu dan apabila tidak dia akan menutupinya sesuai kondisi, waktu, dan kemaslahatan. Berdasarkan hal ini, ada sebagian wali yang mampu menyingkap hal-hal gaib, dan sebagian lain mampu menandai sifat-sifat orang lain dalam cermin hatinya karena kesuciannya. Hal itu berlaku bagi orang yang melepaskan keinginan-keinginan duniawi. Dan apabila ia menemukan keinginan yang tidak sesuai dengan maqamnya, maka ia tahu bahwa itu adalah keinginan orang-orang yang ada di hadapannya. Sebagian wali tidak mengetahui itu keinginan siapa, maka ia berbicara tentang ciri-ciri orang yang sesuai dengan keinginan tersebut. Dan sebagian lagi mengetahui siapa yang menginginkannya, sehingga langsung menyatakannya kepada orang yang dimaksud. Pangkal pengetahuannya adalah bahwa pada dasarnya antar hati itu ada hubungan. Apabila terlintas dalam hati syaikh atau murid sesuatu yang jelek maka muncullah asap yang membentuk awan gelap dalam hati Syaikh. Apabila syaikh sedang berhadapan dengan orang yang mempunyai keinginan jelek, maka asapnya semakin tebal, dan apabila ia memalingkan wajah darinya maka asap itu menghilang. Apabila terlintas sesuatu yang baik maka asap itu menjadi asap yang lembut dan berbau harum di hidungnya. Keadaan itu terjadi apabila orang yang menginginkannya ada di hadapannya. Apabila tidak ada, maka seperti ahli ma'rifa t yang berdiam diri di sebuah masjid dan pada saat yang sama keluarganya atau orang lain menginginkan makanan tertentu. Tiba-tiba makanan itu ada di hadapannya, padahal ia tidak menginginkannya. Tahulah ia bahwa ia tidak menginginkan makanan itu untuk dirinya, maka ia memberikan dan mengirimkannya kepada orang yang menginginkannya."
Termasuk kategori mukasyafah yang halus adalah terbersitnya suatu keinginan dalam hati seorang wali, lalu di bajunya muncullah tanda bahwa keinginannya itu diperintahkan atau dilarang oleh Allah. Sebagaimana yang dialami Abu Madyan r.a. ketika ingin menceraikan istrinya, Abu ' Abbas al-Khasyab melihat tulisan di baju Syaikh Abu Madyan, "Pertahankan istrimu!" Dan seperti yang dialami Ibnu 'Arabi r.a. ketika sibuk menyusun sebuah kitab, ada yang berkata kepadanya, "Tulislah bab yang sulit dipahami ini." Setelah itu, ia tidak tahu apa yang akan dituliskannya dan bingung sesaat. Seteleh kebingungannya hilang, ia melihat papan bertangkai yang bercahaya di hadapannya, di atasnya terdapat tulisan hijau bercahaya, kemudian papan itu hilang.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.2.2 Beberapa mukasyafah yang dialami wali

  • Ada wali yang mampu menyingkap alam gaib, hingga dinding dan kegelapan tidak menghalanginya untuk melihat apa yang dilakukan orang-orang di dalam rumah mereka.
  • Ada wali yang ketika berjumpa dengan seorang pezina, pemabuk, pencuri, pencela, atau orang yang suka berbuat zalim, ia melihat
    goresan tanda hitam pada anggota tubuh mereka yang melakukan maksiat 'Ali Abi Ya'zi, guru Ibnu 'Arabi, termasuk wali yang menempati maqam ini. Mukasyafah ini khusus bagi orang yang bersifat wara' (orang yang benar-benar menjauhi maksiat dan syubhat).
  • Ada wali yang jika ada orang yang ribut atau diam di majelisnya, ia mengetahui derajat dan apa yang akan terjadi dengan orang itu, kenyataannya sesuai dengan apa yang dikatakan wali itu, dan ia selamanya tidak akan salah. Diceritakan bahwa ada seorang laki-laki ribut di majelis Abu Madyan, lalu orang itu disuruh keluar. Abu Madyan berkata, "Kamu akan melihat keadaanya setahun kemudian." Sebagian orang yang hadir meminta penjelasan, lalu Abu Madyan berkata, "Ia akan menganggap dirinya Imam Mahdi." Dua puluh tahun kemudian, apa yang dikatakan Abu Madyan terjadi. Kemampuan ini berasal dari ilmu ladunni.
  • Ada wali yang tatkala bangun tidur, di hadapannya sudah tersedia minuman dari madu, susu, dan air, lalu ia meminumnya.
  • Ada wali yang mampu mengetahui alam ruhani yang berbeda dengan alam fisik, tetapi ia tidak menggelutinya.
  • Ada wali yang mampu mengetahui rahasia batu-batu mineral, dan semacamnya. Ia mengetahui khasiat, rahasia, dan bahaya dari batu-batu itu.
  • Ada wali yang dianugerahi maqam bisa memahami Allah dan mendengar tanda-tanda kekuasaan-Nya, sehingga ia bisa mendengar ucapan benda-benda mati. Apakah kemampuan itu termasuk hal yang biasa atau luar biasa tergantung pada tingkatan pemahaman terhadap ucapan benda mati. Yang termasuk hal luar biasa ada 2 macam. Pertama, merujuk pada orang yang mendengarnya, yakni kemampuan memahami hakikat ucapan benda mati. Kedua, merujuk pada ucapan benda-mati itu sendiri melalui karamah, misalnya bertasbihnya kerikil di telapak tangan sebagian sahabat. Apabila seorang hamba memperoleh maqam ini, maka ia akan mendengar semua benda mati bertasbih dengan bahasa yang jelas seperti bahasa manusia.
  • Ada wali yang dianugerahi kemampuan menyingkap dunia tumbuh-tumbuhan. Semua tumbuhan dan rumput memberitahukan kepada wali itu sari-sari yang dikandungnya baik yang berbahaya atau yang berkhasiat. Tumbuh-tumbuhan itu berkata, "Hai hamba Allah, khasiatku begini dan bahayaku begini."
  • Ada wali yang dikaruniai kemampuan bergaul dengan binatang. Binatang-binatang mengucapkan salam kepadanya dengan bahasa
    yang jelas dan memberitahunya tentang khasiat-khasiat yang dikandungnya.
  • Ada wali yang diberi kemampuan menyibak perjalanan hidup orang yang masih hidup, rahasia-rahasia yang diberikan kepada orang itu sesuai dengan keadaannya, dan bagaimana perkembangan ibadahnya dalam perjalanan hidupnya itu.
  • Ada wali yang diberi kemampuan melihat hal-hal yang tidak mungkin melalui jentera dan merubah yang kasar menjadi lembut dan sebaliknya.
  • Ada wali yang diberi kemampuan meramalkan hal-hal jelek yang akan terjadi, lalu ia meminta dihindarkan sehingga ia tidak terkena hal buruk itu.
  • Ada wali yang diberi kemampuan ilmu astrologi dan cara-cara yang sistematis dan menyeluruh.
  • Ada wali yang dianugerahi kemampuan mencapai ilmu-ilmu ilahiyah dan diberitahu cara-cara untuk mencapainya seperti persiapan yang harus dilakukan, etika dalam mencari dan mengamalkan ilmu, memegang dan menyebarluaskannya, serta cara menjaga hati dari hal-hal yang merusak. Semua cara itu adalah satu kesatuan dan tersembunyi
  • Ada wali yang dikaruniai kemampuan mengetahui tingkatan ilmu-ilmu teoritis, ide-ide yang cemerlang, dan bentuk-bentuk kesalahan pemahamannya, kemampuan membedakan antara prasangka dan ilmu, berbagai hal yang terjadi di antara alam arwah dan alam fisik, sebab terjadinya, dan berjalannya rahasia ilahi di alam ini serta sebabnya.
  • Ada wali yang mampu menangkap alam tashwir, alam taksin, alam benda-benda mati, bentuk-bentuk suci dan jiwa tumbuhan yang mestinya diketahui akal dalam bentuk dan susunan yang baik, rahasia-rahasia kelemahan, kelembutan dan rahmat orang-orang yang disifatinya.
  • Ada wali yang mampu menguak tingkatan kutub bumi.
  • Ada wali yang mampu menguak benda-benda yang memantulkan cahaya, benda-benda yang langgeng, benda-benda yang abadi, rahasia alam, dan kemampuan untuk menjaga dan menyampaikan amanat kepada orang yang berhak.
  • Ada wali yang dianugerahi pengetahuan tentang simbol-simbol, penghitungan, dan firasat
  • Ada wali yang disingkapkan baginya dunia lain, mampu menyingkap kebenaran dan pendapat-pendapat yang benar, mazhab-mazhab yang lurus, dan syariat-syariat yang telah diturunkan.
  • Ada wali yang terlihat sebagai orang alim, Allah telah menghiasi mereka dengan pengetahuan-pengetahuan suci sebagai sebaik-baik perhiasan.
  • Ada wali yang dianugerahi kewibawaan, ketenangan, teguh pendirian, dan kemampuan mengetahui tipu muslihat dan rahasia-rahasia yang tersembunyi, dan sejenisnya.
  • Ada wali yang mampu berbicara, tetapi tidak terlihat siapa yang diajak bicara. Ia berbicara dengannya dan mendengar pembicaraan itu, baik pembicaraannya muncul tanpa dipikir sebelumnya, atau sebagai jawaban atas pertanyaan secara seketika, serta memberi dan menjawab salam.
  • Ada wali yang naik maqamnya, hingga ia mampu berbicara kepada malaikat dan bercakap-cakap dengannya. Apabila seorang hamba mencapai maqam ini maka ia bisa memanggil dan berhubungan dengannya. Apabila ia hanya berbicara kepadanya, maka malaikat tidak menjawabnya. Tetapi apabila pembicaraan antara mereka benar, mereka akan saling berbicara. Dan apabila ia mengalami hal tersebut, maka malaikat akan menolongnya.
  • Ada wali yang mampu mengatakan sesuatu yang belum terjadi dan memberitakan hal-hal gaib sebelum tampak. Dalam hal ini ada tiga bentuk yang mungkin terjadi; berupa penyampaian, tulisan, dan pertemuan. Ibnu Mukhallad mengalami tiga hal tersebut
  • Ada wali yang disingkapkan baginya alam keraguan, kekurangan, kelemahan, dan rahasia-rahasia perbuatan.
  • Ada wali yang diperlihatkan padanya alam jin dan tingkatan derajatnya, neraka beserta tingkatannya, dan tingkatan azabnya.
  • Ada wali yang mampu mengetahui sifat-sifat manusia. Sebagian manusia tertutup sifatnya dan sebagian lain terbuka. Mereka mempunyai tasbih khusus yang bisa diketahui oleh wali apabila ia mendengarnya. Ibnu 'Arabi berkata, "Kita telah sama-sama menyaksikan karamah seperti ini. Sebagian wali menuju maqam yang mulia sehingga ia mampu mengatakan 'jadilah' maka sesuatu yang dikehendakinya itu terjadi dengan izin Allah. Maqam ini sangat mulia dan merupakan bukti terbesar kewalian seseorang." Nabi Isa a.s. berkata, "Aku bisa menyembuhkan orang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah" (QS Ali Imran [3]: 49). Masuk akal jika Allah memuliakan wali dengan memberinya karamah. Sesungguhnya karamah yang diterima seorang wali merupakan penghormatan kepada Nabi Saw., karena wali tersebut telah mengikuti dan menjalankan ajaran-ajarannya, sehingga ia pantas mendapatkannya.
  • Ada wali yang naik menuju alam gaib, lalu ia melihat di sebelah kanan alam itu, ada sebuah pena yang menulis kejadian-kejadian di lauh mahfud dalam bentuk huruf-huruf yang bersyakal dan bertitik. Hal tersebut untuk membedakan beberapa bentuk dan jenis makhluk. Seperti golongan manusia, makhluk berkaki empat, makhluk bersayap, macam-macam benda mati, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lainnya. Orang yang mempunyai maqam ini selalu berusaha menemukan pemilik huruf yang tertulis dalam susunan yang rapi tersebut. Apabila penelitiannya lama, padahal usianya pendek, maka Allah membuatnya rendah hati dan memohon kepada Allah untuk menghapuskannya.
  • Ada wali yang menjaga diri dari makanan, minuman, dan baju yang syubhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya), apalagi dari yang haram. Hal itu ditandai dengan tanda yang ditunjukkan Allah dalam dirinya atau dalam sesuatu yang haram dan syubhat itu. Seperti yang dialami Al-Haris al-Muhasibi, apabila dihidangkan kepadanya makanan yang syubhat, tiba-tiba keluar keringat dari jarinya. Begitu pula yang terjadi pada ibu dari Abu Yazid al-Bustami ketika mengandungnya, tangannya tidak pernah menyentuh makanan syubhat, bahkan tangannya mengenggam sendiri jika menemukan makanan syubhat. Wali lainnya merasa mual memakan makanan syubhat, sehingga memuntahkannya kembali. Ada juga makanan syubhat di hadapan seorang wali berubah menjadi darah, ulat, berwarna hitam, atau babi, dan lain-lain.
  • Ada wali yang apabila menyentuh makanan yang sedikit, maka makanan itu menjadi banyak. Misalnya, seorang wali yang dikunjungi teman-temannya padahal ia hanya mempunyai satu makanan saja. Lalu ia mengiris roti dan menutupinya dengan kain. Maka mereka pun memakan roti itu sampai kenyang padahal roti itu tetap seperti semula (tidak berkurang). Karamah ini merupakan warisan Nabi Muhammad Saw. Contoh lainnya adalah yang terjadi pada Abu' Abdillah al-Tawadi yang membawa secarik kain dan memegang sisinya, kemudian ia menunjukkan ujungnya kepada penjahit sambil berkata kepadanya, "Ambillah kain ini sehingga cukup untuk orang banyak." Kain itu lalu diambil tapi tetap tidak habis-habis dengan izin Allah. Lalu penjahit itu berkata, "Kain ini tidak habis-habis." Lalu Abu 'Abdillah melemparkan kain itu dan berkata, "Sudah, cukup!"
  • Ada wali yang mampu menjadikan satu macam makanan dalam piring menjadi bermacam-macam sesuai dengan keinginan orang yang ada. Hal ini pernah terjadi pada salah seorang guru Abu Madyan r.a. Dalam suatu perjalanan, ia bertemu dengan seorang laki-laki, lalu berjalan bersamanya sebentar dan ia masuk ke rumah perempuan tua di sebuah gua. Sore harinya, ia kembali lagi ke perempuan tua itu dan duduk di sampingnya sampai putra perempuan itu datang. Anak itu mengucapkan salam kepadanya, lalu perempuan tua itu menghidangkan nampan berisi piring dan roti. Syaikh dan anak itu mulai makan. Si syaikh berkata, "Saya ingin yang saya makan ini menjadi begini." Anak itu lalu menjawab, "Wahai Syaikh, dengan nama Allah makanlah apa yang kau inginkan." Abu Madyan kemudian berkata, "Ketika saya terus menerus mengangankan keinginanku, anak itu melontarkan ucapan pertamanya, dan tiba-tiba saya mendapatkan makanan yang saya angankan. Anak itu masih muda, belum punya rambut di pelipisnya."
  • Ada wali yang bisa menjadikan makanan, minuman dan bajunya tergantung di udara. Seperti yang terjadi pada salah seorang wali yang membutuhkan air di padang pasir. Tiba-tiba ia mendengar deringan di atas kepalanya, lalu ia mendongakkan kepalanya, dan di situ ada gelas yang tergantung pada rantai emas. Ia meminumnya lalu meninggalkannya.
  • Ada wali yang bisa merubah air yang pahit dan asin yang ditemukannya menjadi manis dan segar. Ibnu' Arabi berkata, "Saya pernah meminum air semacam itu dari Abdullah, anak Ustaz al-Marwazi r.a., salah seorang khawwash murid dari salah seorang guru Abu Madyan.
  • Ada wali yang memakan makanan dari orang lain. Zaid memakan makanan dari 'Umar padahal 'Umar tidak di hadapannya. 'Umar merasa kenyang di tempatnya dan dia merasakan bau makanan itu seakan-akan dia yang memakannya. Hal ini pernah terjadi pada Al-Hajj Abu Muhammad al-Marwazi dan Abu' Abbas bin Abi Marwan di Ghirnatah. Hal itu terjadi karena ahli ma'rifat ini mempunyai keinginan yang suci dan bersih dari dosa dalam batinnya. Allah memberikan karamah dalam dirinya sebagai penghormatan dan untuk membaguskan maqamnya, maka dari keinginannya itu keluarlah apa yang ia sebutkan.
  • Ada wali yang memakan makanan spiritual yang menjadikan jiwanya kekal. Ia tidak membutuhkan makanan jasmaniah kecuali hanya sedikit untuk mempertahankan dirinya. Kekekalan jiwa bisa tercapai dengan makanan ruhani.
  • Ada wali yang mengetahui rahasia biji-bijian dan penyemaiannya di bumi, hujan yang menyebabkannya tumbuh, angin yang menyebarluaskannya dan apa-apa yang membuat bumi menjadi tenang, serta matahari yang memancarkan cahayanya sebagai makanan bagi tumbuhan. Makanan itu mengandung kesempurnaan seperti yang diusahakan manusia. Pengetahuan tentang ini adalah ilmu yang mulia dan bernilai tinggi yang Allah berikan kepada para wali-Nya.
  • Ada wali yang dikaruniai kemampuan mengetahui hakikat bumi, lapisan-lapisan, dan rahasia-rahasianya, serta segala hukum alam yang ditetapkan oleh Allah secara terperinci.
  • Ada wali yang dibukakan kepadanya alam malakut, rahasia kehidupan, dan pengetahuan yang tersembunyi di dalam air, sehingga ia bisa mengetahui kehidupan yang kasat dan tak kasat mata dan mampu merasakan hal-hal yang berbahaya dan zat-zat yang ada di laut.
  • Ada wali yang mengetahui segala tingkat ilmu, kegunaannya di dunia, siapa yang memiliki dan tidak memilikinya, dan lain-lain.
  • Ada wali yang bisa berjalan di udara. Hal tersebut dialami oleh banyak wali. Ada seorang laki-laki yang melihat orang sedang berjalan di udara, lalu ia bertanya kepadanya, "Karena apa engkau mendapatkan karamah itu?" Ia menjawab, "Kutinggalkan nafsuku untuk menuruti keinginan-Nya, maka Dia menundukkan udara bagiku." Lalu ia berlalu.
  • Ada wali yang dibukakan kepadanya pintu alam ruh di alam malakut, sehingga ia bisa mengetahui hakikat dari rahasia dan cara malaikat naik turun, rahasia pengaturan dan penundukan mereka, kewajiban-kewajiban dan hak-hak mereka.
  • Ada wali yang bisa datang ke lauh mahfuzh melalui esensi hatinya. Lalu dengan izin Allah, ia dapat menyingkap dan menyaksikan secara langsung (musyahadah) hal-hal yang ada di sana, padahal anggota badannya tidak bergerak, kecuali kedua matanya.
  • Ada wali yang terus-menerus bersimpuh di hadapan lauh mahfuzh, padahal tidak ada manfaatnya.
  • Ada wali yang terkadang menyaksikan lauh mahfuzh
  • Ada wali yang bisa melihat bagaimana pena menulis di atas lauh mahfuzh.
  • Ada wali yang melihat gerakan pena di lauh mahfuzh. Setiap maqam mempunyai tata cara yang khusus. Tanda orang yang menyaksikan lauh mahfuzh adalah ia menyebutkan rahasiamu padahal kamu diam saja. Seperti yang dikatakan Al-Junaid r.a. ketika ditanya, "Siapa ahli ma'rifat itu?" Ia menjawab, "Orang yang memberitahukan rahasiamu padahal kamu diam saja." Dan tanda orang yang menyaksikan pena lauh mahfuzh sedang menulis adalah ia bisa mengetahui rahasia yang kamu katakan dalam hati dari manapun asalnya dan sebab adanya.
  • Ada wali yang diperlihatkan oleh Allah rahasia-rahasia yang tersimpan di alam yang paling agung.
  • Ada wali yang diperlihatkan oleh Allah alasan dan sebab terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa. Setelah ia mengetahuinya, ia memikirkan apakah peristiwa itu mempunyai pengaruh atau tidak? Apabila ada pengaruhnya, maka ia bersiap-siap untuk menerimanya. Apabila pengaruhnya merusak, maka ia memperingatkan teman-temannya. Apabila pengaruhnya berupa rahmat atau kabar gembira, maka ia bersiap-siap untuk bersyukur dan memuji Allah. Seperti Ibnu Barjan r.a. yang memberitahukan tahun akan terjadinya penaklukan Baitul Maqdis. Dan pada tahun yang ditentukan, terjadilah apa yang diramalkannya.
  • Ada wali yang diberitahu Allah tentang kelemahan dirinya, apa yang akan ia dapatkan, dan bagaimana keadaannya nanti.
  • Ada wali yang sampai pada keadaan ketika ia tidak melihat seorang pun yang ia ajak bicara kecuali Allah Swt. Ia melaksanakan segala perintah-Nya. Maqam ini adalah maqam yang penting. Orang yang mengalami maqam ini adalah Khair al-Nasaj r.a. ketika terbersit hal tersebut dalam pikirannya, lalu ia diuji dengan bertemu seseorang yang berkata kepadanya, "Kamu budakku, namamu Khair." Nassaj seakan-akan mendengar Allah yang mengatakan ucapan tersebut. Orang itu kemudian mempekerjakan Nassaj selama beberapa tahun, lalu ia berkata kepadanya, "Kamu bukan budakku dan namamu bukan Khair." Lalu orang itu melepaskan Nassaj.
Demikianlah, karamah tidak akan pernah habis untuk diungkap. Karamah-karamah yang disebutkan di atas cukup untuk mencapai tujuan, yaitu agar manusia tidak meremehkan para wali, bersopan santun kepada mereka apabila mendengar perkataan, perbuatan atau keadaan mereka, mematuhi perkataan mereka meskipun belum paham, dan berdamai dengan mereka supaya selamat. Apabila engkau mendengar rahasia Allah yang tersembunyi dalam diri makhluk yang dipilih sesuai dengan kehendak-Nya, maka terimalah dan percayailah, jika tidak, maka kamu tidak akan mendapat kebaikan.
Inilah penjelasan yang saya ambil dari pendahuluan kitab Al-Tabaqat al-Kubra karya Imam 'Abdul Rauf al-Munawi r.a. juga yang telah saya lihat dalam kitab Mawaqi' al-Nujum karya Syaikh al-Akbar Ibnu 'Arabi r.a.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.2.3 Karamah Sebagai Buah Ketaatan Anggota Tubuh

Dalam kitab al-Futuhat, Ibnu 'Arabi menyebutkan kitabnya yang berjudul Mawaqi' al-Nujum, yang sering dipujinya sebagai kitab yang sangat bagus dalam mengupas masalah karamah yang muncul dari anggota-anggota tubuh yang taat. Anggota tubuh itu adalah mata, telinga, lidah, tangan, perut, kemaluan, kaki, dan hati. Apabila masing-masing anggota tubuh menaati hukum syara' dan dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab, maka akan muncul karamah. Dalam kitab tersebut disebutkan berbagai pengetahuan, rahasia ilmu hakikat, dan manfaat ilmu syariat. Saya berusaha meringkas sedikit tentang delapan anggota tubuh dan karamah yang muncul dari nggota tubuh sebagai upaya untuk menyempurnakan manfaat dan untuk mencapai tujuan kami. Dan karena Imam al-Munawi tidak menguraikan arti dari karamah yang muncul dari anggota-anggota tubuh yang taat, dalam penjelasan sebelumnya yang diambil dari kitab Mawaqi' al-Nujum, maka di sini saya akan berusaha memaparkannya.
1. Mata
Di antara karamah mata jika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah mampu melihat tamu dari jarak jauh sebelum ia datang, bisa melihat dari balik dinding tebal, melihat Ka'bah ketika shalat, dan lain-lain. Di antara karamah lainnya adalah dapat menyaksikan alam malakut spiritual baik malaikat, penghuni ketinggian (mala'ul a'la), jin, Nabi Khidir, dan para Abdal.
2. Telinga
Bila telinga digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, karamah yang akan muncul adalah mendengar kabar gembira bahwa sang pemiliknya merupakan salah seorang yang diberi hidayah dan akal oleh Allah. Ini merupakan karamah terbesar, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sebab itu sampaikanlah kabar kembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya (QS Al-Zumar [39]: 17-18).
Karamah lainnya adalah dapat mendengar ucapan benda mati, sehingga terdengar semua benda bertasbih kepada Allah dengan bahasa yang jelas, sebagaimana bahasa manusia.
3 Lidah
Ketika lidah digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menghindari kemaksiatan, karamah yang akan muncul adalah mampu berbicara dan bercakap-cakap dengan alam yang lebih tinggi (alam a'la). Jadi, apabila seorang hamba memperoleh karamah atas telinganya, maka ia akan bisa memanggil dan berhubungan dengan para penghuni alam yang lebih tinggi. Apabila ia hanya sekedar berbicara dengannya, penghuni alam itu tidak menjawabnya. Apabila terjadi pembicaraan antara dia dengan mereka, maka kemampuannya berbicara dengan mereka adalah karamah lisan, kemampuannya mendengar ucapan mereka adalah karamah telinga, dan kemampuannya menyaksikan mereka adalah karamah mata. Demikian juga anggota-anggota tubuh lainnya, karena ada hubungan antara anggota-anggota badan dan ketaatan yang dilakukannya. Di antara karamah lainnya adalah mampu mengatakan suatu keadaan sebelum terjadinya, memberitahukan hal-hal gaib, dan akan munculnya benda-benda.
4. Tangan
Di antara karamah yang akan muncul bila tangan dipergunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah munculnya warna putih bersih tanpa noda di tangan ketika dimasukkan ke dalam saku seperti yang terjadi pada Nabi Musa as, memancarkan air di sela-sela jari yang terjadi pada Nabi Muhammad Saw., melemparkan tanah ke muka musuh, sehingga mereka kalah. Para wali Allah dengan kehendak-Nya mengepalkan tangan ke udara, lalu ketika mereka membukanya muncullah perak, emas, dan lain-lain.
5. Perut
Di antara karamah yang muncul bila perut digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan —tidak termasuk dalam kategori makr dan istidraj— adalah terpeliharanya perut dari makanan, minuman, dan pakaian yang tidak halal dengan munculnya tanda yang disampaikan oleh Allah. Adakalanya tanda itu muncul dalam dirinya sendiri atau dari sesuatu yang bersifat syubhat atau haram, sehingga ia hanya memperoleh sesuatu yang baik saja. Dikisahkan bahwa ketika disajikan makanan syubhat kepada Al-Harits al-Muhasibi r.a., mengucurlah keringat di sela-sela jarinya. Begitu juga yang terjadi pada ibunda Abu Yazid al-Busthami r.a. ketika sedang mengandung Abu Yazid, tangannya tidak pernah menyentuh makanan haram. Pada wali lain, muncul suara yang berkata "jauhi". Wali lainnya jatuh pingsan ketika menemukan makanan yang tidak halal. Ada juga wali yang
makanan haram di hadapannya berubah menjadi darah, berwarna hitam, seekor babi, dan lain-lain yang Allah khususkan bagi para wali dan orang-orang suci-Nya.
Karamah lain yang muncul karena ketaatan perut adalah makanan yang sedikit bisa mengenyangkan orang banyak. Ini merupakan warisan dari Rasulullah Saw. Ketika itu, Rasulullah menggelar sebuah tikar kulit dan didatangi oleh pemilik gandum dengan memberikan setangkai gandumnya dan pemilik biji-bijian dengan memberikan setangkai biji-bijiannya, hingga terkumpullah sedikit makanan. Beliau berdoa agar makanan itu diberkati, lalu orang-orang mengisi tempat yang mereka bawa dengan makanan itu sampai penuh, sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih riwayat Muslim.
Karamah perut yang lainnya adalah dapat membuat satu macam makanan di atas piring menjadi berbagai macam jenis makanan sesuai dengan keinginan orang-orang yang hadir di tempat itu. Termasuk karamah perut lainnya adalah didatangi jin atau raja yang membawakan makanan, minuman, dan pakaiannya, atau menggantungkannya di udara.
Karamah lain dalam maqam ini adalah mampu mengubah air minum yang asin dan pahit menjadi manis. Ibnu 'Arabi berkata, "Saya pernah meminum minuman seperti itu dari tangan Abu Muhammad 'Abdullah bin Ustad Al-Marwazi Al-Hajj, termasuk murid khusus Abu Madyan r.a., beliau selalu disebut sebagai Al-hajj al-mabrur. Makanan halal itu adakalanya diperoleh dengan bekerja atau dengan menjauhi dosa-dosa, seperti yang dikatakan beberapa syaikh, "Ahli ma'rifat adalah orang yang tidak memadamkan cahaya ma'rifatnya sebagai cahaya wara'nya, maka ketika diperoleh barang halal, sedikit saja cukup baginya. Bila ia melaksanakan hal ini, maka tumbuh dalam batinnya keinginan melakukan perbuatan baik yang diwujudkan Allah dalam jiwa hamba ini sebagai karamah karena kedudukan dan kejujurannya." Dan dari kehendak kuat itu keluar semua yang telah kami sebutkan dan banyak karamah yang belum terlintas dalam benak manusia.
6. Kemaluan
Di antara karamah yang dihasilkan ketika kemaluan dipergunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah anugerah dari Allah berupa rahasia menghidupkan orang-orang mati, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan penderita lepra, dan meninggalkan semua perkara yang membuatnya melupakan Allah. Allah berfirman, Dan Maryam puteri 'Imran yang memelihara
kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh Kami (QS Al-Tahrim [66]: 12). Dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam (QS Al-Anbiya' [21]: 91). Dalam hal ini, Ibnu 'Arabi juga telah menjelaskan secara mendalam hubungan-hubungan lain antara ketaatan anggota tubuh dan karamah yang dikeluarkannya, hikmah-hikmah dan rahasia ilmu hakikat
7. Kaki
Di antara karamah yang akan muncul jika digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan ada-lah mampu berjalan di atas air, dapat mengelilingi bumi, dan berjalan di udara. Hikayat-hikayat tentang maqam ini sangat terkenal, saking terkenalnya hingga tidak perlu lagi kami jelaskan di sini. Kitab-kitab kumpulan syair dipenuhi hikayat-hikayat tentang karamah ini. Karena Allah Swt. adalah pemilik para wali, maka Dia memunculkan semua karamah ini bersama mereka. Ibnu 'Arabi menyatakan, "Kami telah menyaksikan dengan jelas penempuh jalan ini berjalan di atas air dan di udara, dan dapat melipat bumi."
8. Hati
Di antara karamah hati ketika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah mampu mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Ibnu 'Arabi berkata, "Ketahuilah anakku, Allah telah menolongmu, menerangi hatimu, melapangkan dadamu, dan menyucikan pakaian serta hatimu. Segala karamah yang berkaitan dengan anggota tubuh lainnya merujuk dan kembali kepada hati. Kalau tidak ada hati, maka seluruh anggota tubuh lainnya tidak berarti. Setiap perbuatan berasal dari hati, kalau tidak didasari keikhlasan sebagai aktivitas hati, maka amal tersebut bagai debu beterbangan, tidak bermanfaat dan tidak mendatangkan kebahagiaan."
Allah berfirman, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus (QS Al-Bayyinah [98]: 5). Dan Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan tiap-tiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa berhijrah kepada dunia dan perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya." Dari sini jelaslah bahwa sudi dan ternodanya semua perbuatan lahir maupun batin tergantung
pada hati. Jadi, gerakan atau diamnya anggota tubuh untuk menaati syariat dan melakukan maksiat hanya berdasarkan pada perintah dan
kehendak hati.
Gagasan muncul pertama kali di dalam hati. Apabila hati ingin mewujudkan gagasan itu, maka ia mempertimbangkan anggota tubuh mana yang sesuai untuk melakukan gagasan itu, lalu hati menggerakkan anggota tubuh yang dipilihnya untuk mewujudkan gagasan itu, baik untuk ketaatan maupun kemaksiatan, dan atas anggota tubuh itulah pahala dan siksa diberikan. Tidakkah kamu merenungkan bagaimana Allah menganggap pandangan pertama kepada seorang perempuan bukan muhrim yang dilakukan tanpa sengaja dan tidak diniati dalam hati sebagai suatu hal yang dimaafkan dan tidak dikenai siksa?
Demikian pula ketika seorang hamba melakukan perbuatan salah tanpa sengaja, maka Allah benar-benar telah mengampuni perbuatannya itu, sebagaimana bila hati menghendaki dan berniat melakukan kemaksiatan, tetapi tidak jadi melakukannya, maka niatnya itu tidak ditulis dan tidak dihitung, selama belum dilakukan atau hanya sebatas ucapan semata. Adapun jika hati berniat melakukan ketaatan, maka ia akan diberi ganjaran sesuai dengan niat dan harapannya, meskipun ia belum melakukan ketaatan yang telah diniatkannya, niatnya telah ditulis sebagai kebaikan. Bila kamu meyakini hal ini, maka tetaplah yakin bahwa hati adalah pemimpin raga. Seluruh karamah yang muncul dari anggota tubuh merujuk kepada hati, dan hati itu sendiri dapat memunculkan karamah-karamah tertentu.
Karamah hati lainnya adalah Allah Swt. memperlihatkan kepadanya semua yang tersimpan di dunia, berupa rahasia-rahasia, alasan dan sebab perintah-Nya, atau apa pun yang mewujud dalam alam, baik spiritual maupun non spiritual, seperti yang sudah dijelaskan oleh Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi dalam kitabnya.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.2.4 Penutup

Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi r .a. menjelaskan bahwa terlipatnya bumi (menempuh jarak bumi dalam sekejap) bagi ahlul mujahadah (perang besar melawan nafsu) yang mempunyai kemampuan luar biasa adalah tanda kesungguhan dan kegigihan mereka dalam beribadah dan bekerja, karena Allah Yang Maha Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Waspada, menyimpan hikmah dalam setiap munasabah (kesesuaian), itulah yang menjadi landasan kitab ini (Mawaqi' al-Nujum). Suatu maqam tidak akan diperoleh, kecuali jika ada kesesuaian
antara maqam itu dan sifat yang kita punya. Seperti halnya mata, jika kita menggunakannya sesuai dengan perintah Allah Swt., baik yang wajib maupun yang sunnah, dan bersegera menggunakan-nya dengan sebaik-baiknya, maka mata akan dapat bermusyahadah.
Apabila kita diberi kemampuan munajat (doa dalam bentuk percakapan intim antara Allah dan manusia), maka jiwa akan merasa bahagia dari segi pendengaran (telinga) bukan penglihatan (mata). Mata tidak bisa merasakan kenikmatan munajat, karena hakikat fungsi mata adalah melihat dan mata tidak mengenal munajat, pembicaraan, dan lain-lain. Pahala yang diberikan Allah Swt. senantiasa sesuai dan cocok dengan yang menerimanya, karena Dia senantiasa meletakkan sesuatu pada tempatnya (Maha Adil). Allah tidak menjadikan musyahadah sebagai pahala bagi telinga dan munajat sebagai pahala bagi mata karena hakikatnya bukan begitu. Meskipun kita menganggap logis bahwa mata bisa mendengar, pada hakikatnya kemampuan mendengar itu bukan dilakukan oleh mata, tetapi dilakukan oleh telinga. Mata berfungsi untuk melihat dan musyahadah. Jika seorang wali hanya memiliki satu sarana pengetahuan sebagaimana dikatakan oleh sebagian wali, maka ia bisa mendengar dengan matanya dan melihat dengan telinganya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan.
Ilmu munasabah adalah ilmu yang mulia yang hanya diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya (rasikhuna fi al-'ilmi). Apabila demikian, maka apa manfaatnya mata jika belum pernah merasakan musyahadah. Oleh karena itu, bisa ditetapkan bahwa kemampuan seorang hamba untuk melipat bumi (mengelilingi bumi dalam sekejap) dalam alam kabir merupakan hasil dari kemampuannya melipat unsur tanah dalam dirinya dengan melakukan mujahadah dan macam-macam ibadah serta menjaga kesucian dan menahan lapar selama bermalam-malam. Begitu juga kemampuan berjalan di atas air bagi orang yang memberi makan orang yang membutuhkan, memberi pakaian orang yang telanjang, baik dari hartanya maupun karena gaji atas kerja mereka, mengajar orang yang bodoh, dan memberi petunjuk kepada para pencari ilmu. Kedua kemampuan ini merupakan rahasia dua kehidupan, baik kehidupan panca indra maupun kehidupan ilmiyah. Ada hubungan yang jelas antara dua kehidupan di atas dengan air. Barang siapa mampu menguasai dua kehidupan itu, maka ia bisa menguasai air. Kapan pun ia mau, ia bisa berjalan di atasnya.
Begitu pula kemampuan menghidupkan orang yang mati dalam kehidupan ilmiah. Akan tetapi, Ibnu 'Arabi tidak begitu yakin dengan
karamah ini. Ibnu 'Arabi hanya mengatakan bahwa apabila hal itu terjadi, inilah sebab-sebab, asal, dan sumbernya. Apabila hal tidak terjadi, berarti itu bukan bagian orang 'arif. Bagiannya hanya pada kedudukan dan rahasia-rahasianya saja. Sebagaimana orang yang mampu berjalan di udara. Ia tidak bisa melakukan hal itu, kecuali jika ia meninggalkan nafsunya untuk mengikuti keinginan Allah.
Ibnu 'Arabi pernah terlihat berjalan di udara, kemudian ia ditanya, "Dengan cara apa kamu memperoleh karamah ini?" Ia menjawab, "Kutinggalkan nafsuku untuk melaksanakan keinginan-Nya, sehingga Allah menundukkan udara untuk-ku." Dalam pengetahuan tentang munasabah, ilmu dan hikmah merupakan ketetapan logika dan ketetapan ilahiyah yang mengandung hikmah.
Barangsiapa berpendapat bahwa Allah Swt. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal di atas, berarti ia tidak mempunyai pengetahuan tentang letak-letak hikmah. Allah berfirman. Makan dan minumlah dengan enak disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (QS Al-Haqqah [69]: 24), yakni hari-hari puasa. Allah tidak berfirman saksikanlah atau dengarlah, karena itulah balasan yang sesuai atas puasa yang telah mereka lakukan.
Allah berfirman, Pada hari kiamat ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini (QS Al-A'raf [7]: 51); Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, maka pada hari ini kamu pun dilupakan (QS Thaha [20]: 126); Jika kamu mengejek Kami, maka Kami pun akan mengejek kamu sebagaimana kamu mengejek Kami (QS Hud [11]: 38); Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman (QS Al-Muthaffifin [83]: 29). Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman tentang balasan untuk orang-orang kafir, Pada hari ini, orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir (QS Al-Muthaffifin [83]: 34)). Lalu Dia menyempurnakan firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi balasan atas apa yang dahulu mereka lakukan (QS Al-Muthaffifin [83]: 36). Allah membalas olok-olok orang-orang munafiq kepada orang-orang mukmin sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Allah membalas olok-olok mereka (QS Al-Baqarah [2]: 15). Ayat ini jawaban atas ayat sebelumnya, Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok. (QS Al-Baqarah [2]: 14) ^ fl i
Sebagian syaikh mimpi bertemu Muhyiddin Ibnu 'Arabi, lalu mereka bertanya, "Apa yang Allah lakukan kepadamu?" Ibnu 'Arabi
menjawab, "Dia mengasihiku dan berkata kepadaku, 'Makanlah hai orang yang tidak makan! Minumlah hai orang yang tidak minum!'"
Mengapa Allah tidak mengatakan, "Makanlah, hai orang yang menghabiskan malam dengan membaca Al-Qurvan! Minumlah, hai orang yang melewati hari-hari melelahkan!" Inilah kesesuaian yang dianugerahkan Allah sebagai hikmah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia mengurutkan sesuatu sesuai dengan urutannya, dan hanya sedikit pengetahuan tentang keruntutan yang kita peroleh.
Ketika Ibnu 'Arabi membicarakan tentang astronomi, ia berkata, "Sesungguhnya Allah tidak membuat sesuatu itu sia-sia, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Ya Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, Maha suci Engkau (QS Ah 'Imran [3]: 191); Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya itu tanpa hikmah. Itu adalah anggapan orang-orang kafir (QS Shad [38]: 27); Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main (QS Al-Anbiya' [21]: 16)."
Setiap wujud pasti mengandung hikmah bagi orang yang mengetahuinya, yang tidak akan diketahui orang bodoh. Dua wujud tidak akan menyatu dan bergabung, kecuali jika ada kesesuaian antara keduanya, baik tampak maupun tidak tampak. Apabila hal tersebut dicari dengan teliti, niscaya akan kelihatan. Seperti hikayat Imam al-Ghazali, salah seorang pemimpin dan penghulu tariqah. Al-Ghazali bisa melihat kesesuaian itu dan mengemukakannya. Pada suatu hari, ia melihat merpati dan gagak di Quds, keduanya saling mengendus, berkasih sayang, dan tidak bermusuhan. Al-Ghazali kemudian berkata, "Keduanya berkumpul karena ada kesesuaian antara keduanya." Ia menunjuk kedua burung itu dengan jari, lalu kedua burung itu berjalan bersama. Lalu masing-masing terbang.
Begitupula seorang penghulu syaikh di wilayah barat, Abu al-Naja yang terkenal dengan nama Abu Madyan, telah mengalami hal ini. Pada suatu hari, Abu Madyan menemukan suatu ide. Lalu Abu Madyan bertemu seseorang yang seide dengannya, tetapi ia merasa tidak senang dengan orang itu, maka ia menanyainya, dan ternyata orang itu musyrik. Karena Abu Madyan mengerti ilmu munasabah, maka ia meninggalkan orang itu.
Munasabah (kesesuaian) ada dalam hubungan antara segala sesuatu, dan pengetahuan tentangnya merupakan maqam pengikut tariqah yang khawwash (khusus). Munasabah bersifat sangat samar dan ada dalam segala sesuatu, bahkan antara sebuah nama dan yang
mempunyai nama itu. Meskipun Abu Zaid al-Suhaili tampak asing bagi para pengikut tariqah ini, tetapi dalam kitab Al-Ma'arif wa al-I'lam, ia telah menunjukkan munasabah dalam nama Nabi Saw., "Muhammad" dan "Ahmad". Dia menyatakan bahwa ada munasabah (kesesuaian) antara perbuatan dan akhlak Nabi Saw. dengan nama "Muhammad" atau "Ahmad". Orang-orang yang berbicara tentang munasabah biasanya adalah para tokoh dari kalangan orang-orang yang dekat dengan Allah, beradab tinggi, serta menyibukkan diri dan hal mereka di jalan Allah.. Demikian penjelasan Ibnu 'Arabi dalam kitab Mawaai' al-Nujum.
Dalam bab 184 kitab Al-Futuhat al-Makiyyah, Ibnu 'Arabi menjelaskan bahwa karamah merupakan kebenaran dari nama Allah, Al-Birru (Yang Maha Baik) dan hanya muncul pada hamba-hamba-Nya yang baik sebagai pahala yang setimpal dengan amal mereka. Sesungguhnya munasabah menuntut adanya karamah meskipun tidak ada tuntutan bagi orang yang mempunyai karamah. Karamah ada dua macam, hissiyah dan ma'nawiyah.
Orang-orang awam hanya bisa mengetahui karamah yang bisa diindra (hissiyah), contohnya berbicara lewat hati, memberitahu hal-hal gaib yang sudah terjadi dan kejadian yang akan terjadi, memperoleh rezeki dari alam, berjalan di atas air, menundukkan udara, melipat bumi, menutup penglihatan, terkabulnya doa seketika, dan lain-lain. Adapun karamah ma'nawiyah hanya diketahui oleh orang-orang khawwas. Hal itu karena orang-orang khaiuwas selalu menjaga etika syariat, berakhlak mulia, menghindari akhlak yang buruk, selalu menunaikan kewajiban secara mutlak dan tepat waktu, segera mengerjakan kebaikan, menghilangkan dengki, iri, dendam, dan buruk sangka terhadap orang lain dari dalam hati, menyucikan hati dari segenap sifat tercela dan menghiasinya dengan selalu memelihara jiwa, menjaga hak-hak Allah dalam dirinya dan dalam segala sesuatu, mencari jejak-jejak Allah dalam hatinya, memelihara jiwa dari masuk dan keluarnya jejak-jejak itu.
Semua itu adalah karamah para wah yang bersifat ma'nawi yang tidak bisa dimasuki makr dan istidraj. Karamah ma'nawi menunjukkan bahwa wah yang memilikinya telah memenuhi janji, mempunyai niat yang baik, ridha dengan ketentuan Allah terhadap apa yang hilang dan sesuatu yang dibencinya. Karamah semacam ini hanya bisa dimiliki oleh para malaikat yang dekat dengan Allah dan manusia-manusia terbaik pilihan-Nya
Karamah yang bisa diketahui oleh orang awam bisa dimasuki makr yang tersembunyi. Karena itu, menurut kami, karamah harus bisa
menghasilkan sikap istiqamah atau istiqamah akan menghasilkan karamah. Jika tidak demikian, tidak bisa disebut karamah. Jika karamah bisa menghasilkan sikap istiqamah, maka mungkin Allah menjadikan karamah itu sebagai pahala dan balasan atas perbuatanmu. Dengan kata lain, Allah memberikan perhitungan kepadamu dengan karamah ma'nawiyah. Karamah ma'nawiyah tidak mungkin dimasuki makr yang tersembunyi Kekuatan dan kemuliaan ilmu memberimu kemampuan untuk menangkal makr sehingga tidak masuk ke dalam karamah ma'nawiyyah.
Hukum-hukum syara' tidak bisa dimasuki perangkap makr. Karena hukum-hukum syara' merupakan sarana yang jelas untuk mendapat-kan kebahagiaan, sedang ilmu menjagamu agar tidak sombong dengan perbuatanmu. Salah satu kelebihan ilmu adalah ia menjagamu, dan apabila ia menjagamu, maka kamu akan selamat dari kesombongan, mendekatkanmu kepada Allah, dan memberitahukan kepadamu bahwa pertolongan dan petunjuk-Nya akan muncul dari dirimu. Ilmu akan menjaga hukum-hukum syara'.
Apabila muncul karamah dalam diri seorang wah, ia takut kepada Allah dan memin ta-Nya untuk menyembunyikan hal-hal luar biasa itu dan agar ia tidak dibedakan dari orang kebanyakan dengan karamah yang diberikan kepadanya kecuali ilmu, karena ilmu adalah suatu kebutuhan. Dengan ilmu orang akan bermanfaat meskipun belum sempat mengamalkannya. Sesungguhnya tidak sama orang-orang yang tahu dengan orang orang-orang yang tidak tahu. Para ulama adalah orang-orang yang percaya akan adanya percampuran (antara ilmu dan karamah). Karamah hanya diberikan oleh Allah untuk orang-orang yang taat kepada-Nya karena mereka belum melihat wajah Tuhan dalam dirinya Karamah mereka yang paling tinggi adalah ilmu, karena dunia adalah tempat ilmu, sedangkan kejadian-kejadian luar biasa sesungguhnya tidak bertempat di dunia. Jadi, kejadian luar biasa tidak bisa disebut karamah, kecuali disertai dengan ilmu tentang Allah (ma'rifat), tidak cukup hanya dengan kejadian luar biasa itu saja. Itulah yang disebut ilmu. Jadi, karamah ilahi adalah ilmu tentang Allah (ma'rifat) yang dianugerahkan Allah kepada para wali.
Abu Yazid r.a. pernah ditanya tentang kemampuan melipat (menempuh jarak dalam sekejap) bumi. Ia menjawab, "Itu tidak seberapa, karena iblis juga menempuh jarak dari ujung barat sampai timur hanya dalam sekejap, padahal ia tidak memiliki tempat di sisi Allah."Selanjutnya Abu Yazid ditanya tentang orang yang mampu
melayang di udara. Ia menjawab, "Burung juga bisa terbang di udara, padahal di sisi Allah seorang mukmin lebih mulia daripada burung. Bagaimana mungkin apa yang bisa dilakukan burung bisa disebut karamah."
Demikianlah penjelasan Abu Yazid, lalu ia berkata, "Tuhanku, sesungguhnya suatu kaum meminta Engkau memberikan apa yang mereka sebutkan, sehingga dengan itu Engkau membuat mereka sibuk dan ahli. Ya Allah, meskipun Engkau menjadikanku ahli tentang sesuatu, tapi berilah aku kemampuan untuk mengetahui rahasia-Mu." Abu Yazid hanya meminta ilmu, karena ilmu merupakan hadiah dan karamah yang paling mulia. Meskipun dengan ilmu kamu bisa berhujjah, tetapi ilmu akan menjadikanmu introspektif dan mengetahui apa yang baik dan buruk bagimu serta apa yang menjadi milik-Nya.
Allah tidak pernah memerintahkan Nabinya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali minta ditambah ilmu. Karena semua kebaikan terletak di dalam ilmu. Ilmu adalah karamah yang paling besar. Orang berilmu yang malas melaksanakan ibadah sunnah lebih baik daripada orang bodoh yang rajin melaksanakan ibadah sunnah.
Banyak cara mendapatkan ilmu. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, hari akhir, sebab-sebab dan tujuan dunia diaptakan, sehingga manusia bisa memikirkan asal-usulnya dan mengenal diri serta aktivitasnya. Ilmu merupakan sifat segala sesuatu yang bersifat Ilahiyah. Ilmu adalah rahmat Allah yang paling mulia, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS Al-Kahfi [18]: 65). Ilmu adalah sumber rahmat.
Saya telah menjelaskan makna karamah. Karamah adalah pengetahuan ilahiyah yang diberikan kepadamu sebagai karamah dari-Nya. Dengan karamah itu, Allah tidak mengurangi pahala akhiratmu dan karamah itu juga bukan balasan atas perbuatanmu, tetapi balasan karena kamu mendatangi Allah. Kamu mendatangi Allah karena ketidaktahuanmu, karena kamu tak melihatnya di awal kedatanganmu.
Hal ini pernah terjadi pada Abu Yazid, ketika ia keluar mencari Allah di Bustam untuk pertama kali. Abu Yazid bertemu seseorang dan ia ditanya, "Wahai Abu Yazid, apa yang kau cari?" Abu Yazid menjawab, "Allah." Orang itu berkata lagi, "Yang kau cari itu kau tinggalkan di Bustam." Dari jawaban itu, Abu Yazid sadar mengapa ia mencari Allah padahal Dia telah berfirman, Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Jadi dalam hal ini, tidak ada ilmu dan tidak ada
iman. Apabila Allah mengharamkanmu untuk mencapai ilmu musyahadah, itu bukan berarti keimananmu kepada-Nya lebih kecil. Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa hanya orang yang tidak mengetahui Allah, yang berusaha mencari-Nya. Kelompok orang seperti ini berbuat karena Allah dan untuk mencari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mendatangi Allah, sehingga Dia mendekat kepada mereka sebagai-mana mereka mendekati-Nya, dan Dia memberitahu mereka bahwa kedatangan mereka itu dibolehkan secara khusus, meskipun mereka belum mengetahui hal itu dari-Nya melalui pemberitahuan kepada mereka karena dikhawatirkan ada makr ilahi di dalamnya, atau akan mengurangi pahala akhirat. Mereka mengharapkan akhirat karena mereka belum diberi tatkala di dunia. Allah hanya menyatakan kebenaran dan Dia memberi petunjuk. Demikianlah penjelasan Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a..«
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.3.0 Tingkatan Dan Klasifikasi Wali

Syaikh Akbar Muhyiddin Ibnu 'Arabi menyebutkan secara panjang lebar tingkatan dan klasifikasi wah berdasarkan perbedaan hal mereka di bab 73 kitab Futuhat al-Makiyyah. Dalam pendahuluan kitabnya yang berjudul Thabaaah Sughra, Imam al-Munawi meringkas pembahasan tersebut dari kitab Futuhat, tetapi dengan bahasanya sendiri yang panjang lebar, sehingga meninggalkan beberapa hal penting. Di sini saya akan meringkas pembahasan tersebut dari kitab Imam al-Munawi dengan memakai kata-kata Ibnu 'Arabi dan mengutip banyak hal yang ditinggalkan oleh Imam Munawi.
Ibnu 'Arabi r.a. berkata, "Ketahuilah, hamba-hamba Allah yang berada di jalan ini adalah mereka yang dinamakan dunia jiwa (alam anfas), suatu nama yang mencakup mereka semua. Mereka mempunyai tingkat dan hal yang berbeda-beda. Ada wali yang terkumpul dalam dirinya semua tingkat dan hal. Ada wah yang mencapai sebagian tingkatan dan hal sesuai dengan kehendak Allah. Setiap tingkatan (tabaqah) wali yang mempunyai hal dan maqam memiliki gelar tersendiri. Ada tingkatan wah yang jumlahnya bisa dihitung dalam setiap zamannya. Ada juga yang tidak bisa dihitung jumlahnya, kadang sedikit kadang banyak." Insya Allah, Kami akan memaparkan wali-wali yang bisa dihitung dan yang tidak bisa dihitung jumlahnya sekaligus dengan masing-masing gelarnya.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.3.1 Wali yang Jumlahnya Bisa Dihitung

1. Aqthab r.a. (radiyallahu 'an/wm/semoga Allah meridhai mereka).
Mereka adalah para wali yang terkumpul dalam dirinya semua hal
dan maqam, baik menerimanya secara langsung maupun karena warisan. Penggunaan nama ini meluas sehingga orang yang mempunyai salah satu maqam juga disebut Quthb. Di setiap zaman, wali tingkatan ini hanya ada satu. Pemimpin suatu negeri juga terkadang disebut Quthb negeri itu dan guru suatu kelompok juga terkadang disebut Quthb kelompok itu. Akan tetapi Aqthab yang dimaksud di sini hanya ada satu setiap zamannya. Ia juga disebut Al-Ghaits (penolong), ia adalah pemimpin suatu golongan pada zamannya. Dari segi maqam, terkadang ia merupakan pemimpin kekuasaan yang memiliki kekuasan fisik dan kekuasaan batin, contohnya Abu Bakar, 'Umar, TJtsman, 'Ah, Hasan, Mu'awiyah bin Yazid, Umar bin 'Abdul' Aziz, dan Al-Mutawakkil. Terkadang Quthb hanya mempunyai kekuasaan batin, tidak punya kekuasaan fisik, contohnya Ahmad bin Harun al-Rasyid dan Abu Yazid al-Busthami. Mayoritas Aqthab tidak mempunyai kekuasaan fisik
2. Aimmah r a. (para pemimpin). Dalam setiap zaman, jumlahnya tidak lebih dari dua, artinya tidak ada yang ketiga. Yang pertama bernama 'Abdur Rabbi, yang kedua dinamakan 'Abdul Malik, sedangkan Quthb adalah 'Abdullah. Kedua Aimmah ini akan menggantikan Quthb apabila ia meninggal dan kedudukan keduanya seperti menteri. Salah seorang dari mereka hanya mengetahui alam malakut (alam kekuasaan/alam gaib/mikrokosmos), sedang yang satunya hanya mengetahui alam mulk (alam kerajaan/dunia jasmani/makrokosmos).
3. Autad r.a. Mereka hanya berjumlah empat, tidak kurang dan tidak lebih, dalam setiap zamannya. Kami pernah bertemu salah seorang dari mereka di kota Fes yang dikenal dengan nama Ibnu Ja'dun. Ia adalah seorang pekerja penumbuk daun pacar atau inai. Masing-masing dari keempat orang itu tinggal di di daerah timur, barat, selatan, dan utara. Arahnya dilihat dari Ka'bah. Sebagian mereka perempuan. Gelar mereka adalah 'Abdul Hayyi, 'Abdul 'Alim, 'Abdul Qadir, dan 'Abdul Murid.
4. Abdal r.a. Jumlahnya ada tujuh tidak kurang tidak lebih. Allah menjaga mereka di tujuh wilayah. Setiap Badai (bentuk tunggal dari Badai) mempunyai daerah dan wilayah sendiri-sendiri. Salah satunya mengikuti jejak seperti Khalilullah (Nabi Ibrahim), yang kedua mengikuti jejak Al-Kalim (Nabi Musa), ketiga mengikuti jejak Harun r.a., yang keempat mengikuti jejak Idris a.s., yang kelima mengikuti jejak Nabi Yusuf r.a., keenam mengikuti jejak Isa a.s..
dan ketujuh mengikuti jejak Adam a.s. Disebut Abdal karena jika seorang Badai akan meninggalkan suatu tempat dan ingin mengangkat Badai untuknya di tempat itu yang menurutnya mengandung kemaslahatan dan usaha pendekatan diri kepada Allah, maka ia akan meninggalkan seseorang yang mirip dengan sosoknya di tempat itu. Tak diragukan lagi. Badal yang ia tinggalkan terlihat seperti dirinya sendiri. Badal itu sendiri adalah sosok spiritualnya dengan tujuan untuk mengetahuinya. Setiap orang yang mempunyai kekuatan ini disebut Badal. Dan barangsiapa yang dijadikan Allah sebagai Badal di suatu tempat, tetapi ia tidak mengetahui apa-apa tentang itu, maka ia bukan yang dimaksud sebagai Abdal yang telah kami sebutkan.
Kami pernah bertemu dengan Abdal. Kami pernah melihat tujuh Badal di Mekkah dan bertemu mereka di belakang kerumunan pengikut Hanbali. Kami pernah berkumpul dengan mereka, tidak ada orang yang pernah saya lihat yang mempunyai akhlak sangat baik daripada mereka. Kami juga pernah bertemu Musa al-Baidrani di Asybiliyah tahun 586 H., ia mendatangi kami dan berkumpul dengan kami. Kami juga pernah bertemu Syaikh al-Jibal Muhammad bin Asyraf al-Rindi. Teman kita juga 'Abdul Majid bin Salamah pernah bertemu seseorang bernama Mu'adz bin Asyras, salah seorang pemimpin mereka dan 'Abdul Majid menyampaikan salam Mu'adz untuk kami 'Abdul Majid menanyakan kepadanya dengan apa para Abdal mendapatkan kedudukan itu. Lalu ia menjawab, "Dengan empat hal," seperti yang disebutkan Abu Thalib al-Makki, yaitu lapar, bangun malam, diam, dan uzlah.
5. Nuqaba' r.a. Di setiap zaman, mereka berjumlah 12 orang, tidak kurang tidak lebih, sama dengan jumlah galaksi (kumpulan bintang) dalam tata surya. Setiap Naqib (bentuk tunggal dari Nuqaba') mengetahui khasiat dari satu galaksi. Allah memberi mereka pengetahuan tentang syariat-syariat yang diturunkan. Mereka mampu menyingkap isi hati dan kedengkian yang tersembunyi di dalam hati manusia, dan mengetahui tipu daya nafsu. Mereka juga mengetahui iblis padahal iblis sendiri tidak mengetahui dirinya. Mereka bisa mengetahui bekas dan jejak seseorang di atas tanah, apakah itu jejak orang yang bahagia atau sengsara. Ulama yang mempunyai kemampuan semacam ini banyak. Jika mereka melihat jejak di padang pasir, lalu bertemu seseorang dan mengatakan bahwa orang itulah pemilik jejak kaki
tersebut, ternyata apa yang mereka katakan itu benar. Jika mereka bukan wali Allah, lalu apa sehutanmu terhadap para Nuqaba' yang dikaruniai Allah ilmu tentang jejak?
6. Nujaba r.a. Setiap zaman, jumlahnya hanya delapan, tidak kurang tidak lebih. Mereka adalah orang-orang yang tampak dalam diri mereka tanda-tanda diterimanya hal (kondisi spiritual yang diperoleh sebagai anugerah) mereka, meskipun mereka tidak mengusahakannya, tetapi justru kondisi spiritual itu yang menguasai diri mereka. Hanya orang yang kondisi spiritualnya berada di atas mereka yang bisa mengetahui keadaan mereka.
7. Hawariyyun r.a. Setiap zaman, jumlahnya hanya ada satu. Apabila yang satu itu meninggal, maka baru muncul yang lainnya. Pada masa Rasulullah Saw., orang yang mempunyai maqam (kedudukan spiritual yang diperoleh dengan usaha) ini adalah Zubair bin 'Awwam. Banyak orang yang membela agama dengan menggunakan pedang, sedangkan Al-Hawariyyun adalah orang membela agama dengan menggunakan pedang dan hujjah. Ia dikaruniai ilmu, ketekunan beribadah, hujjah, kemahiran berpedang, keberanian, dan keteguhan. Maqamnya adalah mempertahankan kebenaran agama yang disyariatkan.
8. Rajabiyyun r.a. Jumlahnya ada empat puluh orang di setiap zaman, tidak kurang tidak lebih. Mereka adalah hamba-hamba yang halnya mengagungkan Allah. Mereka dinamakan Rajabiyyun, karena hal mereka hanya diperoleh pada bulan Rajab, sejak awal sampai akhir bulan. Setelah itu, mereka kehilangan hal ini, sampai datangnya bulan Rajab tahun berikutnya. Hanya sedikit orang yang mengetahui dan mengenal mereka. Mereka terpencar di beberapa tempat, tetapi mereka saling kenal. Ada yang bermukim di Yaman, Syam, dan Diyar Bakar.
Muhyiddin Ibnu'Arabi berkata, "Saya pernah berjumpa dengan salah seorang dari mereka di Danusiri, Diyar Bakar, dan tidak berjumpa dengan yang lainnya. Saya memang ingin sekali bertemu mereka. Sebagian mereka ada yang tetap mempunyai hal ini (Rajabiyyun) sepanjang tahun, ada juga yang memilikinya hanya selama bulan Rajab. Rajab yang kujumpai itu mampu melihat keadaan golongan Syi'ah Rafidhah yang sebenarnya dalam rupa babi, padahal ketika itu bukan bulan Rajab. Ini menunjukkan bahwa ia memperoleh hal Rajabiyyun sepanjang tahun. Kemudian datanglah seorang Syi'ah Rafidhah, lalu Rajab itu berkata, 'Bertobatlah kepada Allah, karena kamu termasuk
golongan Syi'ah Rafidhah.' Orang-orang takjub dengan kejadian tersebut. Apabila orang Syi'ah Rafidhah itu bertobat dengan sebenar-benarnya, maka Rajab itu melihatnya dalam rupa manusia, tetapi jika ia bertobat hanya di mulut saj a, maka Rajab itu tetap melihatnya dalam rupa babi, lalu berkata kepada orang Syi'ah Rafidhah itu, 'Kamu bohong ketika mengatakan telah bertobat.' Apabila orang Syi'ah Rafidhah itu berkata benar, maka Rajab itu akan berkata, 'Kamu jujur.' Akhirnya orang Syi'ah Rafidhah itu tahu bahwa Rajab itu benar, sehingga ia keluar dari mazhabnya."
Ibnu 'Arabi juga menceritakan bahwa hal seperti itu pernah terjadi pada dua orang yang berilmu dan adil dari kalangan mazhab Syafi'i Keduanya tidak dikenal sebagai orang Syi'ah dan memang tidak termasuk golongan Syi'ah, hanya saja pendapat keduanya cenderung ke golongan itu. Keduanya berpegang teguh kepada mazhab Syafi'i, tetapi menganggap buruk Abu Bakar dan 'Umar serta mengagungkan 'Ali sebagaimana kaum Syi'ah. Ketika keduanya melewati tempat seorang Rajab lalu mengunjunginya, Rajab itu mengusir mereka dari sisinya, karena Allah telah menyingkapkan batin keduanya di pandangan sang Rajab sehingga tampak dalam rupa babi, tanda yang diperlihatkan Allah bagi seorang Rajab untuk mengetahui pengikut mazhab Syi'ah Rafidhah. Tahulah kedua orang itu bahwa sang Rajab itu mengetahui keyakinan mereka sebenarnya, padahal mereka terkenal sebagai saksi yang adil dan ahli hadis. Maka mereka berdua menanyakan hal tersebut kepada sang Rajab. Lalu dijawab, "Aku melihat kalian berdua dalam rupa babi. Itu tanda yang diperlihatkan Allah bagiku untuk mengetahui orang yang bermazhab Syi'ah Rafidhah." Kemudian keduanya bertobat tetapi hanya dalam hati, tidak menampakkannya. Lalu Rajab itu berkata kepada keduanya, "Sekarang, kalian berdua telah meninggalkan mazhab tersebut, karenanya saya melihat kalian dalam rupa manusia." Keduanya takjub dengan hal tersebut dan akhirnya bertobat kepada Allah.
Di hari pertama bulan Rajab, seorang Rajab merasa sangat berat seperti sedang memikul beberapa lapis langit, sehingga tidak dapat mengedipkan mata dan menggerakkan anggota badan. Ia hanya bisa berbaring dan sama sekali tidak mampu bergerak, berdiri, duduk, menggerakkan tangan dan kaki, atau mengedipkan mata. Keadaan tersebut berkurang sedikit demi sedikit pada hari kedua dan ketiga bulan Rajab. Lalu ia mengalami mukasyafah, tajaliyyat, dan mampu mengetahui hal-hal gaib. Akan tetapi ia masih tetap dalam keadaan berbaring. Setelah dua atau tiga hari, ia baru bisa berbicara sampai akhir
bulan. Apabila bulan Rajab telah habis dan masuk bulan Syaban, ia bisa berdiri seperti terlepas dari jeratan. Apabila ia seorang pekerja pabrik atau pedagang, ia bisa melakukan kegiatannya lagi karena telah lepas dari keadaan itu kecuali orang yang dikehendaki Allah tetap dalam keadaan tersebut. Keadaan para Rajab ini aneh dan tidak diketahui sebabnya dan hanya terjadi di bulan Rajab.
9. Khatmu r.a hanya ada satu sepanjang zaman. Dia hanya ada satu di dunia. Allah telah menutup kewalian umat Muhammad dengan kemunculannya. Tidak ada wali dari kalangan umat Muhammad yang lebih besar daripada dia. Di adalah penutup (khatm) terakhir yang dengannya Allah menutup kewalian yang ada dalam seluruh umat sejak Adam sampai wali yang terakhir. Dia adalah Isa a.s. Dialah penutup para wali sebagaimana ia juga merupakan penutup peredaran falak. Pada hari akhir nanti, Isa akan dikumpulkan di Padang Mahsyar sebagai rasul bersama rasul-rasul lainnya.
10. Tiga ratus wali yang mempunyai hati seperti Nabi Adam a.s., jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di setiap zamannya. Sabda Nabi Saw. tentang tiga ratus orang yang mempunyai hati seperti Adam juga sabda beliau tentang orang-orang yang mempunyai hati seperti manusia-manusia yang agung (para nabi dan rasul) dan para malaikat, mengandung arti bahwa orang-orang seperti itu mempunyai hati yang sesuai dengan pengetahuan ilahiah. Ilmu-ilmu ilahiah masuk ke dalam hati, maka setiap ilmu yang masuk ke dalam hati orang besar, baik ia raja maupun rasul, berarti ilmu itu juga masuk ke dalam hati orang-orang yang mirip dengan hati raja dan rasul itu. Sebagaimana yang biasa diungkapkan oleh sebagian orang, "Si Zaid mempunyai langkah seperti si Ahmad." Muhyiddin Ibnu 'Arabi berpendapat bahwa dalam hadisnya,
Rasulullah tidak menyebutkan tiga ratus orang yang berhati seperti Adam itu ada dalam umatnya saja atau ada di setiap zaman. Dan kita hanya mengetahui mereka dalam setiap zaman dengan jalan mukasyafah. Setiap zaman tidak pernah kosong dari jumlah ini. Tiga ratus orang itu mempunyai tiga ratus akhlak ilahiyah. Barangsiapa berakhlak dengan salah satunya saja, maka ia akan mencapai kebahagiaan. Mereka adalah orang-orang yang terpilih dan sangat suka memanjatkan doa Nabi Adam a.s., Ya Tuhan kami, kami telah berbuat zalim kepada diri kami sendiri. Dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi. (QS Al-A'raf [7]: 22)
11. Empat puluh wali yang mempunyai hati seperti Nabi Nuh a.s., jumlahnya tidak kurang tidak lebih di setiap zaman. Hal ini dinyatakan dalam hadis Rasulullah Saw., dan beliau adalah rasul serta orang pertama yang mempunyai hati seperti Nuh a.s. Mereka sangat cekatan dan selalu memanjatkan doa Nabi Nuh a.s., Ya Tuhanku! Ampunilah aku, kedua orang tuaku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman, dan semua orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan (QS Nuh [71]: 28). Maqam mereka adalah mempunyai ghirah keagamaan yang merupakan maqam orang yang menempuh jalan sulit Segala sifat yang terpencar dalam diri empat puluh orang itu terkumpul dalam diri Nuh a.s., sebagaimana segala sifat yang terpencar dalam diri tiga ratus orang yang memiliki hati seperti Adam terkumpul dalam diri Adam a.s. Dalam menaiki tangga menuju tingkat tersebut, mereka berkhalwat selama tepat empat puluh hari, tidak lebih, sebagai khalwat pembukaan. Mereka berdalil dengan hadis Rasulullah Saw., "Barangsiapa membersihkan hati karena Allah selama empat puluh hari, maka akan keluar dari hatinya sumber-sumber hikmah melalui lisannya."
12. Tujuh wali yang mempunyai hati seperti Nabi Ibrahim a.s., jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di setiap zaman. Hal ini dinyatakan dalam hadis Rasulullah Saw. Mereka selalu memanjatkan doa Nabi Ibrahim a.s., Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh (QS Al-Syu'ara' [26]: 83). Maqam mereka selamat dari segala keraguan dan kebimbangan. Allah telah mencabut belenggu dunia dari hati mereka. Mereka tidak mempunyai buruk sangka terhadap orang lain bahkan mereka tidak mempunyai prasangka apa pun, karena mereka merupakan orang yang berilmu benar, sedangkan prasangka hanya ada pada orang yang tidak mempunyai ilmu. Mereka tidak pernah berbuat jahat terhadap orang lain karena Allah telah memberikan hijab antara dia dan kejahatan yang biasa dilakukan manusia. Muhyiddin Ibnu 'Arabi berkata, "Saya pernah bertemu dengan mereka. Saya belum pernah bertemu dengan orang yang lebih baik jalan, ilmu, dan kemurahannya daripada mereka. Di surga nanti, mereka duduk berhadapan di atas dipan-dipan dengan hati penuh persaudaraan, dan kehidupan surga yang bersifat maknawi telah tertanam dalam hati mereka."
13. Lima wali yang mempunyai hati seperti Jibril a.s., jumlahnya tidak kurang tidak lebih setiap zamannya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. Mereka adalah raja dari orang yang menapaki jalan ini. Mereka memiliki ilmu yang dimiliki Jibril berupa kekuatan yang dilambangkan dengan sayap-sayap yang digunakan untuk naik turun langit. Akan tetapi, ilmu mereka tidak melampaui ilmu Jibril, karena Jibril lah yang memberikan pengetahuan tentang hal-hal gaib kepada mereka. Pada hari kiamat nanti, mereka akan berkumpul bersama Jibril di Padang Mahsyar.
14. Tiga wali yang memiliki hati seperti Mikail a.s., jumlahnya tidak kurang tidak lebih pada setiap zaman. Mereka dikaruniai kebaikan, rahmat, kasih sayang, dan belas kasih Allah. Mereka bertiga lapang dada, murah senyum, lemah lembut, penuh belas kasih, dan memiliki ilmu yang sebanding dengan kekuatan Mikail a.s.
15. Satu wali yang memiliki hati seperti Israfil a.s. di setiap zamannya. Hal ini dinyatakan dalam sebuah hadis Nabi Saw. Ia memiliki kekuasaan untuk memerintah dan melarang, serta tidak berai sebelah dalam memandang masalah. Abu Yazid al-Busthami termasuk orang yang memiliki hati seperti Israfil, dan dari golongan nabi adalah Isa a.s. Barangsiapa memiliki hati seperti Isa a.s., berarti ia juga seperti Israfil a.s., akan tetapi terkadang orang yang memiliki hati seperti Israfil tidak mesti memiliki hati seperti Isa a.s. Muhyiddin Ibnu'Arabi menyatakan bahwa salah seorang gurunya memiliki hati seperti Isa a.s. dan dia termasuk orang besar.
16. Para wali yang mempunyai hati seperti Dawud a.s., jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di setiap zamannya, insya Allah saya akan membahas tentang mereka menurut kacamata spiritual saya. Hal, ilmu, dan tingkatan yang terpencar dalam diri mereka terkumpul dalam diri Dawud a.s. Saya pernah bertemu dan bergaul dengan mereka semua, serta belajar dari mereka. Tingkatan mereka tidak bisa ditentukan dengan jumlah tertentu.
17. Orang-orang gaib (rijalul ghaib). Mereka hanya ada sepuluh tidak kurang tidak lebih. Mereka adalah orang-orang yang khusyuk dalam shalat dan selalu berbicara dengan suara berbisik karena Allah selalu menyingkapkan diri-Nya (tajalli) ke dalam jiwa mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga kamu hanya mendengar bisikan saja (QS Thaha [20]: 108).
Mereka adalah orang-orang yang tersembunyi dan tidak'dikenal. Allah telah menyembunyikan mereka di bumi dan langit-Nya, serta hanya Dia yang mengetahui dan menyaksikan keberadaan mereka, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil mengajak mereka berbicara, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan (OS Al-Furqan [25]: 63). Mereka sangat pemalu, jika mereka mendengar seseorang berbicara dengan suara keras, urat leher mereka menonjol dan mereka merasa heran. Para ulama terkadang mengartikan rijalul ghaib sebagai manusia yang tidak bisa dilihat dengan mata, terkadang didefinisikan dengan kelompok jin yang mukmin dan saleh, dan terkadang didefinisikan sebagai kelompok yang tidak memperoleh rezeki dan ilmu dari alam fisik, tetapi mengambilnya dari alam gaib.
18. Delapan belas wali yang menegakkan perintah Allah, jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih dalam setiap zaman. Mereka menegakkan perintah Allah dengan melaksanakan hak-hak-Nya dan menguatkan kejadian-kejadian yang biasa. Firman Allah tentang mereka adalah ayat, Katakanlah: "Allah (yang telah menurunkan Al-Qur'an)," kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qursan kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya (QS Al-Baqarah [2]: 91), dan ayat, Sesungguhnya aku telah menyeru mereka kepada iman secara terang-terangan (QS Nuh [71]: 8). Salah satu dari golongan ini adalah guru kami Abu Madyan r.a. yang berkata kepada teman-temannya, "Perlihatkan kebenaran kalian kepada manusia sebagaimana mereka memperlihatkan kedurhakaan mereka. Perlihatkan nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepadamu, baik nikmat zahir berupa kejadian-kejadian luar biasa maupun nikmat batin berupa ma'rifat. Sesungguhnya Allah telah berfirman, Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah kamu menceritakannya (QS Al-Dhuha [93]: 11), dan Nabi Saw. telah bersabda, 'Menceritakan karunia Allah adalah bentuk bersyukur."'
19. Delapan wali yang memiliki kekuatan ilahi Firman Allah tentang mereka adalah ayat, Mereka yang keras terhadap orang-orang kafir (QS Al-Fath [48]: 29). Mereka mempunyai nama-nama Tuhan yang dinyatakan dalam firman-Nya, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh (QS Al-Dzariyat [51]: 58). Kecaman orang lain tidak mengganggu mereka dalam beribadah kepada Allah Swt. Mereka
juga terkadang disebut dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Mereka terkenal sebagai orang yang selalu berpikiran positif. Di kota Fas, ada satu orang dari mereka bernama Abu 'Abdullah al-Daqqaq yang pernah berkata, "Aku tidak pernah menggunjing orang, dan tak seorang pun yang bergunjing tentangku." Muhyiddin Ibnu 'Arabi menyatakan bahwa salah seorang gurunya termasuk dalam golongan mereka. 20. Di setiap zaman, ada lima wali, tidak kurang tidak lebih, yang mempunyai kekuatan seperti delapan orang dari kelompok sebelumnya, hanya saja mereka memiliki sifat lemah lembut yang tidak dimiliki kelompok sebelumnya. Maqam mereka mengikuti jejak para rasul Sifat mereka dijelaskan dalam firman Allah Swt., Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut (QS Thaha [20]: 44), dan firman-Nya, Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka (QS Ah Tmran [3]: 159). Di beberapa negara, mereka menampakkan sikap lemah lembut meskipun mempunyai kekuatan. Akan tetapi di negara-negara nonArab, mereka menampakkan kekuatan mereka di samping bersikap lemah lembut, sama dengan kelompok sebelumnya. Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi menyatakan bahwa ia pernah bertemu dengan sebagian dari mereka dan berguru kepada mereka. 21. Lima belas wali yang memiliki kelemahlembutan dan kasih sayang ilahiyah. Mereka dapat menguasai angin seperti Nabi Sulaiman yang dikisahkan dalam firman-Nya, Angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya (QS Shad [38]: 36). Mereka mengasihi hamba-hamba Allah baik yang mukmin maupun yang kafir, dan memandang makhluk dari kesungguhan dan keberadaannya, bukan dari mata hukum dan peradilan. Allah tidak sedikit pun memberi mereka kewalian lahir berupa kekuasaan hukum maupun kerajaan karena dzauq dan maqam mereka tidak mencakup tugas mengatur makhluk, tetapi mereka dan makhluk-makhluk yang lain sama-sama dinaungi rahmat Allah yang universal sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu (QS Ah 'Imran [3]: 156). Saya pernah bertemu dengan sebagian mereka. 22. Di setiap zaman, ada empat wali, tidak kurang dan tidak lebih, yang memiliki sifat seperti yang dinyatakan dalam firman Allah Swt, Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan bumi juga
diciptakan seperti itu, perintah Allah berlaku padanya (QS Al-Thalaq [65]: 12); Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (QS Al-Mulk [67]: 3). Mereka adalah orang-orang yang disegani dan bermartabat tinggi, seakan-akan keberuntungan selalu menyertai mereka. Mereka tidak takut dizalimi, justru takut dipuji-puji. Merekalah yang membentangkan pasak-pasak yang meliputi keadaan spiritual mereka. Hati mereka ada di langit, tidak dikenal di bumi. Di antara mereka ada yang memiliki hati seperti Nabi Muhammad Saw., ada yang memiliki hati seperti Nabi Syuaib a.s., ada yang memiliki hati seperti Nabi Shalih a.s, dan ada yang memiliki hati seperti Nabi Hud a.s. Di antara mereka ada yang selalu diperha tkan oleh Izrail, ada yang diperhatikan oleh Jibril, ada yang diperhatikan oleh Mikail, dan ada yang diperhatikan oleh Israfil. Kedudukan mereka menakjubkan dan keadaan mereka aneh. Sayyid Muhyiddin berkata, "Ketika saya bertemu dengan orang-orang seperti itu di Damaskus, saya tahu bahwa mereka termasuk golongan empat orang ini. Sebelumnya saya pernah melihat dan bertemu mereka di Andalusia, tetapi saya tidak tahu bahwa mereka menduduki maaam ini Ketika itu, saya hanya menganggap mereka termasuk hamba-hamba Allah. Saya bersyukur kepada Allah yang telah membuat saya mengetahui maaam mereka dan menampakkan hal mereka kepada saya."
23. Di setiap zaman, ada dua puluh empat wali, tidak kurang dan tidak lebih, yang mendapatkan fath (pembukaan / Allah menyingkapkan pengetahuan-pengetahuan dan rahasia-rahasia kepada mereka). Jumlah mereka sesuai dengan jumlah jam. Di setiap jam, ada satu orang yang dibukakan oleh Allah padanya tentang pengetahuan dan rahasia, baik kala siang maupun malam Mereka terpencar di muka bumi ini dan tidak pernah saling bertemu. Masing-masing menempati tempatnya sendiri tanpa berpindah sedikit pun. Dua orang bertempat di Yaman, empat orang di negara-negara bagian timur, enam orang berada daerah barat, selebihnya terpencar di seluruh pelosok dunia. Sifat mereka dijelaskan dalam ayat, Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya. (QS Fathir [35]: 2)
24. Di setiap zaman, ada tujuh wali, tidak kurang dan tidak lebih, yang memiliki tingkatan-tingkatan yang tinggi. Mereka berada dalam tingkat yang paling tinggi, mereka adalah para wali dan pemilik
martabat yang tinggi. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Kamulah yang paling tinggi, dan Allah menyertaimu (QS Muhammad [47]: 35). Sebagian ahli tariqat yang berpendapat bahwa Abdal berjumlah tujuh orang menganggap golongan ini (orang-orang yang mempunyai tingkatan tinggi) sebagai Abdal, sebagaimana sebagian ahli tariqat yang berpendapat bahwa Abdal berjumlah 40 orang menganggap Rajabiyyun sebagai Abdal. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memperoleh pengetahuan dari Allah tentang berapa jumlahnya. Di setiap zaman, Allah mempunyai hamba-hamba pilihan yang menjadi perantara Allah dalam menjaga alam ini Ada berita bahwa jumlah mereka sekian, sebagaimana ada tingkatan-tingkatan wali yang tidak diketahui jumlah pastinya di setiap zaman, karena jumlah mereka bisa bertambah dan berkurang, seperti para Afrad, orang-orang yang tinggal di air, orang-orang yang amanah, para pencinta, dan para sahabat karib, ahlullah (kaum Allah), orang-orang yang berbicara dengan Allah, orang-orang yang bercakap-cakap dengan Allah, dan orang-orang sufi. Mereka semua orang-orang yang terpilih. Setiap tingkatan ini dijaga oleh orang-orang tersebut dalam setiap zamannya, tetapi jumlah mereka tidak bisa dibatasi sebagaimana yang telah kami sebutkan.
25. Dua puluh satu wali yang berada di lapisan paling bawah. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh ruh dari Allah tanpa pengetahuan tentang ruh mereka sendiri. Jumlah mereka tetap setiap zamannya, tidak kurang tidak lebih. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (QS Al-Tin [95]: 5), yakni alam fisik Jadi, tidak ada yang lebih rendah daripada alam fisik. Allah mengembalikan mereka ke alam fisik agar mereka menghidupkannya, karena pada dasarnya alam fisik itu mati kemudian ruh mereka ini yang menghidupkannya dengan dikembalikannya mereka oleh Allah ke alam fisik. Para wali tersebut hanya melihat apa yang dikehendaki oleh Allah dari ruh mereka. Mereka mampu menghadirkan Allah (ahlul hudhur) terus-menerus.
26. Tiga wali yang diberi kelapangan ilahiah dan kauniyah, dari kalangan laki-laki dan perempuan. Jumlahnya tetap di setiap zaman, tidak kurang tidak lebih. Mereka selalu mencari kebenaran dan menolong makhluk dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan kekejaman, kekerasan, dan pemaksaan.
Mereka memanfaatkan karunia Allah dan memberi manfaat kepada para makhluk. Allah memberi mereka kemampuan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menyelesaikan masalahnya karena Allah, bukan karena selain-Nya. Syaikh Muhyiddin berkata, "Saya pernah bertemu dengan salah satu dari mereka di Asybiliyyah dan ia adalah orang bermartabat paling tinggi yang pernah saya temui. Namanya Musa bin 'Imran, pemimpin zamannya. Ia termasuk tiga wah yang tidak pernah meminta kepada makhluk Allah untuk memenuhi kebutuhannya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis Nabi, 'Barangsiapa menerima satu hal dariku, maka aku akan bertemu dengannya di surga, dengan syarat ia tidak meminta apa pun kepada makhluk/ Ciri-ciri mereka adalah jika mereka menolong orang, mereka tampak lembut dan baik budi, seakan-akan mereka yang ditolong padahal justru yang menolong. Saya belum pernah bertemu orang yang lebih baik daripada mereka dalam bergaul dengan manusia."
27. Tiga wah yang berjiwa ilahiyah yang maha pengasih. Jumlah mereka tidak kurang dan tidak lebih di setiap zamannya. Mereka mirip dengan Abdal dalam sebagian sifatnya, tetapi mereka bukan Abdal. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan (QS Al-Anfal [8]: 35). Mereka memiliki keyakinan yang unik tentang firman Allah. Mereka adalah orang yang menerima wahyu Allah dan hanya bisa mendengar wahyu seperti bunyi rantai terjatuh di atas batu atau seperti dentingan lonceng, milah maaam mereka.
28. Di setiap zaman, ada satu wah, terkadang perempuan, yang mempunyai sifat Allah yang dinyatakan dalam Al-Qur'an, Dan Dialah yang berkuasa atas hamba-hamba-Nya (QS Al-An'am [6]: 18). Ia bisa menguasai segala sesuatu kecuali Allah dan mempunyai kecerdasan, keberanian, dan keperkasaan. Ia selalu berkata benar dan menghukum secara adil. Sayyid Muhyiddin berkata, "Yang memiliki maqam ini adalah guru kami 'Abdul Qadir al-Jabali di Baghdad. Ia mempunyai kekuasaan dan kemampuan menegakkan kebenaran atas para makhluk. Kedudukannya agung dan cerita tentangnya populer. Saya belum pernah bertemu dengannya, tetapi saya pernah bertemu dengan kawannya yang sezaman dengan kita yang pernah dibimbing oleh 'Abdul Qadir. Selain 'Abdul Qadir, saya tidak tahu siapa yang menerima maqam ini sampai sekarang."
29. Di setiap zaman, ada satu wali yang merupakan gabungan dari beberapa unsur. Ia menyerupai Nabi Isa a.s., yang terlahir dari malaikat dan manusia. Tidak diketahui apakah ia punya ayah seorang manusia, sebagaimana Bilqis yang menurut cerita dilahirkan dari jin dan manusia. Ia gabungan dari dua unsur yang berbeda. Ia adalah perantara Allah yang bertugas menjaga alam barzakh terus menerus. Di setiap zaman, pasti ada orang yang mempunyai maqam ini. Ia terlahir hanya dari sel telur ibunya berbeda dengan pandangan para ahli ilmu alam, tetapi Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
30. Di setiap zaman, ada satu wali, terkadang perempuan, yang mengetahui detil-detil semua alam. Ia adalah orang yang mempunyai maqam aneh. Ia membingungkan sebagian ahli tariqat yang mengenalnya sebagai seorang Quthb, padahal ia bukan Quthb.
31. Satu wali yang maqamnya dinamakan saqiith rafraf anak dari saaqith 'arsy. Sayyid Muhyidin berkata, "Saya pernah bertemu dengannya di kota Qouniyah. Tandanya ada dalam firman Allah, Demi bintang ketika terbenam (QS Al-Najm [53]: 1). Kesibukannya tidak membuat ia melupakan diri dan Tuhannya. Kedudukannya tinggi dan halnya agung. Ia bisa mempengaruhi hal orang yang melihatnya, sifatnya menakjubkan, memiliki banyak pengetahuan, dan sangat pemalu."
32. Dua wali yang disebut sebagai orang-orang yang membutuhkan Allah. Mereka ada di setiap zaman di alam anfas (alam nafas; kehidupan itu sendiri). Mereka adalah para wali yang memiliki beberapa kedudukan, sebagaimana sebelumnya. Sifat keduanya dinyatakan dalam ayat, Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan sesuatu dari semesta alam (QS Ali 'Imran [3]: 97). Allah menjaga maqam keduanya. Salah satu dari mereka mampu menyingkap alam syahadah (alam yang bisa diindra; alam kasat mata), dan semua orang yang ada di alam syahadah membutuhkan orang ini. Sedangkan yang satunya mampu menyingkap alam malakut (alam gaib; alam bentuk-bentuk halus), dan setiap orang yang membutuhkan Allah di alam malakut membutuhkan orang ini. Yang menolong dua orang tersebut adalah ruh yang tinggi yang melaksanakan kebenaran. Jadi, jika ditambah dengan ruh tersebut, maka golongan ini terdiri dari tiga, dan jika dilihat dari sisi manusia, maka ada dua, terkadang dari kalangan perempuan. Ia
kaya hati, membutuhkan Allah sedangkan Allah tidak membutuhkannya. Sayyid Muhyiddin berkata, "Kita hanya sedikit mengetahui perihal ketiga orang tersebut.'
33. Satu wali yang berulang-ulang menyebut nama Allah dalam hatinya di setiap tarikan nafas. Tidak ada wali yang lebih menakjubkan halnya daripada dia. Tidak ada ahli ma'rifah yang lebih mulia pengetahuannya daripada orang yang memiliki maqam ini. Ia takut dan bertakwa kepada Allah. Saya pernah bertemu dengannya dan berguru kepadanya. Sifatnya dinyatakan dalam firman Allah, Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS Al-Syura [42]: 11)); Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali (QS Al-Isra' [17]: 6). Urat lehernya selalu menonjol karena takut kepada Allah. Demikianlah yang pernah kami saksikan.
34. Sepuluh wali yang bijak dan memiliki kelebihan. Jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di setiap zaman. Maqam mereka adalah mampu mencapai tujuan khusus dengan doanya yang selalu terkabul. Hal mereka adalah keimanan yang selalu bertambah kepada hal gaib dan yakin akan mendapatkan hal gaib itu. Tidak ada yang gaib bagi mereka, karena segala yang gaib dapat mereka saksikan. Segala keadaan mereka adalah ibadah. Kemampuan mereka melihat hal gaib menambah keimanan mereka kepada hal gaib lainnya dan menambah keyakinan untuk bisa mengetahui hal gaib itu. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan (QS Thaha [20]: 114); Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka yang telah ada (QS Al-Fath [48]: 4); Maka surah ini menambah iman mereka, sedang mereka merasa gembira (QS Al-Taubah [9]: 124); Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah bahwa sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permintaan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku (QS Al-Baqarah [1]: 186). ^
35. Dua belas wali yang disebut Al-Budala', berbeda dengan Abdal. Jumlah mereka tidak kurang dan tidak lebih di setiap zamannya. Maqam mereka adalah mampu mencapai tujuan khusus dengan doanya yang selalu terkabul. Hal mereka adalah selalu bertambahnya keimanan dan keyakinan mereka kepada hal gaib. Mereka dinamakan Budala' karena jika sembilan orang dari mereka sudah tidak ada, maka yang satunya menggantikan kedudukan dan tugas mereka.
36. Lima wali yang disebut para perindu (rijalul isytiyaq). Mereka adalah para pemimpin ahli tariqah. Melalui merekalah, Allah menjaga eksistensi alam Sifat mereka dinyatakan dalam Al-Qur"an/ Jagalah shalat-shalatmu, dan jagalah shalat umstha' (QS Al-Baqarah [2]:238). Mereka tidak pernah meninggalkan shalat, baik siang maupun malam. Sayyid Muhyiddin berkata, "Shalih al-Barbari adalah salah seorang dari mereka. Saya pernah bertemu dan bersahabat dengannya, serta berguru kepadanya sampai ia wafat. Begitupula Abu 'Abdillah di kota Fes adalah salah seorang dari mereka, dan saya pernah berteman dengannya."
37. Enam wali di setiap zaman, tidak kurang dan tidak lebih. Salah satu dari mereka adalah anak Harun al-Rasyid yaitu Ahmad al-Sibti. Muhyiddin berkata, "Saya pernah bertemu dengan Ahmad al-Sibti ketika tawaf setelah shalat Jumat pada tahun 599 H. Ketika itu, ia sedang tawaf di Ka'bah. Saya bertanya kepadanya dan ia menjawab sambil tawaf. Ruhnya merasuk ke dalam tubuh saya yang sedang tawaf, seperti merasuknya Jibril ke dalam tubuh orang Badui. Mereka menguasai enam arah angin yang ditempati manusia. Saya juga diberitahu bahwa salah seorang dari mereka berasal dari Irzun, Romawi. Saya mengenalnya secara langsung dan bersahabat dengannya. Ia menghormati saya dan sering memperhatikan saya. Saya juga pernah berjumpa dengannya di Damaskus, Swes, Maltiyah, dan Qusiri. Ia pernah membantu saya sebentar. Ia mempunyai ibu yang selalu diperlakukan dengan baik. Saya pernah menemuinya di Haran ketika ia sedang melayani ibunya. Saya belum pernah melihat orang yang memperlakukan ibu sebaik dia. Ia juga mempunyai harta yang diperolehnya di Damsiq. Saya tidak tahu apakah ia hidup atau meninggal. Secara umum, di dunia ini tidak ada sesuatu yang jumlahnya terbatas, kecuali orang-orang dalam jumlah tertentu di setiap zaman yang dipilih oleh Allah untuk urusan tertentu pula."
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.3.2 Wali yang Jumlahnya Tak Terhitung

Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, "Kami telah menyebutkan wali-wali yang yang jumlahnya terbatas di setiap zamannya. Sekarang kami akan menyebutkan wali-wali yang jumlahnya tak terhitung di setiap zamannya, jumlah mereka bisa bertambah dan berkurang." 1. Mulamatiyyah r.a., ada yang menyebutnya Malamiyyah. Mereka
adalah raja dan pemimpin ahli tariqah. Pemimpin mereka adalah
Nabi Muhammad Saw. Mereka adalah orang-orang bijak yang menempatkan dan menghukumi segala sesuatu sesuai tempatnya, serta menyatakan dan menghilangkan sebab-sebab sesuai dengan tempatnya. Mereka tidak pernah meninggalkan apa yang telah diatur Allah atas makhluk-Nya untuk mengikuti apa yang telah mereka atur sendiri. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk mengejar akhirat, atau meninggalkan akhirat untuk mendapatkan dunia. Mereka melihat sesuatu dengan kacamata Allah dan tidak mencampur-adukkan hakikat. Kemampuan dan kekuatan para Mulamatiyyah hanya diketahui oleh pemimpin mereka yang menyaring dan menempatkan mereka pada maaam tertentu. Jumlah mereka tidak tentu, bisa bertambah dan berkurang.
2. Fuaara' r.a. Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman sebagai penghormatan terhadap segala maujud dan sebagai bukti ada-Nya, Hai sekalian manusia, kamulah yang membutuhkan (al-Fuqara') Allah (QS Fathir [35]: 15). Abu Yazid pernah berkata, "Wahai Tuhanku, dengan apa aku mendekatimu?" Allah menjawab, "Dengan sesuatu yang tidak kuinginkan dan kubutuhkan." Allah berfirman, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS Al-Dzariyat [51]: 56).
3. Shufiyah r.a. Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai akhlak mulia, sehingga dikatakan, "Barangsiapa akhlaknya bertambah baik, maka bertambah pula kesufiannya." Maqam mereka berada dalam satu hati. Mereka tidak pernah mengatakan tiga kalimat, "ini untukku", "ini punyaku," dan "ini hartaku." Artinya, mereka tidak mengatakan bahwa mereka memiliki sesuatu, Mereka tidak mempunyai apa-apa karena semuanya milik Allah. Bagi mereka, apa yang mereka miliki sama saja dengan sesuatu selain Allah Swt, disertai pengakuan bahwa makhluk tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak mencari maqam ini. Tingkatan ini adalah tingkatan ketika hal-hal luar biasa muncul dari diri mereka karena usaha yang mereka lakukan, untuk membuktikan kebenaran agama dalam keadaan darurat. Kami telah menyaksikan kelompok semacam ini. Mereka mampu melakukan hal-hal luar biasa sebagai kebiasaan dan bukan hal luar biasa bagi mereka, seperti berjalan di atas air dan udara sebagaimana kita dan makhluk melata lainnya berjalan di atas tanah.
4. 'Ubbad r.a., orang-orang yang senantiasa melakukan ibadah-ibadah wajib. Allah memuji mereka dalam firman-Nya, Hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah (QS Al-Anbiya' [21]: 73). Mereka tidak melakukan ibadah-ibadah yang tidak wajib. Sebagian mereka berkelana ke gunung, padang rumput, pantai, dan jurang, karenanya mereka disebut para pengembara. Sebagian lagi tidak pernah meninggalkan rumah, selalu shalat berjamaah, dan sibuk dengan diri sendiri. Sebagian mereka menggunakan perantara (sebab-sebab sekunder) untuk mengenal Allah dan sebagian lagi tidak menggunakannya. Mereka adalah orang-orang yang saleh baik lahir maupun batin, menjauhi sifat dengki, iri hati, serakah, rakus, dan sifat-sifat tercela lainnya. Mereka mengarahkan sifat-sifat yang mulia untuk tujuan-tujuan yang terpuji. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang ma'rifat, rahasia-rahasia, dan alam malakut, serta tidak memahami ayat Allah ketika dibacakan. Jika pahala, kiamat dan kengeriannya, neraka, dan surga diperlihatkan kepada mereka, mereka meneteskan air mata. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap (QS Al-Sajdah [32]: 16); Kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara lirih (QS Al-An'am [6]: 63); Orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan (QS Al-Furqan [25]: 63); Apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatannya (QS Al-Furqan [25]: 72); Orang-orang yang mengisi malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (QS Al-Furqan [25]: 64); Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, tetapi di tengah-tengah antara keduanya (QS Al-Furqan [25]: 67). Mereka jarang tidur dan selalu berpuasa untuk berlomba-lomba menuju kesuksesan. Mereka tidak pernah melakukan kebatilan dan kemaksiatan sedikit pun, tetapi selalu menjunjung tinggi kebenaran dengan penuh penghormatan dan pengagungan.
Abu Muslim al-Khaulani termasuk tokoh 'Ubbad ini. Ia selalu terjaga di waktu malam untuk beribadah. Jika rasa lelah menyerangnya, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat dan berkata kepada
kedua kakinya itu, "Kalian lebih berhak dipukul daripada binatang ternakku. Sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. telah memperoleh kebahagiaan karena mengikuti Nabi. Demi Allah aku akan menyaingi mereka sehingga mereka tahu bahwa jejak mereka telah diikuti oleh para penggantinya." Muhyiddin Ibnu 'Arabi berkata, "Saya pernah bertemu dengan sebagian besar dari mereka dan menuliskan kisah tentang mereka dalam kitab saya. Banyak kitab telah menulis tentang mereka dengan panjang lebar."
5. Zuhhad r.a., orang-orang yang meninggalkan keduniaan. Di kalangan mazhab kami, ada perbedaan pendapat tentang orang yang tidak memiliki dunia sedikit pun padahal ia mampu mencari dan mengumpulkannya, tetapi ia tidak melakukannya dan tidak berusaha, apakah orang ini termasuk zahid atau bukan? Sebagian berpendapat bahwa ia termasuk zahid, dan sebagian lagi tidak menganggapnya zahid karena tidak berusaha, sehingga apabila ia nanti mendapatkan sedikit dunia, maka ia tidak termasuk zahid. Salah satu pemimpin mereka adalah Ibrahim bin Adham dan kisah tentangnya sudah terkenal.
Sayyid Muhyiddin berkata, "Salah seorang paman saya yang bernama Yahya bin Yafan termasuk golongan mereka, dan ia pernah menjadi penguasa kota Tilimsan. Pada masa pemerintahannya, ada seorang penjual buah yang ahli ibadah asal Tunisia yang terkenal dengan sebutan 'Abdullah al-Tunisi seorang ahli ibadah pada zamannya. Di luar kota Tilimsan, 'Abdullah juga dikenal sebagai 'Ubbad (ahli ibadah). 'Abdullah telah memutuskan tinggal di masjid untuk beribadah kepada Allah. Makamnya terkenal sebagai tempat ziarah. Ketika orang saleh ini ('Abdullah) berjalan-jalan di kota Tilimsan, ia berjumpa dengan Yahya bin Yafan, penguasa kota tersebut, diiringi ajudan dan pelayannya. Yahya bin Yafan diberitahu bahwa orang yang dijumpainya adalah 'Abdullah al-Tunisi seorang ahli ibadah pada zamannya. Maka Yahya bin Yafan memegang cambuk kudanya dan mengucapkan salam kepada Syaikh itu. Syaikh menjawab salamnya. Pada waktu itu, Yahya memakai pakaian kebesaran, lalu ia bertanya kepada Syaikh, 'Wahai Syaikh, apakah pakaian yang saya pakai ini bisa untuk shalat?' Syaikh itu tertawa. Lalu Yahya bertanya, 'Mengapa engkau tertawa?' Syaikh itu menjawab, 'Karena kerendahan akalmu dan ketidaktahuanmu terhadap diri sendiri dan keadaanmu. Di mataku, kamu bagaikan anjing yang berguling-guling di atas darah kering kemudian memakannya dan mengotorinya. Apabila ia akan
kencing, ia mengangkat kakinya agar tidak kecipratan air kencing. Dan kamu bagaikan wadah yang penuh barang haram, kamu menanyakan tentang pakaian dan hamba-hamba yang telah engkau zalimi?' Tiba-tiba Yahya bin Yafan menangis dan turun dari kudanya, lalu meninggalkan kerajaannya dan menjadi pembantu Syaikh itu. Setelah Syaikh mengajari Yahya selama tiga hari, ia mendatanginya dengan membawa tali, lalu berkata kepadanya, 'Wahai sang penguasa, waktu bertamumu telah habis, berdiri dan carilah kayu bakar.' Lalu Yahya mencari kayu bakar dan membawanya ke pasar dengan menyungginya di atas kepala sehingga orang-orang yang melihatnya menangis. Kemudian Yahya menjual kayu bakar itu, mengambil keuntungannya, dan menyedekahkan sisanya. Yahya terus melakukan pekerjaan itu sampai wafat dan dimakamkan. Makamnya sekarang sering diziarahi. Apabila Syaikh 'Abdullah didatangi orang-orang yang meminta doa kepadanya, Syaikh 'Abdullah berkata, 'Mintalah doa kepada Yahya bin Yafan, seorang penguasa yang zuhud. Seandainya aku diuji dengan dianugerahi kerajaan seperti Yahya, sungguh aku tidak mungkin bisa menjadi orang yang zuhud.'"
6. Para wali yang tinggal di air (Rijalul Ma'). Mereka adalah golongan yang menyembah Allah di dasar laut dan sungai. Tidak ada seorang pun yang mengetahui mereka. Abu al-Badri, seorang yang jujur, dapat dipercaya, mengetahui apa yang diceritakannya, hafid, dan dhabith terhadap apa yang ia kutip, meriwayatkan bahwa Abu Su'ud bin Syibli, seorang pemimpin pada zamannya, berkata, "Ketika aku berada di tepi sungai Tigris di Baghdad, tiba-tiba terbersit dalam pikiranku apakah ada hamba Allah yang menyembah-Nya di dalam air? Belum sempat aku memikirkannya, tiba-tiba sungai Tigris terbelah dan muncullah seorang laki-laki dengan mengucapkan salam kepadaku dan berkata, 'Ada, wahai Abu Su'ud. Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembah-Nya di air. Aku adalah salah satunya. Aku berasal dari Tikrit. Aku meninggalkan Tikrit karena suatu hari nanti akan terjadi sesuatu di sana.' Laki-laki itu menceritakan kejadian yang akan muncul di Tikrit itu, lalu tiba-tiba ia menghilang. Setelah lima belas hari berlalu, terjadilah kejadian seperti yang telah diramalkan oleh laki-laki itu. Ia telah memberitahuku kejadian yang akan terjadi."
7. Orang-orang yang sendirian (Afrad). Jumlahnya tidak bisa dihitung. Mereka adalah orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ketentuan syara'. Salah seorang dari
mereka adalah Muhammad al-Awani yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qaid Adanah, salah seorang pegawai di Baghdad dan sahabat 'Abdul Qadir al-Jili. 'Abdul Qadir al-Jili berkata tentang Ibnu Qaid, "Ia adalah orang yang mulia dan 'Abdul Qadir al-Hakim menganggapnya termasuk golongan Afrad, yaitu orang-orang yang keluar ke daerah kutub dan tinggal di sana. Mereka adalah orang-orang yang setara dengan malaikat yang terus-menerus mengagungkan Allah dan selalu berusaha menghadirkan-Nya dalam hati. Mereka tidak mengenal apa-apa selain Allah dan tidak bereaksi kecuali apa yang mereka ketahui tentang-Nya. Mereka juga tidak mempunyai pengetahuan tentang hakikat mereka sendiri. Maqam mereka berada di antara orang-orang yang jujur dan para nabi pembawa syariat. Maqam tersebut tidak diketahui oleh kebanyakan ahli tariqat padahal termasuk maqam yang tinggi."
8. Umana', orang-orang yang terpercaya. Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang terpercaya." Nabi juga pernah berkata tentang Abu 'Ubaidah bin Jarah, "Dia adalah orang yang terpercaya dari umat ini, semoga Allah meridhainya." Mereka berasal dari kalangan Mulamatiyyah dan tidak ada yang berasal dari kelompok lainnya. Umana' adalah para mulamatiyyah yang mulia dan khusus. Mereka tidak bisa dikenali karena tidak menampak-kan hal-hal yang luar biasa. Mereka hanya menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Apabila kiamat tiba, maka tampaklah maaam mereka di tengah-tengah makhluk lainnya. Di dunia, mereka tidak dikenal. Nabi Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah memiliki umana' (orang-orang yang terpercaya)," dan kami tidak menyebutkan siapa orang-orang yang terpercaya itu. Ketika Nabi Musa mengikuti perjalanan Nabi Khidir, Allah menyuruh Nabi Khidir untuk tidak memberitahu Musa terlebih dahulu tentang makna hal-hal aneh yang dilakukannya meskipun Musa bertanya terus, dan Nabi Khidir menurutinya karena ia termasuk umana', sampai tiba saatnya Khidir memberitahukan maknanya kepada Musa. Jumlah umana' bertambah dalam setiap tabaqat, karenanya mereka tidak mengenal satu sama lain. Mereka tampak seperti mukmin yang awam. Hanya mereka yang seperti ini, tidak wali lainnya.
9. Qurra' r.a (para pembaca). Mereka adalah Ahlullah (kaum Allah) dan hamba-Nya yang khusus. Jumlah mereka tidak terhitung. Nabi Saw. pernah bersabda, "Ahli Al-Qur'an adalah Ahlullah dan hamba-
Nya yang khusus." Ahli Al-Qur'an adalah orang-orang yang menjaga Al-Qur'an dengan menghafal dan mengamalkannya. Abu Yazid al-Busthami termasuk salah satu dari mereka. Barangsiapa berakhlak dengan akhlak Al-Qur'an, berarti ia termasuk ahli Al-Qur'an. Barang-siapa yang ahli Al-Qur*an, maka ia juga termasuk Ahlullah, karena Al-Qur'an adalah kalam Allah. Sahl bin 'Abdullah al-Tustari memperoleh maqam ini padahal ia baru berumur enam tahun.
10. Ahbab r.a. (orang-orang yang dicintai dan mencintai Allah). Jumlahnya tidak terhitung, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman, Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya (QS Al-Maidah [5]: 54). Karena mereka mencintai Allah, maka Dia mengujinya, dan karena mereka mencintai Allah, maka Dia menyaring dan memilih mereka. Kelompok ini terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok yang sejak semula sudah dicintai oleh Allah. Kedua, kelompok yang menaati Rasulullah Saw. sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, kemudian ketaatan mereka menyebabkan mereka dicintai Allah. Allah berfirman, Barangsiapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah (QS Al-Nisa' [4]: 80). Dan dalam firman-Nya yang lain, Allah berkata kepada Nabi Muhammad Saw., Katakanlah: "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu" (QS Ah 'Imran [3]: 31). Allah mencintai mereka karena ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan mencintainya sejak awal tanpa usaha yang mereka lakukan (kelompok kedua), meskipun kedua kelompok tersebut sama-sama dicintai oleh Allah. Maaam mereka diketahui oleh sesamanya, karena tampak jelas siapa yang mulia dan yang dimuliakan. Tanda mereka adalah hati yang bersih tanpa noda sedikit pun. Mereka teguh beribadah kepada Allah dan selaras dengan alam karena alam juga bergerak sesuai dengan aturan syara', yang baik dan yang jelek. Mereka berhubungan dengan Allah sesuai dengan adab. Mereka membantu dan membenci karena Allah. Allah berkata kepada orang yang dianggap mempunyai maqam ini, "Hai, hamba-Ku, apa yang telah kau lakukan untuk-Ku?" Hamba itu menjawab, "Wahai Tuhanku, aku shalat dan menyembah-Mu dengan sungguh-sungguh serta melakukan ini dan itu." Ia menyebutkan perbuatan-perbuatan baik. Lalu Allah berkata, "Perbuatan itu untukmu." Mereka bertanya kepada Allah, "Wahai Tuhanku, apa maksud
ucapan-Mu?" Allah menjawab, "Apakah kamu menolong wali-Ku karena Aku dan memerangi musuh-Ku karena aku." Inilah perhatian Allah kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka berita-berita Muhammad, karena rasa kasih sayang (QS Al-Mumtahanah [60]: 1); Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan (QS Al-Mujadalah [58]: 22). Mereka adalah orang-orang yang teguh pendirian. Hadis Rasulullah yang sahih juga menyatakan, "Aku harus mencintai orang-orang yang saling mencintai karena aku, saling bergaul karena aku, orang-orang yang saling mencurahkan perhatian karena aku, dan orang-orang yang saling berkunjung karena aku."
11. Muhaddats (para wali yang diajak bicara oleh Allah atau malaikat). 'Umar r.a. termasuk salah seorang dari mereka. Sayyid Muhyiddin berkata, "Yang termasuk golongan mereka pada zaman kita adalah Abu 'Abbas al-Khasysyab dan Abu Zakaria al-Bihai di Ma'arrah tetangga 'Umar bin Abdul 'Aziz di Dir Baqarah." Golongan ini terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang diajak bicara oleh Allah melalui hijab, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Dan tidak ada seorang manusia pun yang Allah berkata-kata dengannya kecuali melalui wahyu atau dari belakang hijab (QS Al-Syura' [42]: 51). Golongan ini tabaqahnya banyak. Kedua, golongan yang diajak bicara oleh para malaikat melalui hati dan kadang telinga mereka. Mereka ditetapkan semuanya sebagai orang yang dapat diajak bicara oleh para malaikat karena mereka telah melakukan riyadhah dan mujahadah. Jika jiwa bersih dari noda, maka ia akan mencapai alam yang cocok dengan alam malaikat sehingga bisa mengetahui ilmu malakut dan rahasia-rahasia yang diketahui oleh ruh-ruh yang mulia. Kemudian terukirlah dalam jiwa itu semua makna yang ada dalam alam, sehingga ia dapat mengetahui hal-hal gaib. Meskipun para malaikat hanya mempunyai satu tugas, tetapi setiap malaikat mempunyai maqam
tersendiri Mereka mempunyai beberapa tingkatan. Jibril adalah malaikat yang paling tinggi tingkatannya, tetapi tingkatan dan kedudukan Mikail lebih tinggi daripada Jibril. Israfil lebih tinggi daripada Mikail. Jibril lebih tinggi daripada Izrail. Wali yang mempunyai hati seperti Israfil, mampu memberi pertolongan kepadanya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada orang yang memiliki hati seperti Mikail.
Setiap Muhaddas diajak bicara oleh ruh yang sesuai dengannya. Banyak Muhaddas yang tidak mengetahui siapa yang berbicara dengannya. Hal itu menunjukan adanya kebersihan dan keikhlasan jiwa dan terangkatnya unsur-unsur dan rukun-rukun yang ada di dalamnya. Dia adalah jiwa yang melampaui unsur-unsur jasmaniyahnya. Sebagian kelompok merasa cukup dengan menjadi kelompok Muhaddats kedua. Akan tetapi, itu bukan syarat kebahagian iman di akhirat sebab syaratnya adalah penyucian hati. Jika Muhaddats memperoleh semua sifat ini dengan melakukan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syariat, mengikuti Nabi, dan beriman secara pasti, maka ia pantas mendapatkan berita yang membahagiakan. Apabila ketaatannya kepada Nabi disandarkan pada pembicaraan Allah kepada mereka, maka mereka termasuk dalam Muhaddats yang pertama, yang telah kami sebutkan mempunyai beberapa tingkatan. 12. Akhilla' r.a. (para kekasih). Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman, Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya (QS Al-Nisa' [4]: 125). Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Kalau aku ingin menjadikan seseorang sebagai kekasih (khalil), niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku, akan tetapi temanmu itu adalah kekasih Allah."
23. Sumara'. Jumlah mereka tak terbatas. Mereka adalah Muhaddats yang khusus, karena mereka hanya berbicara dengan Allah, tidak dengan para malaikat.
14. Waratsah (para ahli waris). Mereka ada tiga macam, yaitu yang menganiaya (bersikap keras pada) diri sendiri demi melakukan kebaikan, yang bersikap tengah-tengah (sedang-sedang saja) dalam melakukan kebaikan, dan yang lebih dahulu berbuat kebaikan. Allah berfirman, Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada hamba-hamba pilihan Kami. Di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri (zhalimun linafsihi), ada yang bersikap tengah-tengah ( muqtashid ), dan ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan
(sabiqun bil khairat) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar (QS Fathir [35]: 32). Nabi juga bersabda, "Ulama adalah pewaris para nabi."
Adapun maksud firman Allah tentang para pewaris pilihan yang menganiaya diri sendiri adalah Abu Darda' dan lain-lain yang bersikap keras (menganiaya) pada diri mereka sendiri demi melakukan kebaikan, sehingga mereka berbahagia di akhirat kelak. Hal itu dinyatakan dalam sabda Nabi Saw., "Sesungguhnya dirimu mempunyai hak dan matamu mempunyai hak." Apabila seseorang puasa terus-menerus dan selalu terjaga di waktu malam untuk beribadah, maka ia telah menganiaya diri sendiri, karena dirinya dan matanya mempunyai hak untuk tidur dan makan. Kezaliman pada diri sendiri untuk tujuan ibadah. Oleh karena itu, firman Allah (zalim linafsihi) artinya adalah keinginan dan usaha keras, karena jiwa selalu cenderung untuk mendapatkan keringanan dan istirahat. Maka Nabi menganjurkan dua hal tersebut karena mereka adalah orang-orang lemah. Dan dalam firman-Nya (zhalimun linafsihi), Allah tidak bermaksud menunjukkan orang yang berbuat kezaliman yang dilarang syara', karena orang yang melanggar syara'tidak disebut sebagai hamba pilihan.
Adapun golongan kedua yang termasuk pewaris kitab adalah muqtashid, yaitu orang yang memberikan hak berupa kenikmatan dunia kepada dirinya agar kenikmatan itu bisa digunakan untuk mengabdi kepada Allah dengan memanfaatkan istirahat dan berbuat kebaikan. Artinya, mereka mempunyai keinginan kuat (azimah) untuk berbuat baik dan memanfaatkan kemudahan (rukhsah) yang diberikan kepadanya. Di samping giat mengisi malam dengan ibadah, seorang muqtashid juga tidur untuk istirahat. Demikian juga dengan amal-amal lainnya.
Sabiqun bil khairat adalah orang yang bersegera melakukan pekerjaan sebelum masuk waktunya, sehingga ia selalu siap. Ketika waktunya sudah masuk, ia segera melakukan kewajibannya tanpa ada yang menghalangi, seperti berwudhu sebelum masuk waktu shalat dan duduk di masjid sebelum waktu shalat. Ketika waktu shalat tiba, ia sudah dalam keadaan suci sehingga bisa segera melakukan kewajiban shalatnya. Demikian juga bagi orang yang mempunyai harta, ia akan segera mengeluarkan zakat dan menunaikannya ketika masuk satu tahun, kemudian membayar zakat kepada amil sebagai kewajibannya kepada Tuhan di awal tahun kedua. Demikianlah, ia segera melakukan semua perbuatan baik, sebagaimana Sabda Nabi kepada Bilal, "Dengan
apa engkau menyusulku ke surga?" Bilal menjawab, "Setiap berhadas, aku selalu berwudhu, dan setiap selesai wudhu, aku selalu melakukan shalat dua rakaat." Rasulullah kemudian bersabda, "Engkau menyusulku ke surga dengan keduanya (wudhu dan shalat dua rakaat)." Itulah beberapa contoh sabiqun bil khairat. Dan begitulah keadaan Rasulullah Saw. di tengah kaum musyrik ketika masih muda. Waktu itu, beliau belum dibebani taklif (syariat), kemudian ia menjauhkan diri dari masyarakat menuju Tuhannya dengan melakukan tahanuts (menyepi untuk beribadah). Beliau juga segera melakukan kebaikan dan berakhlak mulia sampai Allah memberinya risalah kenabian.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

2.3.3 Wali Yang Bisa Dihitung dan Tak Bisa Dihitung

1. Anbiya' (para nabi). Allah menganugerahkan kenabian kepada mereka, yaitu orang-orang yang dipilih Allah untuk diri-Nya dan untuk mengabdi kepada-Nya, hamba-hamba yang dikhususkan oleh-Nya di hadapan Allah, disyariatkan untuk beribadah dan tidak diperintah untuk melakukan ibadah selain yang diwajibkan. Maqam kenabian merupakan maqam kewalian yang khusus, mereka memperoleh ketetapan tentang perkara-perkara yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah yang khusus untuk mereka bukan untuk yang lainnya. Dunia membutuhkan hal itu, karena dunia merupakan tempat mati dan hidup. Allah berfirman, Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian (QS Al-Mulk [67]: 2). Taklif (syariat) adalah ujian. Kewalian adalah kenabian yang bersifat umum, sedangkan kenabian yang diangkat oleh Allah dengan membawa syariat adalah kenabian yang bersifat khusus.
2. Rasul (para rasul yang diberi risalah oleh Allah). Yaitu, para nabi yang diutus untuk sekelompok umat manusia atau kepada seluruh umat manusia. Hanya Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia untuk menyampaikan perintah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhan kepadamu (QS Al-Maidah [5]: 67); Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan risalah (QS Al-Maidah [5]: 99). Maqam penyampaian itu dinyatakan sebagai risalah bukan yang lain. Sayyid Muhyiddin tidak membicarakan seputar maaam kenabian dan kerasulan ini, karena
ia merasa bukan nabi atau rasul. Ia menegaskan, "Haram bagiku membicarakannya, karena kami hanya membicarakan apa yang pernah kami alami. Kami bisa berbicara tentang selain kedua maqam ini, karena kami pernah mengalaminya dan Allah tidak melarangnya."
3. Shiddiqun (orang-orang yang meyakini Allah dan Rasul-Nya). Allah telah menganugerahi mereka keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang shiddiqin (QS Al-Hadid [57]: 19). Shiddiq (bentuk tunggal dari shiddiqun) adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya karena perkataan yang disampaikan Rasul, bukan karena dalil cahaya keimanan yang ada dalam hati yang mencegahnya untuk meragukan perkataan Rasul. Tidak ada maaam dan kedudukan di antara kenabian yang membawa syariat dan shiddiqah. Barangsiapa yang menapaki jejak Shiddiqun, berarti ia menapaki kenabian. Barangsiapa mengaku mendapatkan kenabian dengan membawa syariat setelah Nabi Muhammad Saw., maka ia telah berdusta dan kafir terhadap apa yang dibawa oleh orang jujur yaitu Rasulullah Saw. Meskipun begitu, maqam qurbah ada di atas maqam shiddiqah dan di bawah maqam kenabian yang membawa syariat. Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, "Maqam yang telah kami tetapkan berada di antara maqam kenabian yang membawa syariat dan maaam shiddiaah, adalah maqam aurbah yang khusus untuk Afrad. Kedudukan (Afrad) di mata Allah lebih rendah dibanding maaam kenabian yang membawa syariat dan berada di atas maaam shiddiaah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rahasia yang diukirkan pada hati Abu Bakar yang karenanya para Shiddiq dimuliakan. Tidak ada seorang pun di antara Abu Bakar dan Nabi Muhammad Saw., karena Abu Bakar adalah teman yang meyakini kebenarannya dan tepercaya."
4. Syuhada' (orang-orang yang syahid). Allah menganugerahkan 'kesaksian' kepada mereka, yakni orang-orang yang dekat dengan Allah, yang selalu menghadap Allah dengan pengetahuan yang luas tentang-Nya. Allah berfirman, Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan hal itu (QS Ah 'Imran [3]: 18). Allah mengumpulkan mereka dengan para malaikat dalam menegakkan kesaksian. Mereka adalah yang
bertauhid kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga dan Azali. Mereka adalah orang-orang yang bertauhid. Kedudukan mereka menakjubkan dan keadaan mereka aneh. Mereka adalah saksi-saksi yang dimaksud dalam ayat tersebut, orang-orang yang mengetahui Allah dan beriman setelah mengetahui firman Allah. Nur seorang Shiddiq lebih sempurna daripada nur seorang Syahid, karena tauhid seorang Syahid disebabkan oleh ilmu bukan keimanan, sedangkan tauhid seorang Shiddiq disebabkan oleh iman. Jadi, maqam Syahid berada di atas maqam Shiddiq dari segi ilmu, sebaliknya maaam Shiddiq berada di atas maqam Syahid dari segi iman dan keyakinan. 5. Shalihun (orang-orang yang saleh). Allah menganugerahkan kesalehan kepada mereka dan menempatkan kedudukan mereka setelah Syuhada, pada tingkat keempat. Setiap nabi adalah orang yang saleh dan ia mengaku sebagai orang yang saleh sekaligus nabi Tingkatan ini merupakan tingkatan khusus dalam kenabian, tetapi terkadang kesalehan juga dipunyai oleh bukan nabi, Shadiq, atau Syahid, hanya saja kesalehan para nabi dimulai sebelum mereka. Orang-orang saleh adalah orang-orang yang tidak mempunyai cacat dalam perbuatan dan keimanan mereka kepada apa yang berasal dari Allah. Apabila ada cacat, maka batallah kedudukannya sebagai orang saleh. Kesalehan seperti inilah yang disukai para nabi. Jadi, setiap orang yang tidak ada cacat dalam keyakinan, kesaksian, dan kenabiannya, maka ia termasuk orang yang saleh. 6. Muslimun wa Muslimat (orang-orang muslim). Allah menganugerahi mereka islam, yaitu ketundukan secara khusus kepada apa yang berasal dari Allah, bukan yang lain. Jadi, seorang hamba yang berserah diri kepada segala kewajiban, syarat, dan kaidah Allah disebut muslim. Apabila ada sedikit syarat yang tidak terpenuhi, maka ia bukan Muslim. Rasulullah Saw. bersabda, "Seorang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti muslim lainnya." Makna "tangan" di sini adalah kekuasaan, artinya kekuasaan yang dimiliki seorang muslim tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Islam atau menentang hukum Allah terhadap muslim lainnya. Kata "lidah" disebutkan karena terkadang lidah lebih menyakitkan daripada tindakan. Nabi Saw. tidak menganggap seseorang sebagai muslim, kecuali jika ia menjaga diri dari menyakiti muslim lainnya.
7. Mukminun wa Mukminat (orang-orang mukmin). Allah menganugerahi mereka iman, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinan. Menurut etimologi bahasa dan syariat, esensi iman adalah keyakinan. Sedangkan makna iman dalam perkataan dan perbuatan didasarkan pada syariat, bukan secara bahasa. Jadi, orang mukmin adalah orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan apa yang diyakininya tentang perkataan dan perbuatan itu. Oleh karena itu, Allah berfirman mengenai orang-orang mukmin, Sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami" (QS Al-Tahrim [66]: 8). Maksud "cahaya" di sini adalah amal saleh mereka di dunia di hadapan Allah. Mereka adalah orang-orang yang dijanjikan Allah akan mendapat ampunan dan pahala yang besar.
Rasulullah Saw. juga bersabda, "Orang mukmin adalah orang yang dipercaya manusia untuk menjaga harta dan jiwa mereka." Dalam hadis lain, Rasulullah Saw. bersabda, "Orang mukmin adalah orang yang tetangganya aman dari kejelekannya." Dalam kedua hadis tersebut, Rasulullah tidak menyebutkan "manusia" dan "tetangga" yang mukmin atau muslim, tetapi menyebutkannya secara umum tanpa batasan. Sedangkan dalam hadis tentang orang muslim sebelumnya, Rasulullah menyebutkan bahwa orang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti "muslim lainnya", bukan manusia secara umum Kita tahu bahwa iman mempunyai sifat khusus yaitu pembenaran secara taklid tanpa ada dahi sehingga bisa dibedakan antara iman dan ilmu.
Perlu diketahui, bahwa pengertian mukmin secara terminologis adalah orang yang menempuh jalan Allah berdasarkan syariat Seorang mukmin memiliki dua tanda dalam dirinya. Kalau ia mempunyainya, maka ia termasuk golongan mukmin. Tanda pertama, meyakini hal-hal gaib tanpa keraguan seperti menyaksikannya secara langsung. Tanda kedua, iman yang ada dalam diri seorang mukmin mempengaruhi semua orang, sehingga mereka mempercayakan harta, jiwa dan keluarga mereka secara penuh kepadanya tanpa kekhawatiran sedikit pun. Semua itu merupakan bukti bahwa ia termasuk orang-orang mukmin. Kalau dua tanda tersebut tidak ada dalam diri seseorang, maka ia tidak termasuk golongan orang mukmin sebagaimana yang telah kami sebutkan.
8. Qanitun wa Qanitat (orang-orang yang taat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kepatuhan, yakni menaati semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Allah berfirman. Peliharalah segala shalatmu, dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu' (QS Al-Baqarah [2]: 238). Artinya, jadilah orang-orang yang taat. Dalam ayat lain, Allah berfirman, Laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya. (QS Al-Ahzab [33]: 35) Sayyid Muhyiddin bercerita, "Suatu hari, saya bertemu seorang pengemis dan di sisi saya ada seorang hamba yang saleh bernama Al-Hajj Madur Yusuf al-Astaji, seorang dari golongan umiyyin yang mempergunakan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Pengemis itu berkata, 'Siapa yang ingin bersedekah untuk mendapatkan ridha Allah/ Ada seorang laki-laki membuka tempat uang berisi dirham yang dimilikinya, memilih beberapa dirham pecahan kecil, lalu memberikannya kepada si pengemis. Al-Hajj Madur memperhatikan lelaki itu, lalu berkata kepada saya, 'Wahai Fulan, tahukah kau mengapa lelaki itu memilih-milih dirham yang akan diberikannya kepada si pengemis?' Saya menjawab, 'Tidak.' Al-Hajj lalu berkata, 'Ia adalah orang yang saleh di sisi Allah, sebab ia bersedekah kepada si pengemis karena mengharap ridha Allah, maka nilai dari apa yang disedekahkannya karena Allah itu tergantung kepada Allah."
Akan tetapi menurut kami, salah satu syarat orang yang amit (patuh) kepada Allah adalah ia menaati Allah karena ia hamba Allah, bukan karena mengharapkan ganjaran dan pahala yang dijanjikan Allah bagi orang yang taat kepada-Nya. Adapun ganjaran yang diterima seorang aanil tergantung pada apa yang mendorongnya untuk taat kepada Allah, bukan pada keadaan yang mengharuskannya untuk taat.
9. Shadiqun wa Shadiqat (orang-orang yang benar dan jujur). Allah menganugerahi mereka kejujuran dalam ucapan dan keadaan mereka. Allah berfirman. Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (QS Al-Ahzab [33]: 23)
10. Shabirun wa Shabirat (orang-orang yang sabar). Allah menganugerahi mereka kesabaran. Mereka adalah orang-orang yang memenjarakan diri kepada Allah untuk selalu menaati-Nya tanpa batas waktu, sehingga Allah juga melimpahkan pahala tanpa batas waktu atas perbuatan mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas (QS Al-Zumar [39]: 10).
Kesabaran mereka tak terbatas waktu dan menyeluruh di setiap tempat yang menuntut mereka sabar. Sebagaimana mereka mengikat diri untuk selalu mengerjakan perintah Allah, mereka juga mengikat diri untuk selalu meninggalkan larangan-Nya. Ketika datang cobaan dan bahaya, mereka juga manahan diri untuk tidak meminta pertolongan, syafaat, dan bantuan kepada selain Allah. Kesabaran mereka tidak ternoda oleh rasa sakit yang menyebabkan mereka mengadu kepada Allah agar melenyapkan cobaan itu. Tidakkah kalian lihat Nabi Ayyub a.s. ketika memohon kepada Allah untuk menghilangkan derita yang dialaminya. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara yang penyayang (QS Al-Anbiya' [21]: 83). Nabi Ayyub mengadukan penyakitnya kepada Allah dengan berkata, Engkau Maha Penyayang di antara yang penyayang. Dalam doa ini, Ayyub mengungkapkan sebab-sebab penderitaannya dan mengadukannya kepada Tuhan agar menghilangkan derita yang menimpanya. Tuhan mengabulkan doanya dan menghilangkan penderitaan itu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka Kami pun mengabulkan permohonannya (QS Al-Anbiya' [21]: 84). Allah juga menguji kesabaran Ayyub dalam firman-Nya, Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya (QS Shad [38]: 44). Artinya, Ayyub kembali kepada Allah dalam menghadapi cobaan-Nya. Allah juga memuji ibadah Ayyub. Bila doa yang dipanjatkan Ayyub kepada Allah agar kemalangan dan cobaan itu hilang bertentangan dengan kesabaran yang disyariatkan, maka Allah tidak akan memuji Ayyub sebagai orang yang sabar, padahal Dia sungguh-sungguh memuji Ayyub.
Bahkan menurut kami, termasuk akhlak yang buruk terhadap Allah, jika seorang hamba tidak memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaannya, karena sikap seperti itu mengandung kesenangan melawan kekuasaan ilahiah dengan kesabaran dan kekuatan yang diperolehnya. Seorang 'arif (yang mengetahui dan mengenal Allah) berkata, "Allah telah membuatku lapar, sehingga aku menangis." Seorang yang 'arif, meskipun ia memperoleh kekuatan dan kesabaran, ia tetap merasa lemah, beribadah, dan berbuat baik, karena semua kekuatan adalah milik Allah, maka ia memohon kepada Allah untuk melenyapkan penderitaannya atau menjaganya agar tidak berburuk sangka terhadap penderitaan yang menimpanya. Sikap seperti ini ini tidak berlawanan dengan rasa ridha terhadap qaadha (ketentuan
Allah sebelum jaman azali), karena cobaan berupa penderitaan mengarah pada qadha. Ia rela dengan ketentuan Allah dan memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaan yang sudah digariskan oleh-Nya itu, sehingga ia menjadi orang yang ridha dan sabar. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang sabar yang dipuji oleh Allah.
Ada seorang sayyid menangis karena lapar. Lalu ia ditanya, "Kamu siapa? Apakah kamu menangis karena lapar?" Ia menjawab, "Allah telah membuatku lapar sehingga aku menangis." Ini adalah ucapan orang yang mengetahui Allah, berjalan lurus menuju Allah, serta mengenal diri dan Tuhannya.
11. Khasyi'un wa Khasyi'at (orang-orang yang selalu khusyuk). Mereka dikaruniai kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Kekua-saan Allah tampak dalam hati mereka di dunia.
12. Mutashaddiqun wa Mutashaddiqat (orang-orang yang suka bersedekah). Allah menganugerahi mereka kedermawanan, karena mereka selalu mendermakan karunia Allah kepada makhluk Allah yang membutuhkannya. Allah menjadikan makhluk miskin agar mereka membutuhkan-Nya.
13. Shaimun wa Shaimat (orang-orang yang selalu berpuasa). Allah menganugerahi mereka kemampuan menahan diri dari segala sesuatu yang menyebabkan mereka mulia di sisi Allah. Allah memerintahkan mereka untuk menahan diri dan anggota badan mereka. Perintah Allah ada yang wajib dan ada yang sunnah.
14 Hafizhun wa Hafizhat (orang-orang yang selalu menjaga aturan-aturan Allah). Mereka dianugerahi penjagaan ilahiyah, sehingga mereka senantiasa menjaga hal-hal yang harus mereka jaga. Mereka terdiri dari dua tingkatan, yang khusus (elit spiritual) yaitu yang selalu menjaga kemaluan mereka, dan yang awam yaitu yang selalu memelihara aturan-aturan Allah.
15. Dzakirun wa Dzakirat (orang-orang yang banyak berzikir). Allah menganugerahi mereka ilham zikir agar senantiasa ingat kepada Allah sehingga Allah pun selalu mengingat mereka. Allah berfirman. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu (QS Al-Baqarah [2]: 152). Dalam hadis qudsi Allah berfirman, "Barangsiapa mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku juga mengingatnya dalam diri-Ku. Barangsiapa mengingat-Ku dalam seluruh zikirnya, niscaya aku juga mengingatnya lebih dari itu." Dalam hadis qudsi lain Allah berfirman, "Barangsiapa
mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta." Firman-Nya yang lain menyatakan. Katakanlah hai Muhammad: "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihmu (QS Ali Tiruan [3]: 31). Zikir adalah maqam yang tertinggi, karena itu orang yang selalu berzikir memiliki derajat di atas maqam lainnya.
16. Taibun wa Taibat (orang-orang yang selalu bertobat). Allah menganugerahi mereka kemampuan bertobat dalam segala hal atau dalam satu hal yang berlaku dalam segala maqam. Mereka selalu bertaubat kepada Allah dari potensi mukhalafah (kemungkinan untuk menentang Allah) yang ada dalam diri manusia. Dalam sehari, bisa seribu kali mereka bertobat kepada Allah dari potensi mukhalafah ini. Orang-orang yang bertobat adalah kekasih Allah berdasarkan nash Al-Qur'an yang pasti benar. Tidak ada kebatilan dalam Al-Qur'an baik di depan maupun di belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS Fushshilat[41]:42)
17. Mutathahhirun wa Mutathahhirat (orang-orang yang selalu menyucikan diri). Allah menganugerahi mereka kesucian, karena mereka selalu menyucikan diri. Penyucian diri mereka bersifat hakiki, tidak sekedar tindakan praktis bersua, yaitu sifat yang di firmankan Allah, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri (QS Al-Baqarah [2]: 222). Orang-orang yang menyucikan diri, penempuh jalan ini, adalah hamba-hamba Allah yang menjadi wali Mereka menyucikan diri dari segala sifat yang menghalanginya untuk masuk menuju Tuhannya. Oleh karena itu, disyariatkan bersuci sebelum menunaikan shalat, karena shalat adalah jalan masuk untuk bermunajat kepada Tuhan.
18. Hamidun wa Hamidat (orang-orang yang selalu memuji Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu memuji-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh hasil dari perbuatannya. Allah berfirman. Dan kepada Allah-lah kembalinya segala urusan (QS Al-Hajj [22]: 41). Orang yang selalu memuji Allah adalah orang yang berpandangan bahwa pujian bersifat universal, bisa dilakukan oleh seluruh makhluk, baik ia ahlullah maupun bukan, baik yang dipujinya itu Allah maupun sesama makhluk, karena pada hakikatnya seluruh pujian akan kembali kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Segala puji hanya milik Allah, bagaimana
pun adanya. Al-Hamidun wa al-Hamidat yang dipuji oleh Allah dalam Al-QurNan adalah orang-orang yang selalu memperhatikan tujuan segala perbuatan sejak awal, maka sejak awal mereka telah menentukan bahwa segala pujian yang mereka lakukan kembali kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang memuji penyak-sian mereka akan Allah dalam segenap pengungkapan diri-Nya (syuhud) melalui lisan kebenaran. 19. Samun (orang-orang yang mengadakan pengembaraan spiritual), yakni orang-orang yang berjihad dijalan Allah (Mujahidun). Rasulullah Saw. bersabda, "Perjalanan umatku adalah berjihad di jalan Allah, dan Allah berfirman, Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang mengembara, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu (QS Al-Taubah [9]: 112). Pengembaraan di bumi ini dilakukan untuk mengambil pelajaran dari bekas-bekas peninggalan masa lalu dan umat-umat terdahulu yang telah musnah. Oleh karena itu, orang-orang yang memperoleh ma'rifatullah mengetahui bahwa bumi tumbuh dan berkembang karena selalu berzikir kepada Allah. Saihun adalah adalah orang-orang yang suka berbuat baik dan mengutamakan hak orang lain. Mereka melihat bumi ini tidak pernah sepi dari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Kerusakan peradaban tidak akan terjadi di bumi, jika selalu ada orang yang berzikir. Sebagian orang 'arif mewajibkan diri untuk mengembara ke padang-padang pasir yang belum dijamah kecuali oleh orang-orang seperti mereka, pantai-pantai, lembah-lembah yang dalam, pegunungan, dan padang rumput, sebagai bakti mereka kepada orang-orang yang ada di sana. Mereka juga mewajibkan diri berjihad di daerah kafir yang tidak menyembah Allah. Oleh karena itu, Nabi menetapkan jihad sebagai perjalanan umat Islam. Jika di suatu daerah, tidak ada orang yang kafir dan tidak ada orang yang berzikir, itu lebih sedikit kesedihan dan kesulitannya dibanding daerah yang menyembah selain Allah dan kafir kepada-Nya yang disebut daerah musyrik dan kafir. Perjalanan untuk berjihad di suatu daerah lebih utama daripada perjalanan untuk selain jihad, dengan syarat harus memperingatkan masyarakat daerah tersebut untuk mengingat kepada Allah. Karena mengingat Allah dalam berjihad lebih utama daripada bertemu musuh dan menyerangnya, dalam artian menegakkan kalimat Allah di tempat-tempat orang
yang menyembah selain Allah, mereka itulah para Saihun. Sayyid Muhyiddin menjelaskan, "Saya pernah bertemu dengan salah seorang tokoh mereka, Yusuf Maghawari Al-Jala. Ia telah mengembara di daerah-daerah kafir selama 20 tahun. Ahmad bin Humam al-Syiqaq di Andalusia adalah seorang pemuda yang menetap di daerah musuh dan termasuk pemuka golongan ini, meskipun ia masih muda karena sejak usianya belum mencapai baligh, ia telah memutuskan untuk beribadah kepada Allah dan tetap istiqamah dalam keadaan seperti itu sampai wafat."
20. Raki'un wa Raki'at (orang-orang yang selalu rukuk). Dalam kitab-Nya yang mulia (QS Al-Taubah [9]: 112), Allah menyifati mereka sebagai orang-orang yang selalu rukuk, yakni selalu tunduk dan merendahkan diri kepada Allah.
21. Sajidun (orang-orang yang selalu sujud). Allah menganugerahi mereka ketundukan hati. Mereka tidak sombong, baik di dunia maupun di akhirat, suatu hal untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan sifat orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Sujud dilakukan untuk bersatu dan menyaksikan Allah Swt. secara langsung.
Oleh karena itu, Allah berfirman, Dan sujudlah dan mendekatlah (kepada Tuhan) (QS Al-'Alaq [96]: 19). Maksudnya, mendekat kepada Allah dengan penuh penghormatan, ketundukan, dan penyerahan diri. Sebagaimana seorang raja berkata kepada seseorang yang menghadapnya lalu mendekatinya sambil berlutut di hadapannya, "Mendekatlah, mendekatlah," sampai posisinya sangat dekat dengan raja. Jadi firman Allah di atas mengandung makna "mendekatlah dalam keadaan sujud". Untuk memberitahukan bahwa bahwa Allah telah menyaksikan orang yang sujud kepada-Nya di hadapan-Nya, Dia berkata, Mendekatlah, agar ia semakin mendekat kepada-Nya. Sebagaimana difirmankan Allah dalam hadis qudsi, "Barangsiapa mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta." Jadi, mendekatnya seorang hamba kepada Tuhan yang dilakukan karena perintah-Nya merupakan ketaatan dan penghormatannya yang paling besar dan sempurna kepada Tuhan, karena berarti ia melaksanakan perintah tuannya berdasarkan penyingkapan spiritual.
Inilah sujudnya orang-orang 'arif yang telah disediakan bagi mereka dan orang-orang seperti mereka rumah Allah (ka'bah), sebagaimana yang dinyatakan dalam perintah Allah kepada Nabi Muhammad, Dan sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang
tawaf, orang-orang yang beribadah, serta orang-orang yang rukuk dan sujud (OS Al-Hajj [22]: 26). Dalam ayat lain, Allah berkata kepada Nabi Saw, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersujud. (QS Al-Hijr [15]: 98) 22. Amirun bi al-Ma'ruf (orang-orang yang selalu menyuruh kepada yang ma'ruf (yang dikenal/diketahui/diakui; kebajikan). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mengajak kepada yang ma'ruf atau mengajak kepada Allah. Tidak ada perbedaan antara mengajak kepada yang ma'ruf dan mengajak kepada Allah, karena Allah adalah ma'ruf dan tak seorang pun mengingkari hal ini. Allah berfirman, Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi," niscaya mereka akan menjawab: "Allah." (QS Al-Zumar [39]: 38), meskipun mereka itu musyrik. Dan orang-orang musyrik itu berkata, "Kami tidak menyembah berhala-berhala), melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya (QS Al-Zumar [39]: 3). Semua kepercayaan, agama, dan aliran pemikiran sepakat bahwa Allah adalah ma'ruf. Rasulullah Saw. bersabda, "Siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya," karena Tuhan itu ma'ruf. Barangsiapa mengajak kepada Allah, berarti ia mengajak kepada yang ma'ruf. Mereka berada dalam tingkatan yang paling tinggi dalam menyuruh berbuat baik. Segala seruan kepada yang ma'ruf termasuk dalam ketegori ini
23. Nahun 'an al-munkar (orang-orang yang selalu mencegah dari yang mu tikar). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mencegah dari yang munkar. Al-Munkar adalah berhala-berhala (sesuatu yang dianggap sebagai sekutu Allah) yang dijadikan sesembahan oleh orang-orang musyrik karena ketidaktahuan mereka dan mereka mengingkari tauhid ilahiyah. Karenanya orang yang berdusta atau mendustakan disebut juga munkir (orang yang ingkar). Jadi, syirik itu tidak berdasar sama sekali.
24. Hulama' (orang-orang yang murah hati/penyantun). Allah menganugerahi mereka kemurahan hati, yaitu sikap tidak tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan, padahal ia mampu melakukannya dan tidak ada yang menghalanginya. Tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan menunjukkan rasa jemu dan tidak sabar.
25. Awwahun (orang-orang yang mudah iba). Sayyid Muhyiddin r.a. menjelaskan, "Saya bertemu dengan seorang perempuan dari kalangan mereka, seorang pengumpul buah zaitun dari Andalusia bernama Yasmin Masannah. Allah menganugerahi golongan ini perasaan mudah iba terhadap apa yang mereka temui. Allah memuji kekasih-Nya, Ibrahim a.s., dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim benar-benar seorang yang penyantun, pengiba, dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75). Sifat santun dan iba itu membuat mrahim iba terhadap kaumnya yang menyembah patung-patung yang mereka pahat sendiri, maka ia bermurah hati dan tidak segera menghukum mereka, meskipun ia mampu menghancurkan mereka dengan berdoa kepada Allah. Oleh karena itu, Ibrahim disebut sebagai orang yang halim (penyantun sehingga tidak tergesa-gesa menghukum mereka), Ibrahim berharap mereka nantinya akan beriman dan memahami kaumnya. Berbeda dengan Nabi Nuh a.s. yang tidak memahami kaumnya dan tidak bermurah hati kepada mereka, sebagaimana tersirat dalam ucapannya, Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan hanya akan melahirkan anak-anak yang berbuat maksiat dan kafir. (QS Nuh [71]: 27)
26. Tentara-tentara Allah yang mampu mengalahkan musuh, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang (QS Al-Shaffat [37]: 173). Tentara-tentara yang bertakwa, selalu waspada, pemalu, takut kepada Allah, sabar, dan membutuhkan Allah. Di antara mereka ada yang ahli ibnu dan iman serta mampu menampakkan hal-hal luar biasa (karamah) sebagai bukti maaam mereka. Mereka melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka dengan hal-hal luar biasa, contohnya, orang-orang muslim yang menjadi tentara-tentara Allah. Sedangkan orang-orang mukmin yang tidak mempunyai hal-hal luar luar biasa untuk melawan musuh, mereka bukan tentara Allah meskipun mereka mukmin. Dalam arti hias, setiap orang yang mampu melawan musuh dengan senjata yang dimilikinya, berarti ia termasuk tentara Allah Swt. yang memiliki kemampuan mengalahkan dan menguasai musuh. Mereka mampu mengalahkan musuh karena kekuatan yang diberikan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS Al-Shaff [61]: 14).
27. Mukhbitun (orang-orang yang terpilih). Allah berfirman, Sesungguhnya mereka di sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang baik (QS Shad [38]: 47). Allah menjadikan mereka sebagai pilihan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Mereka adalah orang-orang terpilih (QS Al-Taubah [9]: 89), yaitu orang-orang yang paling utama di antara yang lain. Orang-orang pilihan adalah orang yang ilmunya tentang Allah melebihi orang lain, yang dicapai melalui jalan khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang seperti mereka.
28. Awwabun (orang-orang yang selalu bertobat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu bertobat kepada-Nya di segala keadaan. Allah berfirman, Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra [17]: 25). Awwabun adalah orang yang kembali kepada Allah dari segala arah tempat Iblis mendatangi manusia dari depan, belakang, kanan, dan kiri Mereka mengembalikan semua itu kepada Allah sejak awal sampai akhir.
29. Mukhbitun (orang-orang yang runduk dan patuh). Allah menganugerahi mereka ketundukan dan kepatuhan yakni ketenangan. Nabi Ibrahim a.s. berkata, Akan tetapi, agar hatiku tenang (QS Al-Baqarah [2]: 260), maksudnya agar ia lega, tunduk, dan tenang di bumi ini Al-Mukhbitun adalah hamba-hamba Allah yang merasa tenang karena Allah, hati mereka merasa tenteram, mempercayai Allah, merendahkan diri di hadapan Yang Maha Meninggikan Derajat dan tunduk kepada kemuliaan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang diberi kabar gembira oleh Allah melalui Nabi-Nya, Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah. Yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang, dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada mereka (QS Al-Hajj [22]: 34-35). Inilah sifat-sifat al-Mukhbitun.
30. Munibun (orang-orang yang selalu kembali kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu kembali kepada Allah Swt., seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75). Orang-orang yang selalu kembali kepada Allah adalah orang-orang yang mengembali
kan segala sesuatu kepada Allah. Allah memerintahkan mereka untuk selalu kembali kepada-Nya disertai persaksian bahwa mereka benar-benar telah kembali kepada-Nya.
31. Mubshirun. Allah menganugerahi mereka kemampuan melihat kesalahan-kesalahan mereka dengan mata hati. Ini adalah salah satu sifat khusus orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS Al-A'raf [7]: 201)
32. Muhajirun wa Muhajirat (orang-orang yang berhijrah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk berhijrah yang diilhamkan dan difahamkan kepada mereka. Allah berfirman, Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah (QS Al-Nisa' [4]: 100). Al-Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan untuk ditinggalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
33. Musyfiaun (orang-orang yang selalu berhati-hati). Allah menganugerahi mereka kehati-hatian karena selalu takut kepada Tuhan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (QS Al-Mukminun [23]: 57). Orang sering berkata, "Aku takut kepadanya, maka aku berhati-hati terhadapnya." Allah berfirman, Orang-orang yang takut terhadap azab Tuhan-Nya. Karena sesungguhnya manusia tidak dapat merasa aman dari datangnya azab Tuhan (QS Al-Ma'arij [70]: 26-27). Maksudnya, mereka berhati-hati terhadap siksa Tuhan, tidak merasa aman dari datangnya siksa itu. Para wah yang selalu berhati-hati adalah wah yang takut dirinya akan berubah, jika Allah menenangkan hati mereka dengan adanya kabar gembira bagi mereka, maka mereka mengalihkan kehati-hatian tersebut menjadi rasa kasih sayang terhadap makhluk Allah, seperti kasih-sayang para rasul kepada umatnya.
34. Orang-orang yang dianugerahi Allah kemampuan untuk selalu menepati janji (Wafi), sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menepati jmji apabila ia berjanji (QS Al-Baqarah [2]: 177); Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan
tidak merusak perjanjian (QS Al-Ra'd {13]: 20). Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ingkar janji. Menepati janji adalah salah satu sifat khusus ahlullah (kaum Allah) dan barangsiapa melaksanakan segala yang diperintahkan Allah kepadanya dengan sempurna atau bahkan lebih, maka ia termasuk orang yang menepati dan menyempurnakan janji. Allah berfirman, Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (QS Al-Najm [53]: 37); Dan barangsiapa selalu menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar (QS Al-Fath [48]: 10. Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat rahasia-rahasia ilahiyah yang tersembunyi Barangsiapa menunaikan semua yang dibebankan Allah kepada-nya dan mampu melihat pengetahuan-pengetahuan yang disembunyikan Allah dari manusia kebanyakan, dialah Wafi.
35. Washilun (orang-orang yang selalu menyambung tali silaturrahmi). Allah menolong mereka untuk selalu menyambung tali silaturrahmi, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah supaya dihubungkan (QS Al-Ra'd [13]: 21). Mereka menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang mukmin yang dikucilkan karena pernah melakukan kejahatan, minimal dengan mengucapkan salam kepada mereka, atau lebih dari itu yakni dengan berbuat baik kepada mereka, dan tidak menghukum kejahatan mereka yang telah dimaafkan dan dilupakan. Mereka tidak memutus tali silaturrahmi dengan seorang pun makhluk Allah, kecuali jika Allah memerintahkan mereka untuk menjauhi seseorang, maka mereka membenci sifat atau perbuatan orang itu, bukan orangnya.
36. Khaifun (orang-orang yang takut kepada Allah). Allah menganugerahi mereka rasa takut kepada-Nya, atau takut karena mengikuti perintah-Nya. Allah berfirman, Takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS Ali 'Imran [3]: 175). Allah memuji sifat mereka dalam firman-Nya, Mereka takut kepada suatu hari ketika hati dan penglihatan menjadi goncang (QS Al-Nur [24]: 37); Mereka takut kepada hisab yang buruk (QS Al-Ra'd [13]: 21). Apabila mereka takut, mereka meniru sifat para malaikat, seperti yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya, Para malaikat itu takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. (QS Al-Nahl [16]: 50)
37. Orang-orang yang menghindari sesuatu karena perintah Allah. Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk menghindari segala hal yang tidak berguna, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna (QS Al-Mukminun [23]: 3); Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami (QS Al-Najm [53]: 29).
38 Kurama' (orang-orang yang mulia). Allah menganugerahi mereka kemuliaan jiwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya (QS Al-Furqan [25]: 72). Artinya, mereka tidak memperhatikannya, tidak ternodai dan terpengaruh sedikit pun oleh perbuatan orang-orang itu, dan melewatinya begitu saja tanpa menoleh dengan tetap menjaga kemuliaan dirinya.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Bagian 2A Mukjizat Nabi Muhammad saw

Bagian ini masih dalam penyusunan

Bagian 2B Kisah Karamah Para Sahabat Rasulullah

Kisah Karamah Para Sahabat Rasulullah

'Abdullah bin 'Umar r.a.

Dalam kitab Al-Thabaqat, Al-Subki menceritakan bahwa Abdullah bin 'Umar pernah berbicara dengan seekor singa yang mengaum dan menghadang orang-orang di tengah jalan. Singa itu mengibaskan ekornya, lalu pergi. (Dikemukakan dalam kitab Hujjatullah 'ala al-Alamin)
Riwayat senada juga dikemukakan dalam kitab Thabaqah karya Al-Munawi. Diceritakan bahwa ketika Abdullah bin 'Umar sedang menempuh suatu perjalanan, ada seekor singa menghalangi orang-orang di tengah jalan. Ia menghentikan untanya, lalu turun menghampiri singa itu, menggosok telinganya, dan menyingkirkannya dari tengah jalan. Abdullah bin `Umar mengatakan bahwa ia pemah mendengar Rasuulah Saw bersabda, "Jika manusia hanya takut kepada Allah, maka tidak ada hal lain yang bisa menguasainya."
Hal senada juga dinyatakan dalam kitab Al-Risalatal-Qusyairiyyah, "Sesungguhnya yang menguasai manusia adalah sesuatu yang menakutkannya. Jika manusia hanya takut kepada Allah, maka tak ada apa pun yang bisa menguasainya."
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

'Ala' bin Hadhrami r.a.

Table of contents 

Kisah 1

Abu Hurairah r.a. bercerita, 'Aku melakukan perjalanan bersama `Ala' bin Hadhrami dalam suatu rombongan, lalu aku melihatnya berperilaku aneh yang tidak masuk akal. Kami berhenti di tepi pantai, lalu 'Ala' berkata, `Sebutlah nama Allah dan terjunlah ke laut!' Kami menyebut nama Allah lalu menceburkan diri ke laut. Kami menyeberangi laut itu, tetapi airnya hanya setinggi kaki unta kami. Dalam perjalanan pulang, kami sampai di padang sahara padahal kami sama sekali tidak memiliki air, maka kami mengadu kepada `Ala'. la melakukan shalat dua rakaat, lalu berdoa. Tiba-tiba langit gelap, kemudian hujan turun menyirami kami, sehingga kami bisa meminum airnya. Kemudian `Ala' meninggal dunia, kami menguburkannya di hamparan tanah berpasir. Beln jauh kami melanjutkan perjalanan, kami khawatir ada binatang buas yang akan memangsa jenazahnya. Maka kami kembali, namun pusaranya sudah tidak ada." (Riwayat Abu Na'im)
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menceritakan bahwa dalam suatu perjalanan, Ala' menyeberangi laut dengan mengendarai kudanya. Ketika pulang, mereka sampai di sebuah padang sahara padahal mereka tidak memiliki air. `Ala lalu berdoa kepada Allah, tiba-tiba memancar sumber air dari bawah tanah berpasir. Mereka minum dan merasa segar kembali, lalu melanjutkan perjalanan. Salah seorang dari mereka ketinggalan barang bawaannya, maka ia kembali lagi, tetapi tidak menemukan sumber air itu. Kemudian `Ala' meninggal dunia, padahal mereka tidak memiliki air. Tiba-tiba muncul mendung, lalu hujan turun. Mereka memandikan dan memakamkannya. Ketika mereka kembali ke tempat Ala dimakamkan, pusaranya sudah tidak ada. (Riwayat Ibnu Sa'ad)

Kisah 2

Alias r.a. bertutur, "Aku menemukan tiga keajaiban yang dimiliki umat Islam ini. Seandainya Bani Isra'il yang memiliki keajaiban itu, niscaya umat-umat lain tidak akan mengadakan perjanjian dengan mereka." Salah satu keajaiban yang diceritakan Anas: 'Umar bin Khattab mempersiapkan pasukan perang termasuk Anas dan mengangkat `Ala' bin Hadhrami sebagai pemimpinnya. Selanjutnya mereka mendatangi medan peperangan, dan melihat musuh telah mempersiapkan strateginya dengan menutup saluran-saluran air. Hari teramat panas, mereka dan binatang-binatang mereka merasa kehausan. Menjelang matahari terbenam, mereka shalat dua rakaat. Kemudian 'Ala' bin Hadhrami mengangkat tangannya, padahal di langit tidak ada apa-apa. Sebelum ia menurunkan tangannya, Allah mengirimkan angin dan memunculkan mendung. Lalu turunlah hujan, sehingga tempat berbatu yang sulit dilewati juga celah di antara dua bukit penuh dengan air. Mereka minum dan membawa bekal minuman.
Kemudian mereka mendatangi musuh, tetapi musuh telah melintasi teluk menuju daratan di seberang laut. 'Ala' berhenti di atas teluk itu, lalu berdoa, "Wahai Zat Yang Maha Tinggi, Maha Agung, dan Maha Mulia." Lalu berkata, "Seberangilah dengan menyebut asma Allah." Mereka menyeberangi laut itu, airnya hanya setinggi kuku kaki binatang. Ala' kemudian meninggal dunia, dan dimakamkan. Selesai dimakamkan, ada seorang laki-laki datang dan bertanya, "Siapa dia?" Mereka menjawab, "Manusia yang paling baik, putra Hadhrami." Laki-laki itu berkata, "Daerah ini tidak bisa digunakan untuk mengubur jenazah, karena sering ada binatang buas yang menggali tanah untuk mencari makan. Sebaiknya kalian memindahkan jenazahnya ke daerah yang aman, satu atau dua mil dari sini." Mereka khawatir ada binatang buas yang memangsa jenazah Ala, maka mereka sepakat untuk menggali makamnya, tetapi jenazahnya sudah tidak ada di sana lagi, dan mendadak liang lahatnya terlihat memanjang dan mengeluarkan cahaya berkilauan. Mereka mengurug makamnya kembali, lalu melanjutkan perjalanan." (Riwayat Al-Baihaqi)

Kisah 3

Dalam kitab Al Aghani li Abi al-Faraj al-Ashbahani, kisah Ala' bin Hadhrami diceritakan secara panjang lebar berdasarkan riwayat Muhammad bin Jarir. Munjab bin Rasyid (sahabat Rasulullah Saw) menuturkan kisah tersebut sebagai berikut, Abu Bakar mengutus Ala' bin Hadhrami dan pasukannya unruk mcmerangi orang-orang murtad di Bahrain. Orang-orang muslim yang tidak murtad menyusul pasukan Ala' sewaktu mereka, berjalan di padang terbuka. Ketika sampai di tengah-tengah padang itu, Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya kepada mereka. Ala' turun dari kendaraannya dan menyuruh pasukannya untuk turun.
Di tengah malam, unta-unta mereka lari ketakutan sampai tak tersisa satu pun, dengan membawa semua perbekalan dan tenda yang belum sempat mereka turunkan dari punggung unta-unta itu. Mereka tidak mengerti sekelompok hewan apa yang menyerang unta-unta itu, tetapi tidak menyerang diri mereka. Mereka saling memperingatkan untuk tetap waspada, lalu pemberi aba-aba menyuruh mereka berkumpul. Ala' kemudian berkata, "Apa yang telah menyerang dan mengalahkan kalian?" Orang-orang mengadu kepadanya, "Kita terjebak di tengah-tengah padang pasir tanpa air. Jika kita di sini sampai besok meskipun matahari tidak menyengat, maka kita hanya pulang tinggal nama." Ala' berkata, "Jangan takut! Bukankah kalian orang-orang muslim? Bukankah kalian berjuang di jalan Allah! Bukankah kalian penolong-penolong agama Allah?" Mereka menjawab, "Ya." Ala' berkata lagi, "Bergembiralah! Demi Allah, Allah Yang Maha Suci dan Maha Luhur tidak akan menelantarkan kalian dalam kondisi seperti ini."
Seorang muazin kemudian mengumandangkan azan shalat subuh ketika fajar terbit. Ala' shalat bersama pasukannya. Sebagian dari mereka bersuci dengan tayammum, dan sebagian lagi masih dalam keadaan suci. Selesai shalat, Ala' berlutut diikuti oleh pasukannya.Aa berdoa dengan sungguh-sungguh begitu juga pasukannya. Kemudian mereka melihat fatamorgana. Belum selesai Ala berdoa, mereka melihat fatamorgana lagi. Komandan perang berseru, 'Air." Ala' berdiri dikuti oleh pasukannya. Mereka mendekati air itu, lalu minum dan mandi. Matahari belum begitu tinggi, ketika unta-unta datang dari berbagai arah mendekati mereka. Setiap orang menunggang satu unta, sehingga tak satu pun yang berjalan. Setelah minum, mereka merasa puas dan segar kembali, lalu melanjutkan perjalanan.
Pada waktu itu, Munjab bin Rasyid berjalan bersisian dengan Abu Hurairah. Setelah jauh dari tempat itu, Abu Hurairah bertanya kepada Munjab, "Menurutmu, di mana sumber air yang tadi kita pakai?" Munjab menjawab, "Aku orang yang paling mengetahui daerah ini." Abu Hurairah berkata, "Kalau begitu, mari kita kembali sampai kau bisa menunjukkan kepadaku sumber air tersebut." Munjab dan Abu Hurairah kembali ke tempat itu, tetapi keduanya tidak menemukan kolam dan jejak air itu. Munjab berkata kepada Abu Hurairah, "Demi Allah, meski aku tidak melihat kolam air, aku yakin ini tempat kita tadi, dan aku tidak pernah melihat air di tempat ini sebelumnya." Kemudian Abu Hurairah melihat sekeliling, tiba-tiba ada kantong kulit penuh dengan air. Abu Hurairah berkata, "Hai Sahm, demi Allah, inilah tempat itu. Mari kita isi kembali kantong kulit kita, lalu letakkan di tepi lembah." Munjab menimpah, "Ini adalah anugerah dan tanda kekuasaan Allah." Munjab meyakini hal itu, lalu memuji Allah.
Kemudian Ala dan pasukannya melanjutkan perjalanan, hingga tiba di tempat bernama Hijr. Pasukan muslimin berperang dengan orangorang kafir dan berhasil mengalahkan mereka di sana. Orang-orang kafir melarikan diri ke daratan di seberang laut. Mereka menyeberangi laut dengan menggunakan kapal. Allah mengumpulkan mereka di daratan tersebut. Ala' memerintahkan pasukannya mengejar mereka, dan berkhutbah, 'Allah Yang Maha Agung dan Perkasa telah membuat kalian nenghadapi pasukan setan dan perang yang berat pada hari ini. Dia telah memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kalian di daratan, agar kalian bisa mengambil pelajaran darinya untuk bisa menyeberangi laut ini. Bangkitlah untuk melawan musuh kalian, perlihatkan kepada mereka bahwa kalian bisa menyeberangi laut meski tanpa kapal, karena Allah juga telah mengumpulkan mereka di daratan tersebut." Pasukannya menjawab, "Kami akan melakukannya, kami tidak akan takut. Demi Allah, kami telah berhasil menaklukkan padang sahara tadi maka kami yakin Allah akan menolong kami untuk menaklukkan lautan itu."
Ala' dan pasukannya melanjutkan perjalanan, sampai tiba di tepi laut. Mereka melintasi laut itu dengan naik kuda, beserta binatang angkutan, sekawanan unta, bagal, dan ada pula yang berjalan kaki. Ala membaca doa, "Wahai Zat Yang Maha Pengasih di antara Yang Pengasih, Yang Maha Mulia, Yang Maha Bijaksana, tempat berlindung, Yang Maha Hidup, Yang menghidupkan yang mati, Yang Maha hidup lagi Maha menegakkan, dada tuhan selain Engkau, wahai Tuhan kami."
Mereka melintasi laut itu dengan izin Allah seperti berjalan di atas pasir, dan airnya hanya setinggi tapak kaki kuda. Laut itu biasanya ditempuh selama sehari semalam dengan naik kapal. Pasukan muslimin sampai ke daratan. Mereka tidak membiarkan satu orang musyrik pun lolos, menawan anak-anak, dan mengambil harta rampasan perang. Saat itu, pasukan berkuda kaum muslimin berjumlah 6000 orang dan yang berjalan kaki 2000 orang. Selesai perang, mereka pulang dengan menyeberangi laut seperti sebelumnya.
'Atiq menyenandungkan syair tentang peristiwa ini:
Tidakkah engkau lihat Allah telah menundukkan laut-Nya
Dan menyerang orang-orang kafir dengan kekuasaan-Nya
Orang yang membelah lautan kembali datang kepada kami
Dengan keajaiban yang lebih mengagumkan daripada membelah lautan

Ala' dan pasukannya pulang dari daratan itu kecuali orang-orang yang ingin tinggal di sana. Di Hijr, ada seorang rahib yang masuk Islam. Rahib itu ditanya, "Apa yang mendorongmu untuk masuk Islam?" Ia menjawab, 'Ada tiga keajaiban pasukan muslimin yang telah aku saksikan, yakni munculnya banyak air di padang yang gersang, terbukanya jalan di lautan, dan doa mereka yang kudengar di udara seperti sihir. Setelah menyaksikannya, aku takut Allah akan memperburuk keadaanku bila aku tidak masuk Islam." Orang-orang bertanya, "Doa apa itu?" Ia menjawab, "Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Pcngasih dan Penyayang, tiddatuhan selain Engkau, Yang Menciptakan scgala sesuatu yang sebelumnya tidak ada, Yang Maha Kekal dan tidak pernah lengah, Yang Maha Hidup dan tidak akan mati, Yang menciptakan sesuatu yang terlihat dan tak terlihat. Setiap hari ada karena kehendak-Mu. Ya Allah yang mengetahui segala sesuatu tanpa belajar. Aku yakin kekalahan kaum kafir adalah kehendak dan perintah Allah." Sahabat-sahabat Rasulullah Saw mendengarkan doa yang diungkapkan seorang rahib dari Hijr itu.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

'Amir bin Fuhairah r.a.

Table of contents 

Kisah 1

'Urwah mengisahkan bahwa ketika orang-orang yang pergi ke Bi'r Ma'unah terbunuh dan Amr bin Umayyah al-Dhamri ditawan, Amir bin Thufail bertanya kepada Amr bin Umayyah, "Siapa orang ini?" sambil menunjuk kepada salah scorang yang terbunuh. Amr bin Umayyah menjawab, "Ini Amir bin Fuhairah." Amir bin Thufail berkata, "Setelah ia terbunuh, aku melihatnya diangkat ke atas, sehingga berada di antara langit dan bumi. Kemudian diletakkan kembali ke bumi."
Berita tentang mereka sampai kepada Nabi Saw, lalu beliau mengabarkan kematian mereka kepada para sahabat. Beliau berkata, "Sahabat-sahabat kalian telah gugur dan mereka telah berdoa kepada Allah, 'Ya Tuhan kami, beritahukanlah kepada saudara-saudara kami bahwa kami ridha kepada-Mu dan Engkau ridha kepada kami." Maka Rasulullah Saw. mengabarkan hal terscbut kepada para sahabat. (Riwayat Bukhari dari jalur Hisyam bin `Urwah)

Kisah 2

Riwayat lain dari Ibnu Mas'ud r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw mengirim pasukan. Tak lama kemudian Rasulullah berdiri, memuji Allah, dan berkata, "Saudara-saudara kalian telah berhadapan dengan orang-orang musyrik dan mereka gugur, hingga tidak tersisa scorang pun. Mcreka telah berdoa, `Ya Tuhan, sampaikan kepada kaum kanu bahwa kami ridha kepada-Mu dan Engkau ridha kepada kami.' Aku adalah utusan mereka untuk menyampaikan hal ini kepada kalian. Mereka telah ridha dan Allah meridhai mereka." (Riwayat Al-Baihaqi)

Kisah 3

Mundzir bin Amr menceritakan tentang kisah orang-orang utusan Nabi yang biasa mengajarkan Al-Qur'an dan Sunnah kepada kaumnya. Dalam kisah itu, ia menyebutkan bahwa Amir bin Thufail bertanya kepada Amr bin Umayyah, "Apakah engkau kenal rekan-rekanmu?"'Amr bin Umayyah menjawab, "Ya." Lalu Amir bin Thufail mengelilingi jenazah para syahid yang gugur dan menanyakan nasab mereka kepada Amr bin Umayyah, lalu bertanya, "Apakah kamu kehilangan salah scorang dari mereka?" Amr bin Umayyah menjawab,'Aku mencari budak Abu Bakar yang bernama Amir bin Fuhairah." Amir bin Thufail bertanya lagi, "Bagaimana perilakunya?" Amr bin Umayyah menjawab, "Ia orang yang paling baik di antara kami."
Amir bin Thufail berkata, "Aku akan memberitahukan keadaan Amir bin Fuhairah. Ia tertusuk tombak di medan perang, lalu tombak itu lepas sendiri. Kemudian jenazahnya diangkat ke langit, hingga, demi Allah, aku tidak bisa melihatnya lagi. Yang membunuhnya adalah seorang laki-laki dari suku Kilab bernama Jabbar bin Salma. Ketika Jabbar berhasil menusuknya, ia mendengar Amir bin Fuhairah berkata, `Demi Allah, aku menang.'
Lalu Mundzir, menemui Dhahhak bin Sufyan al-Kilabi dan menceritakan kisah Amir bin Fuhairah. Mundzir masuk Islam setelah mengetahui kisah Amir bin Fuhairah yang jeenazahnya diangkat ke langit dan tiada satu orang pun yang seperti itu. Dhahhak menulis hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa para malaikat menguburkan jenazah Amir bin Fahirah dan menempatkan nya di surga yang tertinggi. (Riwayat Al Waqidi dari Mash'ab bin Tsabit dari Abdul Aswad dari `Urwah)
Menurut riwayat Al-Baihaqi, jenazah Amir bin Fuhairah mungkin diangkat ke langit, diletakkan lagi ke bumi, lalu hilang, senada dengan riwayat Bukhari dari jalur `Urwah yang menyatakan bahwa jenazah Amir bin Fuhairah diangkat ke langit, kemudian diletakkan kembali ke bumi, dan sampai saat ini belum ditemukan. Orang-orang mengatakan bahwa malaikat telah menguburkannya.
Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari `Urwah yang terhubung dengan `Aisyah dengan redaksi, "Setelah peperangan, aku melihat jenazah Amir bin Fuhairah terangkat ke atas, berada di antara langit dan bumi, sampai aku tidak bisa melihatnya lagi." Riwayat tersebut tidak menceritakan bahwa jenazahnya diturunkan kembali ke bumi, dan banyak riwayat yang menyatakan bahwa Amir bin Fuhairah dimakamkan di langit.
Ibnu Sa'ad juga meriwayatkan dari Waqidi dari Muhammad bun 'Abdullah dari Al-Zuhri, dari `Urwah, dari Aisyah r.a. bahwa Amir bin Fuhairah naik ke atas langit, dan tidak dikctemukan jenazahnya. Orang-orang menceritakan bahwa malaikat telah menguburnya di langit.

'Amr bin `Ash

Dalam kitab Tuhfat al-Ahbab fi Mazarat Misra, Al-Sakhawy menceritakan bahwa ada seorang laki-laki menziarahi makam Amr bin Ash. Di pemakaman, si peziarah melihat seorang laki-laki sedahg duduk, lalu ia bertanya tentang makam Amr bin Ash kepada laki-laki itu. Laki-laki yang duduk itu memberi isyarat dengan kakinya dan tidak beranjak dari tempatnya. Amr bin Ash wafat di Mesir pada malam 'Idul Fitri tahun 43 H.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

'Ibad bin Basyar dan Asid bin Hadhir r.a.

Anas r.a. menceritakan bahwa `Ibad bin Basyar dan Asid bin Hadhir menemui Rasulullah Saw untuk satu keperluan, hingga mereka harus pulang larut malam, padahal malam begitu gelap. Keduanya berjalan dengan memegang tongkat. Salah satu tongkat itu mengeluarkan cahaya yang menerangi jalan mereka. Sewaktu keduanya berpisah jalan, tongkat satunya juga menyala, sehingga masing-masing berjalan diterangi cahaya tongkatnya sampai di rumah. (Riwayat Ibnu Sa'ad dan Al-Hakim yang dianggap sahih oleh Al-Baihayi dan Abu Na'im)
Dalam riwayat lain, Anas r.a menceritakan bahwa ada dua sahabat Nabi Saw keluar pada waktu malam yang gelap gulita. Di tangan mereka ada cahaya terang yang mirip lampu. Sewaktu mereka berpisah jalan, masing-masing berjalan diterangi cahaya itu sampai tiba di rumah.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

'Imran bin Hashin r.a.

Karamah `Imran bin Hashin yang paling termashur adalah kemampuannya mendengar para malaikat bertasbih kepada Allah, dan ia mengobati sakitnya dengan menempelkan besi panas tetapi ia bisa menahannya, lalu Allah mengembalikan kesehatannya seperti semula. (Riwayat Al Subki)
Ibnu Atsir meriwayatkan dalam kitab Usud al-Ghabah bahwa Rasulullah Saw melarang membuat tato (cap atau tanda pada tubuh) dengan cara menempelkan besi panas. 'Imran berkata, "Kami pernah menempelkan besi panas di tubuh tetapi kami tidak berhasil dan tidak selamat."
Ibnu Atsir menjelaskan bahwa ketika 'Imran sakit, malaikat mendoakan kesehatannya. 'Imran kemudian mengobati sakitnya dengan menempelkan besi panas, maka malaikat berhenti mendoakannya, lalu mendoakannya lagi. 'Imran juga pernah menderita penyakit busung air selama bertahun-tahun, tetapi ia tetap sabar. 'Imran membelah perutnya dan mengambil lemaknya. Ia membuat lubang pada perutnya dan bertahan dalam keadaan seperti itu selama 30 tahun. Seseorang menjenguknya dan berkata, "Ya Abu Najid, demi Allah, Allah pasti melarangku menjengukmu kalau kedaaimu begini." 'Imran menjawab, "Hai putra saudaraku, jangan duduk. Demi Allah, sesuatu yang aku sukai juga sangat disukai Allah."
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

'Ubaidah bin Harits bin 'Abdul Muthalib, anak paman Nabi Saw.

`Ubaidah adalah orang yang paling lanjut usianya dari golongan kaum muslimin yang ikut perang Badar. Dalam perang itu, kakinya terpotong. Lalu Rasulullah Saw meletakkan kepala `Ubaidah di pangkuannya. 'Ubaidah kemudian berkata, "Ya Rasulullah, seandainya Abu Thalib melihatku, tentu ia akan tahu bahwa aku sesuai dengan syair yang dilantunkannya:
Kami akan menyelamatkari Muhammad meski harus memerangi sekitarnya
Melupakan anak dan istri kami"

`Ubaidah kembali bersama Rasulullah Saw daril perang Badar, lalu ia wafat di Shafra'. Ada yang menceritakan bahwa ketika Nabi Saw bersama sahabat-sahabatnya sampai di sana setelah `Ubaidah wafat, para sahabat berkata kepada beliau, "Kami mencium harum minyak wangi." Beliau berkata, "Kalian pasti menciumnya karena ini adalah pusara Abu Mu'awiyah." (Riwayat Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah)
Ketika terbunuh, `Ubaidah berusia 63 tahun, tetapi wajahnya terlihat sangat tampan. (Riwayat Ibnu Mandah, Abu Na'im, dan 'Umar bin Abdil Barr)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

'Umar bin Khattab r.a.

Kisah 1

Ibnu Abi Dunya meriwayatkan bahwa ketika `Umar bin Khattab r.a. melewati pemakaman Baqi', ia mengucapkan salam, "Semoga keselamatan dilimpahkan padamu, hai para penghuni kubur. Kukabarkan bahwa istri kalian sudah menikah lagi, rumah kalian sudah ditempati, kekayaan kalian sudah dibagi." Kemudian ada suara tanpa rupa menyahut, "Hai `Umar bin Khattab, kukabarkan juga bahwa kami telah mendapatkan balasan atas kewajiban yang telah kami lakukan, keuntungan atas harta yang yang telah kami dermakan, dan penyesalan atas kebaikan yang kami tinggalkan." (Dikemukakan dalam bab tentang kubur)
Yahya bin Ayyub al-Khaza'i menceritakan bahwa `Umar bin Khattab mendatangi makam seorang pemuda lalu memanggilnya, "Hai Fulan! Dan orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya, akan mendapat dua surga (QS Al-Ralunan [55]: 46). Dari liang kubur pemuda itu, terdengar jawaban, "Hai 'Umar, Tuhanku telah memberikan dua surga itu kepadaku dua kali di dalam surga." (Riwayat Ibnu 'Asakir)

Kisah 2

Al Taj al-Subki mengemukakan bahwa salah satu karamah Khalifah 'Umar al-Faruq r.a. dikemukakan dalam sabda Nabi yang berbunyi, "Di antara umat-umat scbclum kalian, ada orang-orang yang menjadi legenda. Jika orang seperti itu ada di antara umatku, dialah 'Umar."

Kisah 3

Diceritakan bahwa `Umar bin Khattab r.a. mengangkat Sariyah bin Zanim al-Khalji sebagai pemimpin salah satu angkatan perang kaum muslimin untuk menycrang Persia. Di Gerbang Nihawan, Sariyah dan pasukannya terdesak karena jumlah pasukan musuh yang sangat banyak, sehingga pasukan muslim hampir kalah. Sementara di Madinah, `Umar naik ke atas mimbar dan berkhutbah. Di tengah-tengah khutbahnya, 'Umar berseru dengan suara lantang, "Hai Sariyah, berlindunglah ke gunung. Barangsiapa menyuruh esrigala untuk menggembalakan kambing, maka ia telah berlaku zalim!" Allah membuat Sariyah dan seluruh pasukannya yang ada di Gerbang Nihawan dapat mendengar suara `Umar di Madinah. Maka pasukan muslimin berlindung ke gunung, dan berkata, "Itu suara Khalifah `Umar." Akhirnya mereka selamat dan memperoleh kemenangan.
Al Taj al-Subki menjelaskan bahwa ayahnya (Taqiyuddin al-Subki) menambahkan cerita di atas. Pada saat itu, Ali menghadiri khutbah `Umar lalu ia ditanya, "Apa maksud perkataan Khalifah `Umar barusan dan di mana Sariyah sekarang?" Ali menjawab, "'Doakan saja Sariyah. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya." Dan setelah kejadian yang dialami Sariyah dan pasukannya diketahui umat muslimin di Madinah, maksud perkataan `Umar di tengah-tengah khutbahnya tersebut menjadi jelas
Menurut al Taj al-Subki, `Umar r.a. tidak bermaksud menunjukkan karamahnya ini, Allah-lah yang menampakkan karamahnya, sehingga pasukan muslimin di Nihawan dapat melihatnya dengan mata telanjang, seolah-olah `Umar menampakkan diri secara nyata di hadapan mereka dan meninggalkan majelisnya di Madinah sementara seluruh panca indranya merasakan bahaya yang menimpa pasukan muslimin di Nihawan. Sariyah berbicara dengan `Umar seperti dengan orang yang ada bersamanya, baik `Umar benar-benar bersamanya secara nyata atau seolah-olah bersamanya. Para wali Allah terkadang mengetahui hal-hal luar biasa yang dikeluarkan oleh Allah melalui lisan mereka dan terkadang tidak mengetahuinya. Kedua hal tersebut adalah karamah.

Kisah 4

Dalam kitab al-Syamil, Imain al-Haramain menceritakan Karamah 'Umar yang tampak ketika terjadi gempa bumi pada masa pemerintahannya. Ketika itu, 'Umar malah mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah, padahal bumi bergoncang begitu menakutkan. Kemudian `Umar memukul bumi dengan kantong tempat susu sambil berkata, "Tenanglah kau bumi, bukankah aku telah berlaku adil kepadamu." Bumi kembali tenang saat itu juga. Menurut Imam al-Haramain, pada hakikatnya `Umar r.a. adalah amirul mukminin secara lahir dan batin juga sebagai khalifah Allah bagi bumi-Nya dan bagi penduduk bumi-Nya, sehingga `Umar mampumemerintahkan dan menghentikan gerakan bumi, sebagaimana ia menegur kesalahan-kesalahan penduduk bumi.

Kisah 5

Imam al-Haramain juga mengemukakan kisah tentang sungai Nil dalam kaitannya dengan karamah 'Umar. Pada masa jahiliyah, sungai Nil tidak mengalir sehingga setiap tahun dilemparlah tumbal berupa seorang perawan ke dalam sungai tersebut. Ketika Islam datang, sungai Nil yang seharusnya sudah mengalir, tenyata tidak mengalir. Penduduk Mesir kemudian mendatangi Amr bin Ash dan melaporkan bahwa sungai Nil kering sehingga diberi tumbal dengan melempar seorang perawan yang dilengkapi dengan perhiasan dan pakaian terbaiknya. Kemudian Amr bin Ash r.a. berkata kepada mereka, "Sesungguhnya hal ini tidak boleh dilakukan karena Islam telah menghapus tradisi tersebut." Maka penduduk Mesir bertahan selama tiga bulan dengan tidak mengalirnya Sungai Nil, sehingga mereka benar-benar menderita.
'Amr menulis surat kepada Khalifah `Umar bin Khattab untuk menceritakan peristiwa tersebut. Dalam surat jawaban untuk 'Amr bin Ash, 'Umar menyatakan, "Engkau benar bahwa Islam telah menghapus tradisi tersebut. Aku mengirim secarik kertas untukmu, lemparkanlah kertas itu ke sungai Nil!" Kemudian Amr membuka kertas tersebut sebelum melemparnya ke sungai Nil. Ternyata kertas tersebut berisi tulisan Khalifah 'Umar untuk sungai Nil di Mesir yang menyatakan, "Jika kamu mengalir karena dirimu sendiri, maka jangan mengalir. Namun jika Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa yang mengalirkanmu, maka kami mohon kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa untuk membuatmu mengalir." Kemudian 'Amr melempar kertas tersebut ke sungai Nil sebelum kekeringan benar-bcnar terjadi. Sementara itu penduduk Mesir telah bersiap-siap untuk pindah meninggalkan Mesir. Pagi harinya, ternyata Allah Swt. telah mengalirkan sungai Nil enam belas hasta dalam satu malam.

Kisah 6

Imam al-Haramain menceritakan karamah `Umar lainnya. 'Umar pernah memimpin suatu pasukan ke Syam. Kemudian ada sekelompok orang menghalanginya, sehingga 'Umar berpaling darinya. Lalu sekelompok orang tadi menghalanginya lagi, `Umar pun berpaling darinya lagi. Sekelompok orang tadi menghalangi `Umar untuk ketiga kalinya dan 'Umar berpaling lagi darinya. Pada akhirnya, diketahui bahwa di dalam sekelompok orang tersebut terdapat pembunuh 'Utsman dan Ali r.a.

Kisah 7

Dalam kitab Riyadh al-Shalihin, Imam Nawawi mengemukakan bahwa Abdullah bin `Umar r.a. berkata, "Setiap kali `Umar mengatakan sesuatu yang menurut prasangkaku begini, pasti prasangkanya itu yang benar."
Saya tidak mengemukakan riwayat dari Ibnu `Umar tersebut dalam kitab Hujjatullah 'ala al-'Alamin. Kisah tentang Sariyah dan sungai Nil yang sangat terkenal juga disebutkan dalam kitab Thabaqat al-Munawi al-Kubra. Dalam kitab tersebut juga dikemukakan karamah 'Umar yang lainnya yaitu ketika ada orang yang bercerita dusta kepadanya, lalu `Umar menyuruh orang itu diam. Orang itu bercerita lagi kepada `Umar, lalu Umar menyuruhnya diam. Kemudian orang itu berkata, "Setiap kali aku berdusta kepadamu, niscaya engkau menyuruhku diam."

Kisah 8

Diccritakan bahwa 'Umar bertanya kepada seorang laki-laki, "Siapa namamu?" Orang itu menjawab, "Jamrah (artinya bara)." `Umar bertanya lagi, "Siapa ayahmu?" Ia menjawab, "Syihab (lampu)." `Umar bertanya, "Keturunan siapa?" Ia menjawab, "Keturunan Harqah (kebakaran)." 'Umar bertanya, "Di mana tempat tinggalmu?" Ia menjawab, "Di Al Harrah (panas)." `Umar bertanya lagi, "Daerah mana?" Ia menjawab, "Di Dzatu Lazha (Tempat api)." Kemudian `Umar berkata, "Aku melihat keluargamu telah terbakar." Dan seperti itulah yang terjadi.

Kisah 9

Fakhrurrazi dalam tafsir surah Al-Kahfi menceritakan bahwa salah satu kampung di Madinah dilanda kebakaran. Kemudian `Umar menulis di secarik kain, "Hai api, padamlah dengan izin Allah!" 'Secarik kain itu dilemparkan ke dalam api, maka api itu langsung padam.

Kisah 10

Fakhrurrazi menceritakan bahwa ada utusan Raja Romawi datang menghadap `Umar. Utusan itu mencari rumah `Umar dan mengira rumah 'Umar seperti istana para raja. Orang-orang mengatakan, "'Umar tidak memiliki istana, ia ada di padang pasir sedang memerah susu." Setelah sampai di padang pasir yang ditunjukkan, utusan itu melihat `Umar telah meletakkan kantong tempat susu di bawah kepalanya dan tidur di atas tanah. Terperanjatlah utusan itu melihat `Umar, lalu berkata, "Bangsa-bangsa di Timur dan Barat takut kepada manusia ini, padahal ia hanya seperti ini. Dalam hati ia berjanji akan membunuh `Umar saat sepi seperti itu dan membebaskan ketakutan manusia terhadapnya. Tatkala ia telah mengangkat pedangnya, tiba-tiba Allah mengeluarkan dua harimau dari dalam bumi yang siap memangsanya. Utusan itu menjadi takut sehingga terlepaslah pedang dari tangannya. 'Umar kemudian terbangun, dan ia tidak melihat apa-apa. 'Umar menanyai utusan itu tentang apa yang terjadi. Ia menuturkan peristiwa tersebut, dan akhirnya masuk Islam.
Menurut Fakhrurrazi, kejadian-kejadian luar biasa di atas diriwayatkan secara ahad (dalam salah satu tingkatan sanadnya hanya ada satu periwayat). Adapun yang dikisahkan secara mutawatir adalah kenyataan bahwa meskipun `Umar menjauhi kekayaan duniawi dan tidak pernah memaksa atau menakut-nakuti orang lain, ia mampu menguasai daerah Timur dan Barat, serta menaklukkan hati para raja dan pemimpin. Jika anda mengkaji buku-buku sejarah, anda tak akan menemukan pemimpin seperti 'Umar, sejak zaman Adam sampai sekarang. Bagaimana 'Umar yang begitu menghindari sikap memaksa bisa menjalankan politiknya dengan gemilang. Tidak diragukan lagi, itu adalah karamahnya yang paling besar.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Abbas r.a.

Pada masa pemerintahan `Umar, kaum muslimin ditimpa kekeringan. 'Umar dan 'Abbas r.a. keluar rumah untuk shalat istisqa'. 'Umar berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas, lalu berdoa, "Ya Allah, kami mendekatkan diri kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu. Engkau pernah berfirman dan firman-Mu pasti benar, Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdoa, sedang ayahnya adalah orang yang saleh (QS Al-Kahfi [18]: 82). Kekayaan itu terjaga karena kesalehan ayah mereka. Oleh karena itu ya Allah, jagalah NabiMu karena pamannya. Kami sungguh-sungguh mendekati-Mu untuk memohon pertolongan dan ampunan dengan perantaraan paman NabiMu."
Selanjutnya `Umar menghadap kepada orang-orang dan membaca ayat, Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan lebat untukmu. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, mengadakan untukmu kebun-kebun dan sungai-sungai. (QS Nuh [71]: 10-12)
'Abbas merasa sangat sedih, air matanya menetes, jari telunjuknya berputar di atas dadanya, sembari berdoa, "Ya Allah, Engkaulah Pelindung, jangan biarkan kami tersesat. Jangan biarkan kami putus asa, terlantar di dalam rumah. Semua kaumku baik yang besar maupun kecil telah lemah, karena itu mengadu kepada-Mu. Engkau mengetahui rahasia dan hal yang samar. Ya Allah, hujan mereka dengan hujan-Mu. Kaumku mendekatkan diri kepada-Mu melalui perantaraanku karena kedudukanku yang dekat dengan Nabi-Mu Saw."
Tiba-tiba muncul mendung besar, lalu orang-orang berkata, "Lihatlah! Lihatlah!" Mendung itu semakin menghitam dan digerakkan angin, lalu turunlah hujan lebat. Kaum muslimin tidak juga beranjak dari tempat itu sampai kemudian mereka harus menyingsingkan pakaian karena air telah mencapai lutut. Mereka menggandeng 'Abbas, mengusap selendangnya, dan berkata, "Semoga kebahagiaan terlimpah untukmu, wahai orang yang menyirami Mekkah dan Madinah, sehingga Allah menyuburkan tanah dan negeri kami, serta mengasihi hamba-hamba-Nya." (Riwayat Al Taj al-Subki).
Ibnu Atsir menccritakan dalam kitab Usud al-Ghabah bahwa 'Umar bin Khattab shalat istisqa' dengan 'Abbas r.a. ketika kaum muslimin dilanda kekeringan, lalu Allah menurunkan hujan dan menyuburkan bumi kembali karena kemulaan Abbas. 'Umar berkata, "Demi Allah, ini adalah wasilah kepada Allah.
Hasan bin Tsabit juga menyenandungkan syair:
Mintalah kepada sang imam.
Karena kegersangan telah lama melanda
Mendung mencurahkan hujan berkat kemuliaan Abbas
Paman Nabi dan saudara kandung ayahandanya
Tang mewarisi mendung darn Nabi-Mu untuk umat manusia
Karena ia, Allah menghidupkan negeri ini
Menghijau segenap penjurunya, setelah lama mengering

Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Abdullah bin Abu Jabir

Jabir menceritakan bahwa ketika ayahnya gugur dalam perang Uhud, bibinya menangis. Kemudian Rasulullah Saw berkata, "Jangan menangisinya, untuk apa kau menangisinya, padahal para malaikat memayungi Abdullah dengan sayap mereka, kemudian mengangkatnya." (HR Bukhari dan Muslim)
Jabir r.a. berkata, "Pada masa pemerintahan Mu`awiyah, aku membongkar pusara ayahku. Lalu aku mengeluarkan jenazahnya, ternyata masih sama seperti ketika dimakamkan, tidak mengalami perubahan sedikit pun. Akhirnya aku memakamkannya kembali." (Riwayat Al-Baihaqi)
Dalam riwayat lain Jabir bercerita, "Ketika Mu`awiyah ingin membuat saluran dari mata air di bukit Uhud, kami disuruh menggali makam para pahlawan perang Uhud. Kami mendatangi pemakaman mereka, membongkar makam mereka yang sudah tertutup pohon-pohon kurma selama hampir 40 tahun, dan mengeluarkan jenazah mereka. Kemudian ada sekop seorang penggali yang mengenai kaki Hamzah, ternyata kakinya masih mengucurkan darah." (Riwayat Ibnu Sa'ad, Al-Baihaqi, dan Abu Na`im )
Versi lain menyebutkan bahwa ketika jenazah Abdullah, ayah Jabir, dikeluarkan dan pusaranya, posisi tangan Abdullah berada di atas luka yang dialaminya ketika perang Uhud. Sewaktu tangannya disingkirkan dari lukanya, luka itu mengucurkan darah, dan ketika dikembalikan ke posisi semula, darah itu berhenti mengalir. Jabir berkata, "Dalam liang lahatnya, aku melihat ayahku seperti sedang tidur. Kain kafan yang membungkus jenazahnya dan dan mantel pendek tanpa lengan yang membalut kakinya sama sekali tidak berubah, padahal sudah terkubur selama 46 tahun. Kemudian ada sekop seorang penggali yang mengenai kaki salah seorang pahlawan perang Uhud, dan mengucurlah darah dari kakinya." Abu Sa'id Al-Khudri menegaskan cerita di atas bahwa setelah peristiwa itu, orang yang menyangkal karamah sahabat akhirnya mau menerima kebenaran. Para penggali makam mereka mencium harum minyak wangi, setiap kali mereka mencangkul. (Riwayat Al-Baihaqi dari Al Wagidi)
Dalam kitab Kasyfal-Ghummah, Imam Sya'rani juga mengungkapkan karamah Abdullah, ayah Jabir, disertai beberapa tambahan, meskipun sebagian besar sama dengan cerita-cerita sebelumnya. Jabir r.a. bercerita, "Banjir telah menggerus pusara ayahku, juga satu pusara lain yang ada di sampingnya, maka kami mengeluarkan jenazah keduanya. Ternyata keadaaan kedua jenazah masih utuh seperti ketika di semayamkan waktu perang Uhud. Aku melihat posisi tangan ayahku berada di atas lukanya, lalu aku menggeser posisi tangannya tetapi darahnya mengucur, sehingga kukembalikan ke posisi semula, padahal waktu antara perang Uhud dengan terjadinya banjir yang menggerus makam ayahku itu 40 tahun. Jenazah ayahku tidak berubah sedikit pun, hanya ada beberapa bulu jenggotnya yang jatuh ke tanah."
Imam Sya'rani juga meriwayatkan bahwa Jabir mengeluarkan jenazah ayahnya setelah dikubur selama 6 bulan, karena ia dikuburkan bersama pahlawan perang Uhud lain dalam satu liang lahat. Jabir berkata, "Hatiku baru tenang setelah aku mengeluarkan jenazah ayahku dan memakamkannya kembali dalam liang lahat tersendiri." Tak satu pun sahabat yang menyangkal ucapan Jabir.
Diceritakan pula bahwa ketika Mu`awiyyah r.a. ingin membuat saluran dari mata air di bukit Uhud, para pekerja memberitahukan bahwa saluran itu hanya bisa dibuat dengan melewati makam para pahlawan perang Uhud. Maka Mu'awiyyah menyuruh mereka menggali makam makam itu. Jabir r.a. berkata, `Aku sungguh-sungguh melihat jenazah para pahlawan perang Uhud yang dipanggul di atas pundak para pekerja seperti orang yang sedang tidur. Kemudian ada sekop yang mengenai bagian tubuh Hamzah r.a., lalu mengucurlah darah darinya."
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Abdullah bin Amr

Thalhah bin `Ubaidillah r.a. bercerita, "Aku mencari sesuatu di dalarn hutan sampai malam menjelang. Lalu aku singgah di pusara Abdullah bin Amr bin Haram. Aku mendengar bacaan Al-Qur'an yang sangat merdu dari dalam pusaranya dan belum pernah kudengar suara semerdu itu. Kemudian aku menemui Rasulullah Saw dan menceritakan kejadian itu. Beliau berkata, "Itu suara Abdullah. Tahukah kamu bahwa Allah mengambil ruh para syahid, meletakkannya dalam lampu gantung dari zabarjad dan yaqut (sejenis batu mulia), kemudian menggantungnya ditengah-tengah surga. Apabila malam menjelang, Allah melepas ruh-ruh mereka, dan ketika fajar menyingsing, ruh-ruh mereka dikembalikan ke tempat semula." (Riwayat Ibnu Mandah)
Ibnu 'Abbas r.a. menceritakan bahwa salah seorang sahabat Nabi Saw membuat kemah di atas sebuah makam karena ia tidak tahu bahwa itu adalah makam. Dari dalam makam itu, terdengar suara orang membaca surah Al-Mulk sampai selesai. Maka ia kemudian menemui Nabi Saw. dan melaporkan kejadian tersebut. Beliau bersabda, "Surah Al Mulk itu berguna untuk menghalangi dan menyelamatkan manusia dari siksa kubur." (Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi yang menganggapnya hasan, Al-Hakim yang menganggapnya sahih, dan Al-Baihaqi)
Referensi:Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Kisah-kisah Karamah Wali Allah (Jami' Karamat al-Aulia')
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Abu 'Abbas bin Jabbar r.a.

Setelah Abu 'Abbas bin Jabbar shalat bersama Rasulullah Saw, ia hendak pulang ke rumahnya di perkampungan Bani Haritsah. Malam itu gelap gulita, ia berjalan dengan cahaya yang keluar dari tongkatnya sampai ia memasuki rumahnya. (Diriwayatkan oleh Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Abu Na'im)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Abu Bakar r.a.

Table of contents 

Kisah 1

'Abdurrahman bin Abu Bakar r.a. menceritakan bahwa ayahnya datang bersama tiga orang tamu hendak pergi makan malam dengan Nabi Saw. Kemudian mereka datang setelah lewat malam. Istri Abu Bakar bertanya, "Apa yang bisa kau suguhkan untuk tamumu?" Abu Bakar balik bertanya, "Apa yang kau miliki untuk menjamu makan malam mereka?" Sang istri menjawab, 'Aku telah bersiap-siap menunggu engkau
datang." Abu Bakar berkata, "Demi Allah, aku tidak akan bisa menjamu mereka selamanya." Abu Bakar mempersilakan para tamunya makan. Salah seorang tamunya berujar, "Demi Allah, setiap kami mengambil sesuap makanan, makanan itu menjadi bertambah banyak. Kami merasa kenyang, tetapi makanan itu malah menjadi lebih banyak dari sebelumnya."
Abu Bakar melihat makanan itu tetap seperti semula, bahkan jadi lebih banyak, lalu dia bertanya kepada istrinya, "Hai ukhti Bani Firas, apa yang terjadi?" Sang istri menjawab, "Mataku tidak salah melihat, makanan ini menjadi tiga kali lebih banyak dari sebelumnya." Abu Bakar menyantap makanan itu, lalu berkata, "Ini pasti ulah setan." Akhirnya Abu Bakar membawa makanan itu kepada Rasulullah Saw dan meletakkannya di hadapan beliau. Pada waktu itu, sedang ada pertemuan antara katun muslimin dan satu kaum. Mereka dibagi menjadi 12 kelompok, hanya Allah Yang Maha Tahu berapa jumlah keseluruhan hadirin. Beliau menyuruh mereka menikmati makanan itu, dan mereka semua menikmati makanan yang dibawa Abu Bakar. (HR Bukhari dan Muslim)

Kisah 2

'Aisyah r.a. bercerita, 'Ayahku (Abu Bakar Shiddiq) memberiku 20 wasaq kurma (1 wasaq = 60 gantang) dari hasil kebunnya di hutan. Menjelang wafat, beliau berwasiat, `Demi Allah, wahai putriku, tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai ketika aku kaya selain engkau, dan lebih aku muliakan ketika miskin selain engkau. Aku hanya bisa mewariskan 20 wasaq kurma, dan jika lebih, itu menjadi milikmu. Namun, pada hari ini, itu adalah harta warisan untuk dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuanmu, maka bagilah sesuai aturan Al-Qur'an.' Lalu aku berkata, `Ayah, demi Allah, beberapapun jumlah harta itu, aku akan memberikannya untuk Asma', dan untuk siapa lagi ya?' Abu Bakar menjawab, `Untuk anak perempuan yang akan lahir."' (Hadis sahih dari `Urwah bin Zubair)
Menurut Al Taj al-Subki, kisah di atas menjelaskan bahwa Abu Bakar r.a. memiliki dua karamah. Pertama, mengetahui hari kematiannya ketika sakit, seperti diungkapkan dalam perkataannya, "Pada hari ini, itu adalah harta warisan." Kedua, mengetahui bahwa anaknya yang akan lahir adalah perempuan. Abu Bakar mengungkapkan rahasia tersebut untuk meminta kebaikan hari `Aisyah r.a. agar memberikan apa yang telah diwariskan kepadanya kepada saudara-saudaranya, memberitahukan kepadanya tentang ketentuan-ketentuan ukuran yang tepat, memberitahukan bahwa harta tersebut adalah harta warisan dan bahwa ia memiliki dua saudara perempuan dan dua saudara laki-laki. Indikasi yang menunjukkan bahwa Abu Bakar meminta kebaikan hati 'Aisyah adalah ucapannya yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang ia cintai ketika ia kaya selain `Aisyah (putrinya). Adapun ucapannya yang menyatakan bahwa warisan itu untuk dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuanmu menunjukkan bahwa mereka bukan orang asing atau kerabat jauh.
Kctika menafsirkan surah Al-Kahfi, Fakhrurrazi sedikit mengungkapkan karamah para sahabat, di antaranya karamah Abu Bakar r.a. Ketika jenazah Abu Abu Bakar dibawa menuju pintu makam Nabi Saw., jenazahnya mengucapkan "Assalamu alaika ya Rasulullah, Ini aku Abu Bakar telah sampai di pintumu." Mendadak pintu makam Nabi terbuka dan terdengar suara tanpa rupa dari makam, "Masuklah wahai kekasihku."
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Abu Darda' r.a.

Qais menceritakan bahwa ketika Abu Darda' dan Salman sedang makan dalam piring besar tiba-tiba makanan di atas piring itu bertasbih (kejadian ini disebutkan dalam kitab Hujjatullah 'ala al Alamin. Dalam kitab Thabagat al-Munawi juga disebutkan bahwa di antara karamah Abu al-Darda' adalah ketika ia sedang makan dalam mangkok ceper besar bersama Salman, makanan itu bertasbih. (Riwayat Al-Baihagi dan Abu Na'im)
Pada suatu hari, Abu Darda' menyalakan api di bawah tungku, di sampingnya ada Salman, terdengarlah suara tasbih dari dalam tungku itu, seperti suara anak kecil. Kemudian tungku itu dibalik dan dikembalikan ke posisi semula, tetapi tidak sedikit pun makanan yang tumpah. Salman merasa heran, lalu berkata, "Lihatlah Abu Darda'! Tidak ada kejadian yang menyamainya." Abu Darda' menjawab, "Seandainya engkau diam, maka engkau akan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang agung dan menakjubkan, yakni bertasbihnya mangkuk besar itu." (Riwayat Al-Qusyairi)

Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Abu Hurairah r a.

Al-Qadhi Abu Tayyib bercerita, "Ketika kami sedang berdiskusi, datanglah seorang pemuda Khurasan bertanya tentang ternak yang tidak diperah sehingga ambing susunya penuh, dan meminta dalil tentangnya. Ia diberi dalil hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang berasal dari Abu Hurairah. Dia yang pengikut Hanafi berkata, `Hadis Abu Hurairah tidak bisa diterima.' Belum sempat dia menyelesaikan pembicaraannya, tibatiba ada seekor ular jatuh menimpanya sehingga orang-orang lari terbirit-birit. Ular tersebut hanya mengejar pemuda itu, tidak yang lainnya. Lalu ia berkata, 'Celaka, celaka.' Ular tersebut kemudian hilang tanpa jejak." (Dituturkan oleh Al-Munawi dalam kitabAl-Tabagatal-Qubra pada pembahasan tentang biografi Ibnu Najjar dan perjalanan Ibnu Shalah)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Abu Musa Al-Asy`ari r.a.

Ibnu `Abbas r.a. menceritakan bahwa Nabi Saw mengangkat Abu Musa sebagai pemimpin pasukan laut. Ketika kapal mereka sedang berlayar pada suatu malam, tiba-tiba ada suara memanggil dari atas mereka, "Bukankah aku sudah memberitahu kalian bahwa Allah telah menentukan qadla atas diri-Nya, bahwa barangsiapa dahaga karena Allah pada hari yang panas, maka Allah benar-benar akan memberinya minum pada hari dahaga." (Diriwayatkan oleh Al-Hakim)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Abu Umamah Al-Bahili r.a.

Abu Umamah bercerita, "Rasulullah Saw mengutusku untuk menyeru kaumku masuk Islam. Aku menemui mereka dengan perut lapar, sementara mereka sedang makan darah, lalu mereka berseru kepadaku, `Kemarilah!' Aku menjawab, `Aku datang untuk melarang kalian memakannya.' Mereka mentertawakan, mendustakan, dan mengusirku, sementara aku merasa lapar, haus, dan sangat letih. Kemudian aku tertidur. Aku bermimpi didatangi sescorang yang memberiku sebuah wadah susu. Aku mengambilnya, meminumnya, merasa sangat kenyang dan segar kembali, hingga perutku buncit. Sebagian kaumku berkata kepada sebagian yang lain, `Seorang pemimpin mendatangi kalian, tetapi kalian tolak. Temuilah ia, berilah makan dan minum yang ia sukai!' Kemudian mereka datang membawakan makanan dan minuman. Aku menjawab, Aku tidak membutuhkannya.' Mereka berkata, `Kami melihatmu sangat membutuhkannya.' Jawabku, Allah telah memberiku makan dan minum.' Lalu kuperlihatkan perutku, dan akhirnya mereka masuk Islam." (Riwayat Al-Baihaqi dan Ibnu 'Asakir dari Abu Ghalib)
Dalam riwayat lain dari Ibnu 'Asakir disebutkan bahwa Abu Umamah berkata, "Aku mengajak kaumku untuk masuk Islam, tetapi mereka menolak. Aku lalu berkata, `Berilah aku minum, karena aku sangat haus.' Mereka menjawab, `Tidak akan kami beri, kami akan membiarkanmu mati kchausan.' Hari itu terasa sangat panas, kututup kepalaku dengan mantel, lalu tertidur dalam teriknya matahari. Kemudian aku bermimpi didatangi seseorang dengan membawa gelas kaca yang indah yang belum pernah terlihat oleh seorang pun. Di dalamnya ada minuman yang teramat lezat yang belum pernah dirasakan oleh scorang pun, aku meminumnya. Ketika minumanku habis, aku bangun. Demi Allah, aku tidak merasa haus dan lapar lagi, setelah meminumnya."
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Abullah bin Jahsy

Sehari sebelum perang Uhud, 'Abdullah bin Jahsy berdoa, "Ya Allah, sungguh aku bersumpah kepada-Mu. Jika besok aku berperang melawan musuh, lalu mereka membunuhku, membelah perutku, dan memotong hidung serta telingaku. Kemudian Engkau bertanya mengapa aku melakukan itu, maka aku akan menjawab, `Karena-Mu.' "
Ketika perang Uhud berkobar, Abdullah bin Jahsy gugur dan diperlakukan oleh musuh seperti dalam doanya. Laki-laki yang mendengar doanya berkata, "Aku sungguh berharap semoga Allah mengabulkan akhir sumpahnya seperti Dia mengabulkan awal sumpahnya." (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi, dari Sa'id bin Musayyab)
Referensi:Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Kisah-kisah Karamah Wali Allah (Jami' Karamat al-Aulia')
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Anas bin Malik r.a., Pelayan Rasulullah Saw.

Anas meiniliki sebidang tanah, penjaganya mengadu bahwa tanahnya kekeringan. Kemudian Anas mengerjakan shalat, lalu bertanya, "Apakah kamu melihat sesuatu?" Penjaga tanahnya menjawab, "Tidak." Anas shalat lagi, lalu bertanya, "Apakah kamu melihat sesuatu?" Penjaga itu menjawab, "Aku melihat sayap-sayap beterbangan dari awan."
Anas shalat lagi, lalu berdoa hingga langit menurunkan hujan dan bumi segar kembali. Anas berkata, "Lihatlah, di mana hujan itu turun!" Penjaga itu berkata, "Hanya di atas tanahmu." (Diceritakan oleh Syaikh 'Ulwan al-Hamwi dalam kitab Nasamat al-Ashar dan Al-Bazili dalam kitab Ghayat al Maram yang memuat sejarah para periwayat hadis Shahih Bukhari)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Anas bin al-Nadhar r.a.

Anas r.a. menceritakan bahwa pada perang Uhud pamannya (Anas bin al-Nadhar) berkata, "Demi Zat yang menguasai jiwaku, aku mencium wangi surga di bawah bukit Uhud, sungguh itu benar-benar wangi surga." Anas bin Nadhar r.a. kemudian mati syahid dalam perang itu. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Asid bin Hadhir r.a.

Asid adalah orang yang paling merdu bacaan Al-Qur'annya. Ia bercerita, 'Pada suatu malam aku membaca surah Al-Baqarah, sementara kudaku dalam keadaan terikat, di sampingku terbaring anak laki-lakiku yang masih kecil. Tiba-tiba kudaku berputar-putar, aku berdiri karena mencemaskan anakku. Aku melanjutkan membaca Al-Qur'an, dan kuda itu berputar-putar lagi. Aku kembali bangkit karena mencemaskan anakku. Aku kembali membaca surah Al-Baqarah, kudaku berputar-putar lagi. Maka aku mendongakkan kepalaku, terlihat ada sesuatu seperti bayangan mirip lampu turun dari langit. Kejadian tersebut membuatku takut, lalu aku terdiam. Esok paginya, aku segera menemui Rasulullah dan menceritakan kejadian semalam. Beliau berkata, `Itu malaikat, mereka mendekat karena ingin mendengar suaramu. Seandainya kamu membaca sampai pagi, tentu orang-orang juga akan melihat mereka."' (Diriwayatkan oleh Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Dzu'aib bin Kilab r.a.

Ketika Aswad al-Ansi yang mengaku sebagai Nabi menguasai Shan`a (ibukota Yaman), Aswad menangkap Dzu'aib bin Kilab lalu melemparkannya ke dalam api karena Dzu'aib mengakui kenabian Muhammad Saw, tetapi api itu tidak membakar Dzu'aib. Nabi menceritakan kejadian itu kepada sahabat-sahabat beliau. Lalu `Umar berkata, "Segala puji hanya bagi Allah yang telah menjadikan salah seorang umat kita seperti Ibrahim, Khalilullah," (Diceritakan oleh Ibnu Wahab dari Ibnu Lahi'ah). Dalam kitab Al-Shahabat, Abdan mengemukakan bahwa Dzu'aib adalah anak laki-laki Kilab bin Rabi'ah al-Khaulani, penduduk Yaman pertama yang masuk Islam.
Dalam versi lain diceritakan bahwa ada seorang laki-laki dari Khaulan masuk Islam, tetapi kaumnya menghendakinya kafir lagi, maka mereka memasukkannya ke dalam api, tetapi ia tidak terbakar, kecuali anggota badan yang tidak terkena wudhu. Lelaki itu kemudian menemui Abu Bakar dan berkata, Mintalah ampun untukku." Abu Bakar menjawab, "Engkau lebih patut karena engkau pernah dilemparkan ke dalam api tetapi tidak terbakar." Kemudian ia mohon ampun kepada Allah. Lalu ia pergi ke Syam. Orang-orang menyamakannya dengan Nabi Ibrahim a.s, (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Abu Basyir Ja'far bin Abi Wahsyiyyah). Kami mengungkapkan kisah Dzu'aib di sini karena ia masuk Islam ketika Nabi Saw masih hidup meskipun tidak pernah bertemu dengan Nabi, seperti Raja Najasyi.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Fari'ah al-Anshariyah

Dalam kitab Al-'Ulum al-Fakhirah fi al-Nazhri fi Umur al-Akhirab, Sayyid `Abdurrahman bin Muhammad al Tsa`labi al-Ja`fari al-Maghribi, yang dimakamkan di Aijazair, mengemukakan riwayat Anas r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw berkata kepada Fari'ah, "Sesungguhnya anak laki-lakimu, Ibrahim, telah mati." Fari'ah lalu berkata, "Sungguhkah,ya Rasululullah?" Rasul menjawab, "Ya." Fari'ah lalu berdoa, "Segala puji bagi Allah. Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku berhijrah kepadaMu dan kepada Nabi-Mu dengan harapan agar Engkau menolongku dalam setiap kesulitan. Oleh karena itu, jangan Engkau timpakan musibah ini atasku." Rasulullah membuka penutup wajah anak Fari'ah, kemudian anak itu hidup kembali dan makan bersama kami.
Hikayat ini juga dituturkan oleh Ibnu Qattan dan `Iyadh dari Anas r.a. dengan redaksi, `Ada seorang pemuda dari golongan Anshar meninggal dunia. Ia mempunyai seorang ibu yang lemah dan buta. Kami mengafani jenazahnya dan menghibur hati ibunya agar sabar. Kemudian ibunya bertanya, `Benarkah putraku telah mati?' Kami menjawab, `Ya.' Ibunya lalu berdoa, `Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku benar-benar berhijrah kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.' Kisah selanjutnya sama dengan hadis di atas. Riwayat lain dan Ibnu Qattan menceritakan bahwa ketika itu, Allah Swt. menghidupkan anaknya, lalu anak itu makan di hadapan Rasululahh Saw.
Kisah tersebut juga saya kemukakan dalam bab IV kitab Hujjatullah 'ala al-Alamin. Anas r.a. berkata, "Ketika kami sedang berada di beranda masjid di hadapan Rasulullah Saw, datanglah seorang perempuan tua dan buta yang ikut hijrah membawa putranya yang telah baligh. Tak lama kemudian, putranya terkena penyakit yang scdang mewabah di Madinah. Anak itu sakit beberapa hari, kemudian meninggal dunia. Nabi Saw. menutupkan mata anak itu dan memerintahkan kami untuk mempersiapkan pemakamannya. Ketika kami akan memandikannya, Rasulullah Saw berkata, Anas, panggillah ibunya dan beritahukan kabar ini kepadanya.' Aku memberitahu ibunya, ia datang lalu duduk di depan kedua kaki anaknya. Ia memegang kedua kaki anaknya, dan bertanya, 'Benarkah anakku mati?' Kami menjawab, 'Ya.' Ibu itu berdoa, 'Ya Allah, Engkau tahu aku benar-benar telah menyerahkan diri kepada-Mu dengan sukarela, meninggalkan berhala-berhala dengan sungguh-sungguh, dan berhijrah kepada-Mu karena rasa cinta.Ya Allah, janganlah Engkau masukkan aku ke dalam golongan penyembah berhala, dan janganlah Engkau timpakan musibah yang tidak mampu aku pikul.' Demi Allah, belum sempat ibu itu menyelesaikan doanya, kedua kaki anaknya bergerak-gerak dan menyibakkan pakaian yang menutupi wajahnya. Kemudian anak itu makan bersama kami dan Rasulullah Saw. Anak itu hidup kembali sampai Nabi Saw dan ibunya wafat." (HR Ibnu 'Adiy, Ibnu Abi Dunya, Al-Baihagi, dan Abu Na'im)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Ghalib bin `Abdullah al-Laitsi r.a.

Jundub bin Makits al-Jahni bercerita, "Rasulullah Saw mengirim Ghalib bin Abdullah al-Laitsi beserta pasukannya termasuk aku untuk nenyerang Bani al-Muluh di Al-Kadiyah Kami menyerang mereka dan berhasil memperoleh rampasan perang berupa binatang ternak. Tiba-tiba muncullah penolong Bani al-Muluh tanpa kami perkirakan sebeumnya. Kami pun keluar dengan membawa ternak-ternak itu. Kami nenemui Bani al-Muluh hingga mereka dapat melihat kchadiran kami karena kami dan mereka berada di lembah di antara dua gunung. Kami berada di salah satu sisi lembah. Tiba-tiba Allah telah memenuhi kedua isi lembah itu dengan air. Demi Allah, padahal pada hari itu tak ada mendung dan tidak turun hujan. Air itu tiba-tiba datang sehingga tak ada seorang pun yang bisa melaluinya. Mereka hanya bisa diam menatap kami karena terhalang air sehingga tidak dapat mengejar kami." Pada hakikatnya, kejadian ini adalah tanda-tanda kebenaran agama Islam bukan semata-mata karamah Ghalib. (Riwayat Ibnu Sa'ad)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Hajar bin 'Adiy r.a.

Hajar bin 'Adiy r.a.dan sahabat-sahabatnya dimakamkan di desa Adzra', wilayah Syam (Suriah). Mereka dibunuh pada masa kekhalifahan Mu'awiyyah r.a. Rasulullah pemah meramalkan nasib mereka dalam sabdanya, 'Di Adzra' akan terbunuh orang-orang yang dicintai oleh Allah dan para panghuni langit."
Hajar adalah orang yang selalu menjaga wudhu dan selalu dalam keadaan suci. Sewaktu dipenjara, ia 'mimpi basah' (ihtilam), maka ia meminta air kepada sipir untuk mandi. Sipir menjawab, "Aku hanya
punya air untuk minummu." Hajar berkata, "Berikan padaku! Akan aku gunakan untuk bersuci." Sipir itu berkata, "Tak akan kuberikan, kalau kamu mati kehausan, atasanku akan membunuhku."
Selanjutnya Hajar berdoa kepada Allah agar menurunkan hujan. Akhirnya hujan turun, sehingga Hajar dapat bersuci. Para penghuni penjara merajuk kepadanya, "Mintalah kepada Allah agar melepaskan kami dan engkau!" Hajar menegaskan, "Aku tidak suka melakukannya karena aku berada di sini karena kehendak dan takdir-Nya. Aku memohon hujan karena berkaitan dengan ibadah." Syaikh al-Hifni mengatakan, "Demikianlah perilaku orang-orang yang selalu dekat dengan Allah." (Dikemukakan oleh Syaikh al-Hifni dalam catatan pinggir atas kitab Al Jami`al-Shagir)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Hamzah al-Aslami r.a

Hamzah al-Aslami berccrita, "Kami melakukan perjalanan jauh bersama Nabi Saw. Pada suatu malam, kami terpisah karena begitu gelapnya. Tiba-tiba jari-jari tanganku mengeluarkan cahaya sehingga para sahabat Nabi Saw. bisa berkumpul kembali mengikuti cahaya itu, dan tak satu pun yang tersesat. Jari-jariku benar-benar telah mengeluarkan cahaya." (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al-Tarikh, Al-Baihaqi dan Abu Na'im)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Hamzah bin 'Abdul Muthalib r.a.

Table of contents 

Kisah I

Ibnu Abbas r.a. menceritakan bahwa Hamzah wafat dalam keadaan junub (belum suci dari hadas), lalu Rasulullah Saw berkata, "Malaikat telah memandikannya." (HR Al-Hakim)
Hasan menceritakan bahwa ia mendengar Rasulullah Saw berkata, "Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hamzah." (HR Ibnu Sa'ad)

Kisah 2

Fatimah al-Khaza'iyyah bercerita, "Aku menziarahi makam Hamzah, lalu aku mengucapkan `Assalamu 'alaika, wahai paman Rasulullah.' Aku mendengar jawaban `Wa 'alaikumussalam warahmatullah. " (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari AI Waqidi)
Diceritakan juga bahwa Syaikh Mahmud al-Kurdi al-Syaikhani singgah di Madinah untuk menziarahi makam Hamzah r.a. Sewaktu ia mengucapkan salam, terdengar jawaban salam dari makam Hamzah dan perintah untuk menamai anaknya dengan nama Hamzah. Kemudian ia memiliki anak, maka ia menamainya dengan Hamzah. Ia juga menceritakan bahwa sewaktu ia mengucapkan salam untuk Nabi Saw di hadapan pusara beliau, Nabi Saw menjawab salamnya. Ia sungguh-sungguh mendengar jawaban salam itunya, tak diragukan sedikit pun. (Dikutip dari kitabAl-Bagiyah al-Shalihat karya Syaikh Mahmud al-Kurdi al-Syaihani)
Syaikh Abdul Ghani al-Nablusi menceritakan dalam Syarhnya atas kitab Shalat al-Ghauts al Jailani, bahwa ia pernah bertemu dengan Syaikh Mahmud al-Kurdi di Madinah pada tahun 1205 H. Ia mengundang Syaikh Mahmud ke rumah, menjamu, dan memuliakannya. Syaikh Mahmud menceritakan kepada Syaikh 'Abdul Ghani bahwa ia sering bertemu dengan Nabi Saw dalam keadaan terjaga dan Abdul Ghani mempercayainya setelah melihat tanda-tanda kejujurannya. Pembahasan tentang bertemu Nabi Saw dalam keadaan terjaga atau tidur sudah cukup saya (Yusuf bin Ismail An-Nabhani) kemukakan dalam kitab Sa`adatal-Darain fs al-Shalah `ala Sayyid al-Kaunaini.

Kisah 3

Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Dimyathi yang terkenal dengan sebutan Ibnu 'Abdul Ghani al-Bina', seorang ulama yang memadukan antara syariah dan tasawuf (wafat di Madinah pada bulan Muharram 116 M.), bercerita, 'Aku menunaikan ibadah haji bersama ibuku pada masa paceklik. Kami menunggang dua ekor unta yang dibeli di Mesir. Sesudah menunaikan haji, kami pergi ke Madinah, dan kedua unta itu mati di sana, padahal kami sudah tidak punya uang untuk membeli atau menyewa unta dari orang lain. Hal itu membuatku risau, karena itu aku pergi menemui Syaikh Shafiyyuddin al-Qusyasyi. Aku menceritakan keadaanku dan berkata, Aku beri'tikaf di Madinah, tetapi kemudian aku mengalami kesulitan untuk melanjutkan perjalanan, sampai Allah memberi kelapangan.' Syaikh Shafiyuddin diam sejenak, lalu berkata, `Pergilah sekarang juga ke makam Sayyidina Hamzah bin `Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad Saw. Bacalah ayat-ayat Al-Qur'an yang paling mudah dan ceritakan keadaanmu dari awal hingga akhir, seperti yang baru kau ceritakan kepadaku, lakukan itu sambil berdiri di sisi makamnya yang mulia.'
Aku ikuti anjuran Syaikh Shafiyyuddin. Aku segera pergi pada waktu dhuha ke makam Sayyidina Hamzah. Aku membaca ayat-ayat AlQur'an, lalu menceritakan keadaanku seperti yang diperintahkan Syaikh Shafiyuddin. Aku segera kembali sebelum zuhur, lalu memasuki tempat suci Babu Rahmah. Aku berwudhu, lalu masuk ke dalam masjid. Tiba-tiba ibuku yang berada di dalam masjid berkata kepadaku, Ada seorang laki-laki menanyakanmu, temuilah dia!' Aku bertanya, 'Di mana dia?' Ibu menjawab, `Lihatlah di ujung masjid.'
Aku menemui laki-laki yang mencariku. Sewaktu bertemu, ternyata ia seorang laki-laki berjenggot putih yang tampak disegani. Laki-laki itu menyapa, `Selamat datang Syaikh Ahmad.' Aku sambut uluran tangannya, lalu ia berkata lagi, 'Pergilah ke Mesir!' Jawabku, 'Tuan, dengan siapa aku pergi?' Ia menjawab, 'Pergilah bersamaku, aku akan menyewakan unta untukmu kepada seseorang.'
Aku pergi bersamanya hingga kami sampai di tempat singgah unta-unta jamaah haji asal Mesir di Madinah. Laki-laki berjenggot itu memasuki tenda salah seorang penduduk Mesir dan aku menyusul di belakangnya. Ia menghaturkan salam kepada penghuni tenda, pemilik tenda berdiri dan mencium kedua tangannya dengan sikap sangat hormat. Laki-laki berjenggot itu berkata kepada pemilik tenda, Aku ingin anda membawa Syaikh Ahmad ini dan ibunya ke Mesir.'
Pada tahun itu, unta sangat berharga karena banyak yang mati, dan menyewa unta cukup sulit. Pemilik tenda mengikuti kemauan laki-laki berjenggot itu. Lelaki berjenggot itu bertanya, Berapa Anda akan menarik ongkosnya?' Pemilik tenda itu menjawab, 'Terserah Tuan.' Lelaki berjenggot berkata, 'Sekian, sekian.' Mereka berijab kabul dan lelaki berjenggot membayar uang sewa. Laki-laki berjenggot itu lalu berkata kepadaku, `Bangkitlah, pergilah bersama ibumu, dan bawa serta barang-barangmu.' Aku berdiri, sementara ia duduk di samping pemilik unta, kemudian mendatangi keduanya dan mengadakan perjanjian untuk membayar sisa uang sewa setelah sampai di Mesir. Ia menyetujui perjanjian itu, membaca surah Al-Fatihah, dan memujiku.
Aku berdiri di samping lelaki berjenggot putih itu lalu pergi bersamanya. Ketika sampai di masjid, ia berkata, `Masuklah dulu!' Aku masuk dan menunggunya ketika waktu shalat tiba, tetapi aku tidak melihatnya. Berulang kali aku mencarinya, tetapi tidak menemukannya.
Lantas aku menemui orang yang menyewakan unta untukku dan bertanya tentang lelaki berjenggot putih itu dan tempat tinggalnya. Ia menjawab, Aku tidak mengenalnya dan belum pernah melihatnya sebelum ini. Tetapi ketika ia masuk ke tempatku, aku merasa segan dan hormat kepadanya, sesuatu yang belum pernah kurasakan seumur hidup.'
Aku kembali mencari lelaki berjenggot putih itu, tetapi tidak menemukannya. Maka aku pergi menemui Syaikh Shafiyyuddin Ahmad al-Qisyasyi r.a. dan menceritakan hal tersebut. Syaikh Shafiyuddin berkata, 'Itu ruh Sayyid Hamzah bin Abdul Muthallib r.a. yang mewujud padamu.'
Lalu aku kcmbali rnenemui orang yang menyewakan unta kepadaku. Aku pulang ke Mesir bersamanya sebagai teman haji. Aku melihatnya sebagai seorang yang penyayang, mulia, dan berakhlak baik, belum pernah aku bertemu dengan orang seperti dirinya. Semua itu karena barakah dari Sayyidina Hamzah r.a. hingga kami bisa mengambil manfaat darinya. Segala puji hanya milik Allah atas semua yang terjadi." (Cerita ini dikutip oleh Sayyid Ja'far bin Hasan al-Barzanji al-Madani dalam kitabnya Jaliyat al-Kurab bi Ashhab al-Ajam wa al-Arabi Sallallahu `alaihi Wasallama, sebuah kitab tentang memohon pertolongan melalui para sahabat yang mengikuti perang Badar dan Uhud, dari Al-Hamwi dalam kitabnya Nataij al-Irtihal wa al-Safar fi Akhbari ithli al-Qarni al-Hadi Asyara)

Kisah 4

Karamah Sayyidina Hamzah yang lain adalah kisah yang diceritakan oleh Al-Marhum Abdul Lathif al Tamtami al-Malaki al-Madani berikut ini, "Syaikh Sa'id bin Qutb al-Rabbani al-Mala Ibrahim al-Kurdi pergi untuk menziarahi pemimpin para syahid, Hamzah paman Rasulullah Saw, sebelum melakukan ziarah yang telah kami sepakati ke makam para syahid lain di Madinah pada tanggal 12 Rajab. Ia mempercepat perjalanannya ke makam Sayyidina Hamzah agar bisa ikut berziarah bersama kami. Pada tanggal 12 Rajab, kami pergi ziarah dengan Syaikh Sa'id bin Qutb yang masih setengah mengantuk. Lalu kami istirahat di sebuah bangku bersandaran. Ketika gelap telah menyelimuti malam, teman-temanku tidur dan aku berjaga-jaga. Tiba-tiba aku melihat seekor kuda mengelilingi tcmpat yang sedang kami pakai beberapa kali, tetapi aku malas bangun untuk mengusirnya. Dalam hati aku berkata, `Sampai kapan ia berputar-putar?' Aku bangkit, lalu berjalan ke arahnya dan bertanya, 'Siapa kau?' Kuda itu menjawab, `Sedang apa kamu? kamu singgah di wilayah perlindunganku dan menyakitiku karena kamu tidak tidur untuk berjaga jaga, padahal aku selalu menjaga kalian semua?-Aku Hamzah bin Abdul Muthalib.' Kuda itu kemudian menghilang."
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Hanzhalah r.a.

Qatadah menceritakan bahwa pada perang Uhud, Rasulullah Saw. berkata, ` Hanzhalah akan dimandikan oleh malaikat." Maka para sahabat bertanya kepada keluarga Hanzhalah, "Apa yang terjadi dengannya?" Qatadah juga bertanya kepada istri Hanzhalah, lalu ia menjawab, "Ketika terdengar seruan perang Uhud, Hanzhalah segera pergi untuk berjihad padahal sedang berhadas besar." Rasulullah Saw. berkata, "Karena itulah ia akan dimandikan malaikat." (HR Ibnu Ishaq dari Ashim bin `Umar bin Qatadah)
Dalam kisah lain, Urwah bercerita, "Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hanzhalah di antara langit dan bumi dengan air dari awan dalam sebuah tempat besar terbuat dari perak." Abu Asid al-Sa`idi lalu berkata, "Kami pergi melihat Hamzah, kepalanya meneteskan air." (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Sa'ad dari Hisyam bin Urwah)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Hasan bin `Ali r.a.

Ada seorang laki-laki buang air besar di atas makam Hasan bin Ali r.a., kemudian ia menjadi gila dan menggonggong seperti anjing, lalu mati. Dari dalam kubur orang tersebut terdengar suara gonggongan. (Diceritakan oleh Al-Munawi dalam kitab Al-Tabaqat)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Husein bin 'Ali r.a.

Ibnu Syihab al-Zuhri menuturkan bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan Husein mendapat siksa di dunia. Ada yang dibunuh, buta, wajahnya menghitam, atau kehilangan kekuasaan dalam waktu singkat. Di antara yang mengalaminya adalah Abdullah bin Khashin. Ketika pihak Yazid bin Muawiyah dan Husein berperang dan mereka menghalangi Husein untuk mendapatkan air, Abdullah memanggil Husein lalu berkata, "Hai Husein! Tidakkah kamu lihat air itu seolah-olah berada di tengah-tengah langit. Demi Allah, kamu tidak akan merasakan setetes air pun, sampai kamu mati kehausan." Kemudian Husein berdoa, "Ya Allah, semoga dia mati kehausan." Lalu Abdullah meminum air itu tanpa henti tetapi dahaganya tidak hilang juga, sampai ia mati kehausan. (Dikemukakan oleh Imam al-Syali Ba'lawi dalam kitab Al Masyru' al-Marwi )
Dalam kisah lain diceritakan bahwa Husein berdoa ketika hendak meminum air yang dibawanya, tiba-tiba seorang laki-laki yang dikenal sebagai seorang penakut memanah Husein. Anak panah itu mengenai langit-langit rnulut Husein schingga ia tidak bisa minum. Lalu Husein r.a. berdoa, "Ya Allah, berikan rasa haus kepadanya." Maka orang yang keji itu berteriak-teriak karena perutnya kepanasan dan punggungnya kedinginan. Kemudian di depannya diletakkan es dan kipas, scmentara di belakangnya diletakkan tungku perapian, dia berteriak, "Beri aku minum!" Lalu ia diberi satu wadah besar berisi arak, air, dan susu, yang cukup untuk lima orang. Ia meminumnya, tetapi ia tetap berteriak kehausan. Ia diberi minum lagi dengan ukuran semula, lalu meminumnya sampai perutnya kembung seperti perut unta. (Dituturkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabAl-Shawa'iq)
Diceritakan pula bahwa ada seorang tua renta yang terlibat dalam pembunuhan Husein mendengar berita bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan itu tidak akan mati kecuali telah mendapat siksa di dunia. Orang tua itu berkata, "Aku ikut menyaksikan pembunuhan itu, tetapi belum pernah ditimpa kejadian tidak mengenakkan." Kemudian ia berdiri di dekat lampu untuk memperbaikinya, tiba-tiba api berkobar menyambarnya, sehingga ia berteriak-teriak, "Api! Api!" Sampai akhirnya dia tewas terbakar. (Diceritakan oleh Al-Syali)
Al-Syali juga menceritakan bahwa ada seseorang yang hanya menghadiri pembunuhan Husein, lalu ia menjadi buta. Ketika ditanya tentang sebab kebutaannya, ia menceritakan bahwa ia melihat Nabi Saw memegang pedang, dan di depan beliau terhampar tikar dari kulit. Ia juga melihat 10 orang pembunuh Husein disembelih di hadapan Nabi. Nabi mencela dan mencemoohnya karena telah ikut mendukung para pembunuh itu. Kemudian Nabi menempelkan celak dari darah Husein ke matanya, lalu ia menjadi buta.
Dalam kisah lain, Asy-Syali menceritakan bahwa ada seseorang yang menggantung kepala Husein dengan tali pelana kudanya. Beberapa hari kemudian, wajahnya tampak lebih hitam daripada aspal. Ada seseorang yang berkata kepadanya, "Anda adalah orang Arab yang paling hitam wajahnya." Dia menjawab, "Pada malam ketika aku memegang kepala Husein itu, lewatlah dua orang yang mencengkeram lenganku. Mereka menggiringku ke arah api yang menyala-nyala dan mendorongku masuk ke dalamnya. Aku hanya bisa menunduk lemah, api itu menghanguskan kulitku sehingga hitam legam seperti yang kau lihat." Akhirnya ia tewas dalam kondisi mengenaskan.
Husein mati syahid pada hari Jumat, bulan Asyura (Muharram), 61 H.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Ibnu Ummi Maktum r.a.

Ibnu `Umar r.a. menceritakan bahwa Ibnu Ummi Maktum selalu menanti fajar dan tidak pernah melewatkannya, padahal ia seorang yang buta. la merupakan salah seorang muadzin pada masa Rasulullah. Orang-orang berselisih tentang nama aslinya, ada yang mengatakan Abdullah atau Amr seperti yang tercantum dalam kitab Usud al-Ghabah.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Khalid bin Walid r.a.

Table of contents 

Kisah 1

Suatu hari, Khalid bin Walid singgah di suatu kampung. Orang-orang memperingatkannya, "Waspadalah terhadap racun, jangan minum suguhan orang-orang asing!" Namun Khalid menjawab, "Berikan racun itu kepadaku!" Kemudian ia mengambil minuman beracun itu, lalu meneguknya sambil membaca basmalah, dan tidak terjadi sesuatu pun yang membahayakannya. (Diriwayatkan oleh Abu Ya'la, Al-Baihaqi, dan Abu Na`im dari Abu Safar)
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Khalid bin Walid pergi ke suatu kampung. Penduduk kampung itu menyuruh Abdul Masih menyambut Khalid dengan membawa minuman yang mengandung racun ganas. Khalid berkata kepada Abdul Masih, "Berikan minuman itu!" Ketika ia istirahat, Khalid mengambil minuman beracun itu lalu berdoa, "Dengan menyebut nama Allah, Tuhan langit dan bumi. Dengan menyebut nama Allah yang tidak akan mencelakakan hamba-Nya, karena nama-Nya mengandung obat." Kemudian Khalid meneguk minuman beracun itu. Abdul Masih kembali ke kaumnya, lalu berkata, "Hai kaumku, ia telah minum racun ganas itu, tetapi ia tidak apa-apa." Akhirnya kaum itu berdamai dengan orang-orang muslim. (Dikisahkan oleh Al-Kalbi)

Kisah 2

Diceritakan juga bahwa ada seorang laki-laki mendatangi Khalid dengan membawa geriba berisi arak. Khalid lalu berdoa, "Ya Allah jadikanlah arak ini madu." Lalu arak itu berubah menjadi madu. Dalam versi lain diceritakan bahwa ada seorang laki-laki melewati Khalid dengan membawa geriba berisi arak. Khalid bertanya kepadanya, "Apa ini?" la menjawab, "Cuka." Kemudian Khalid berdoa, "Ya Allah, jadikan isi geribah ini cuka". Lalu orang-orang melihat geribah itu berisi cuka, padahal sebelumnya arak. (Riwayat Ibnu Abi Dunya dari Khaitsamah)
Riwayat lainnya menceritakan, Khalid bin Walid mendapat laporan bahwa ada angggota pasukannya yang minum arak. Maka Khalid menginspeksi pasukannya, dan ia menemukan seseorang membawa geriba berisi arak. Khalid bertanya, "Apa ini?" Laki-laki itu menjawab, "Cuka." Khalid berdoa, "Ya Allah, jadikanlah geriba itu berisi cuka." Laki-laki itu membuka geriba, dan ternyata isinya telah berubah menjadi cuka, ia lalu berujar, "Ini berkat doa Khalid." (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dari Maharib bin Datstsar)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Maisarah bin Masruq al-Absi

Table of contents 

Kisah 1

Maisarah adalah salah satu di antara sembilan utusan Bani Absi yang datang kepada Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw menunaikan haji wada', Maisarah berjumpa dengan beliau, lalu la bertanya, "Wahai Rasulullah, aku sangat ingin menjadi pengikutmu." Kemudian ia masuk Islam dan keislamannya sangat baik. Maisarah berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari neraka karena adanya engkau (Muhammad)." Maisarah diberi jabatan bagus oleh Abu Bakar. (Diriwayatkan oleh Ibnu Atsir dalam Usud al-Ghabah)
Maisarah bin Masruq al-'Absi r.a. termasuk salah satu pemimpin tentara di Palestina dan ia meninggal di sana serta dimakamkan dekat daerah Baqah termasuk wilayah Nablus. Makamnya terkenal sebagai tempat ziarah.

Kisah 2

Yusuf al-Nabhani bercerita, "Aku menziarahi makam Maisarah bin Masruq al-Absi r.a. kira-kira dua puluh tahun yang lalu. Aku belum mengetahui lokasi makamnya, tetapi ketika aku melewati sebuah jalan di samping makamnya, aku melihat orang-orang berbondong-bondong menziarahinya. Pada waktu itu adalah hari Arafah tahun 1305 H. Kemudian aku bertanya kepada seorang penduduk daerah itu yang ada di sisiku. Penduduk itu memberitahuku bahwa hari Arafah adalah hari yang khusus untuk menziarahi makam Maisarah, karenanya banyak penduduk daerah-daerah sekitar yang datang berziarah saat itu. Sebuah tradisi lama yang berlangsung terus setiap tahun tanpa terputus. Mereka juga melakukan ziarah di hari terakhir bulan Ramadhan.
Pada tahun itu juga, aku pergi ke Beirut untuk tugas pemerintahan negara yang mengharuskanku sampai sekarang menetap di sana. Kurang lebih tiga tahun setelah tinggal di Beirut, yakni 1308 H., aku jatuh sakit yang divonis oleh semua dokter sebagai penyakit ganas lemahnya syaraf pencernaan. Penyakit itu sangat memayahkanku. Ketika aku telah putus asa untuk sembuh, dalam mimpi aku mendengar ada orang menyuruhku menziarahi makam Maisarah. Aku tahu yang dimaksud adalah Maisarah al-Absi, dan dengan menziarahnya aku akan memperoleh obat penyakitku ini. Ketika terbangun, aku berniat kuat untuk menziarahinya. Setelah melewati makamnya tiga tahun lalu, aku sudah melupakan keberadaan Maisarah r.a. sebelum mimpi itu muncul. Oleh karena itu, aku yakin mimpi itu benar.
Aku memantapkan diri uiituk menziarahinya pada hari Arafah 1308 H. Aku memutuskan untuk bermalam di daerah yang dekat dengan makamnya yang bernama Wadi 'Arah, di rumah 'Abdul Karim Affandi bin Muhammad Husain Abdul Hadi. Ia sangat menghormatiku sebagai tamunya dan menjamuku dengan sangat baik.
Malamnya, aku merasa sehat kembali lebih dari sebelumnya, padahal selama berbulan-bulan aku minum berbagai macam obat dan mengikuti saran beberapa dokter terkenal. Pagi harinya, aku berangkat untuk berziarah. Aku sampai ke'makamnya di siang hari ketika banyak orang berziarah ke sana. Di makamnya, aku membaca surah-surah pendek dan kitab Dalail al-Khairat. Kemudian aku pulang dengan penuh rasa syukur dan pujian kepada Allah. Secara perlahan-lahan aku sehat kembali, hingga hilanglah penyakitku itu secara total. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam."
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Maslamah bin Mukhallid al-Shahabi

Maslamah terkenal sebagai penguasa Mesir dan Afrika. Orang pertama yang memerintahkan membangun menara di Mesir untuk mengumandangkan azan. Ia adalah orang yang dikabulkan doanya berkat doa Rasulullah Saw dan memiliki banyak karamah. Di antaranya adalah ketika ia turun ke sebuah lembah yang berada di antara dua gunung dan di sana tidak terdapat air, lalu ia berdoa kepada Allah Swt., maka turunlah hujan seketika itu juga.
Karamahnya yang lain adalah ketika ia memasuki Afrika, ada orang yang berkata kepadanya, "Di lembah ini terdapat binatang-binatang buas dan ular-ular ganas." Lalu Maslamah berkata, "Keluarlah," akhirnya binatang-binatang buas dan ular-ular ganas itu keluar dengan membawa anak-anaknya. (Riwayat Al-Munawi)

Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Najasyi

Al-Sakhawy meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Yazid bin Ruman dari'Urwah bahwa Aisyah r.a. berkata, "Ketika Najasyi meninggal dunia, di atas makamnya muncul cahaya tanpa henti." Saya menceritakan Najasyi pada bab tentang karamah para sahabat Rasulullah Saw., karena ia hidup pada masa Rasulullah Saw dan Rasulullah melakukan shalat gaib untuknya ketika ia meninggal, meskipun ia belum pernah berkumpul dengan Rasulullah sehingga tidak dianggap sebagai sahabat.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Sa'ad bin Mu'adz r.a.

Sa'ad bin Abi Waqash r.a. menceritakan bahwa ketika Sa'ad bin Mu'adz wafat setelah perang Khandaq, Rasulullah Saw tergesa-gesa keluar, sampai memutuskan tali sandal seseorang dan tidak membetulkannya, tidak melilitkan kembali selendangnya yang terurai, dan tidak menyapa seorang pun. Orang-orang bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa engkau mengabaikan kami?" Beliau menjawab, "Aku khawatir malaikat mendahului kita untuk memandikan jenazah Sa'ad bin Mu`adz, seperti halnya ia mendahului kita memandikan jenazah Hanzhalah." (Riwayat Abu Na'im)
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa pada perang Khandaq, mata Sa'ad bin Mu'adz terkena tombak yang dilemparkan Hayyan bin Arqah. Tenda untuk Nabi Saw. telah dipasang di dalam masjid karena beliau akan segera kembali dari perang. Sewaktu Nabi Saw. pulang dari Khandaq, beliau melepas baju besinya, kemudian mandi. Ketika beliau sedang mengibaskan debu di kepalanya, Jibril datang lalu berkata, "Engkau telah melepas baju besimu. Demi Allah, jangan melepasnya dulu, temuilah mereka!" Nabi Saw bertanya, "Ke mana?" Jibril menunjuk ke arah perkampungan Band Quraizhah. Rasulullah Saw segera menuju ke sana. Mereka bertempur untuk menegakkan keadilan atas Sa'ad. Rasulullah berkata, "Sungguh aku akan menghukum mereka, mengobarkan peperangan, menawan para wanita dan anak-anak, juga membagi harta kekayaan mereka." Kemudian Sa'ad berdoa, "Ya Allah, Engkau Maha Tahu, tidak satu pun yang begitu ingin aku perangi karena Engkau selain kaum yang mendustakan dan mengusir Rasul-Mu. Ya Allah, aku sungguh yakin bahwa Engkau telah mengobarkan peperangan di antara kami dan mereka. Jika masih ada peperangan dengan kaum Quraisy, beri aku kesempatan untuk memerangi mereka karena Engkau. Jika Engkau mengobarkan peperangan, izinkan aku mengikutinya dan biarkan aku mati di sana." Malam itu, peperangan dengan Bani Quraizhah berkobar, akhirnya Sa'ad bin Muadz wafat karenanya. (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Dikisahkan pula bahwa pada saat perang Ahzab (Khandaq), mata Sa'ad bin Mu`adz terkena tombak sehingga mengucurkan banyak darah. Sa'ad berdoa, "Ya Allah, jangan cabut nyawaku agar mataku tetap terbuka sampai di tempat Bani Quraizhah." Lalu ia menahan pembuluh darah di matanya, tetapi tidak keluar setetes pun darah, sampai kaum muslimin memerangi Bani Quraizhah. Seusai perang, pembuluh darah di mata Sa'ad bin Mu`adz pecah, dan ia menemui ajalnya. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Jabir r.a.)
Rasulullah Saw pernah bersabda tentang Sa'ad bin Mu'adz, "Sa'ad telah menggoncangkan 'Arsy, dan jenazahnya diantar 70.000 malaikat." (HR Al-Baihagi dari Ibnu `Umar r.a.)
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Jibril menemui Nabi Saw lalu bertanya, "Siapakah hamba saleh yang wafat sehingga pintu-pintu langit terbuka untuknya dan `Arsy bergetar?" Nabi kemudian keluar, ternyata Sa'ad bin Mu`adz telah wafat. (HR Al-Baihaqi dari Jabir r.a)
Rafi` al-Zargi menceritakan bahwa salah seorang kaumnya memberitahu bahwa Jibril telah mendatangi Nabi Saw di tengah malam dengan mengenakan ikat kepala dari sutra tebal, lalu Jibril bertanya, "Jenazah siapa gerangan yang telah membuka pintu langit dan menggoncangkan Arsy?" Beliau segera berdiri menemui Sa'ad bin Mu'adz dan menemukannya telah gugur. Dalam riwayat lain Hasan Al-Bashri berkata, "Sa'ad bin Mu`adz telah menggoncangkan 'Arsy Zat Yang Maha Pengasih, karena gembira dengan kedatangan ruhnya." (Kedua riwayat ini diceritakan oleh Al-Baihaqi)
Muslimah bin Aslam bin Harisy bercerita, "Rasulullah Saw memasuki rumah Sa'ad, tetapi tak ada seorang pun di dalamnya kecuali Sa'ad yang ditutupi kain. Kemudian aku melihat beliau melangkah dan memberi isyarat kepadaku agar berhenti. Aku berhenti dan mundur ke belakang, beliau duduk sebentar lalu keluar. Aku berkata, `Ya Rasulullah, aku tidak melihat seorang pun di sana, namun aku melihatmu melangkah.' Beliau menjawab, Aku tidak bisa duduk, sampai salah satu malaikat melepaskan salah satu sayapnya."' (HR Ibnu Sa'ad)
Riwayat lain menceritakan hahwa ketika Sa'ad bin Mu'adz wafat, Rasulullah Saw menggenggam kedua lutut Sa'ad lalu berkata, "Malaikat masuk, tetapi tidak mendapatkan tempat duduk, maka aku lapangkan tempat untuknya." Ketika orang-orang mengusung jenazah Sa'ad bin Mu'adz yang pada masa hidupnya ia adalah orang yang paling besar dan tinggi, salah seorang munafik berkata, "Kami belum pernah mengusung jenazah yang lebih ringan daripada hari ini." Lalu Nabi Saw bersaada, "Jenazah Sa'ad bin Mu'adz disaksikan 70.000 malaikat yang tidak menginjak bumi sama sekali." (Riwayat Abu Na'im dari Asy'at bin Ishaq bin Sa'ad bin Abi Waqash)
Diceritakan pula bahwa ketika mengusung jenazah Sa'ad, orang-orang mengatakan, "Ya Rasulullah, kami belum pernah mengusung jenazah yang lebih ringan daripada ini." Beliau menjelaskan, "Kalian merasa ringan, karena malaikat telah turun tangan, padahal sebelumnya mereka belum pernah ikut mengusung jenazah bersama-sama kalian." (Riwayat Ibnu Sa'ad dari Mahmud bin Lubaid)
Muhammad bin Syarahbil bin Hasanah menceritakan bahwa pada hari itu, orang-orang mengambil tanah kuburan Sa'ad dan membawanya pulang. Setelah pulang, mereka melihat tanah tersebut telah berubah menjadi minyak wangi. Rasulullah Saw berkata, "Maha Suci Allah, Maha Suci Allah." Lalu beliau mengusapkan minyak wangi itu ke wajahnya dan berkata lagi, "Segala puji hanya bagi Allah, kalau ada orang yang selamat dari himpitan kubur, Sa'ad lah orangnya. Ia dikenai satu himpitan, kemudian Allah membebaskannya." (HR Ibnu Sa'ad dan Abu Na'im dari jalur Muhammad bin Munkadir)
Anni Sa'id al-Khudri r.a. berkata, "Aku ikut menghadiri pemakaman Sa'ad. Setiap kami menggali sebongkah tanah kuburnya, kami mencium harum minyak wangi." (Riwayat Ibnu Sa'ad)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Sa'ad bin Rabi' r.a.

Zaid bin Tsabit r.a. menceritakan bahwa pada perang Uhud, Rasulullah Saw menyuruhnya mencari Sa'ad bin Rabi'. Rasulullah Saw berkata, "Kalau kamu bertemu dengannya, sampaikan salamku untuknya dan tanyakan kabarnya."
Zaid menemukan Sa'ad bin Rabi' sedang sekarat karena terkena 70 luka tusukan tombak, sabetan pedang, dan lemparan anak panah. Kemudian Sa`ad berkata, "Katakan kepada Rasulullah bahwa aku benar-benar telah mencium wangi surga. Katakan juga kepada kaumku Anshar agar mereka jangan khawatir jika telah mengikhlaskan diri kepada Rasulullah Saw. dan sesungguhnya mereka telah berada di ujung perjalanan." Akhirnya Sa'ad bin Rabi' menghembuskan nafas terakhirnya. (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Sa'ad bin `Ubadah r.a.

Sejak dulu penduduk D:unaskus telah sepakat bahwa makam Sa'ad bin 'Ubadah ada di suatu dataran rendah di Damaskus, di sebuah desa berriama Al-Manihah. Syaikh Jalaluddin menjelaskan.bahwa Abu Ishaq Ibrahim bin Abdullah Al-Armawi berziarah ke makam Sa'ad bin `Ubadah r.a. berkali-kali, tetapi seringkali la ragu apakah yang diziarahinya itu betul makam Sa`ad atau bukan. Suatu hari ketika Abu Ishaq berada di makam itu, ia terserang kantuk, tiba-tiba bagian atas makam itu terbelah, lalu muncul seorang laki-laki tinggi, seorang badui yang mengenakan cadar, dan di pinggangnya terselip tombak. Laki-laki itu melihat dari ketinggian seraya berkata, 'Aku adalah Sa'ad." Abu Ishaq terbangun, lalu berkata, "Ini benar-benar makamnya." Kemudian la membaca Al-Qur'an, berdoa, lalu pergi. Dikemukakan oleh Jalaluddin al-Bashri al Dimasyq dalam kitabnya Tubfat al-Anam fi Fadhaili al-Syam)
Sa'ad bin `Utiadah r.a. wafat di Syam pada masa kekhalifahan Abu Bakar tahun 14 H.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Sa'id bin Zaid r.a.

'Urwah bin Zubair menceritakan bahwa Said bin Zaid r.a. pernah diadukan oleh Urwa binti Uwais kepada Marwan bin Hakam. Urwa menuduh Sa'id telah mengambil sedikit tanahnya. Sa'id lalu berkata, "Apakah aku akan mengambil tanahnya setelah aku mendengar sabda Rasulullah Saw?" Marwan bin Hakam kemudian bertanya, "Apa yang kau dengar dari Rasulullah Saw.?" Sa`id menjawab, 'Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka yang sejengkal itu akan dikalungkan di lehernya menjadi tujuh lapis bumi."' Marwan berkomentar,'Aku tidak akan memintamu menunjukkan bukti lagi setelah mendengar hadis ini." Sa'id kemudian berdoa, "Ya Allah, kalau Urwa itu berdusta, maka butakanlah matanya dan matikanlah ia di atas tanahnya." Urwa meninggal dunia setelah matanya buta, dan sewaktu ia berjalan di tanahnya, dia terperosok ke dalam lubang, lalu mati. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Urwa binti Uwais buta, lalu menabrak dinding, seraya berkata, 'Aku menderita karena doa Sa'id." Kemudian Urwa binti Uwais melewati sumur di tanah tempat terjadinya sengketa tanah dengan Sa'id bin Zaid, la terperosok dan terkubur dalam sumur itu. (Diriwayatkan oleh Muslim dari Muhammad bin Zaid bin `Abdullah bin Amr)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Sa`ad bin Abi Waqash r.a.

Table of contents 

Kisah 1

Jabir r.a. menceritakan bahwa penduduk Kufah mengadukan Sa'ad bin Abi Waqash kepada Khalifah `Umar. 'Umar lalu mengutus seseorang untuk bertanya tentang Sa'ad kepada orang-orang Kufah. Utusan itu berkeliling dari masjid ke masjid di Kufah dan semua orang yang ditanyainya memberikan penilaian positif terhadap Sa'ad. Akhirnya ia berhenti di sebuah masjid dan bertemu dengan seorang laki-laki yang mengaku bernama Abu Sa'dah. Laki-laki itu berkata, "Kami mengadukan Sa'ad karena ia tidak membagi rampasan secara sama rata, tidak berjalan bersama pasukannya,dan tidak berlaku adil dalam menghukumi sesuatu." Maka Sa'ad berdoa, "Ya Allah, kalau ia berdusta, maka panjangkanlah umurnya, panjangkan kefakirannya, dan timpakan berbagai fitnah padanya."
Ibnu Amir menceritakan bahwa ia menyaksikan laki-laki yang mengadukan Sa'ad itu berumur panjang, sampai-sampai alisnya menutupi mata karena saking panjangnya, ia betul-betul ditimpa kemiskinan, dan di sebuah jalan ia pernah bertemu dengan budak-budak perempuan kemudian merabanya, karena itu ia terkena fitnah. Sewaktu ditanya, "Mengapa kamu bisa jadi begini?" Jawabnya, "Aku menjadi tua bangka dan terkena fitnah karena doa Sa'ad." (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Al-Baihaqi dari jalur Abdul Mulk bin Amir)
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Sa'ad tengah berpidato di hadapan penduduk Kufah, ia bertanya, "Bagaimana kepemimpinanku menurut pandangan kalian?" Seorang laki-laki berseru, "Engkau sungguh tidak adil dalam mengemban tanggung jawab, tidak membagi secara rata, dan tidak ikut berperang bersama pasukan." Sa'ad berdoa, "Ya Allah, kalau ia berdusta, maka butakanlah matanya, segerakan kefakirannya, panjangkan umumya, dan timpakan fitnah padanya." Lelaki itu kemudian buta, jatuh miskin sehingga menjadi peminta-peminta, difitnah sebagai orang yang sombong dan pembohong, dan karena itu ia dibunuh. (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalur Mush'ab bin Sa'ad)
Riwayat lain menceritakan bahwa ada seorang laki-laki muslim mengejek Sa'ad bin Abi Waqash. Kemudian Sa'ad berdoa, "Ya Allah, potonglah lidah dan tangannya dengan kehendak-Mu." Pada waktu perang Kadisiyah, laki-laki itu terlempar hingga lidah dan tangannya putus. Ia tidak bisa berbicara sepatah kata pun sampai ajal menjemputnya. (Diriwayatkan oleh Al Thabrani, Ibnu `Asakir dan Abu Na'im dari Qabishah bin Jabir)
Dikisahkan pula bahwa ada seorang perempuan yang mempunyai perawakan seperti anak kecil. Orang-orang mengolok-oloknya, "Itu puteri Sa'ad, ia membenamkan tangannya pada tempat bersuci Sa'ad." Kemudian Sa'ad berdoa, "Semoga Allah menunjukkan kekuatanmu meskipun engkau tidak bisa tumbuh besar lagi." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Asakir dari Mughirah)
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa ada seorang perempuan terus menerus memperhatikan Sa`ad, Sa'ad menegurnya, tetapi ia tidak mengindahkannya. Suatu hari ketika perempuan itu muncul, Sa'ad berkata, "Buruk sekali wajahmu." Tiba-tiba wajah pcrempuan itu memuntir ke belakang dan tidak bisa menoleh ke depan. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Asakir dari Mana' dari Abdurrahman bin Auf)
Qais bertutur, "Ada seorang laki-laki mengejek Ali. Maka Sa'ad berdoa, 'Ya Allah, laki-laki ini telah mengejek salah seorang walimu. Jangan pisahkan golongan ini, sampai Engkau perlihatkan kekuasaanMu.' Demi Allah, kami belum berpisah, hingga kudanya terbenam ke dalam lumpur, kemudian ia terlempar di bebatuan, sampai otaknya keluar dan akhirnya mati" (Riwayat Al- Hakim).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Sa'ad mendoakan buruk untuk seorang laki-laki. Tiba-tiba laki-laki itu tertubruk seekor unta betina hingga ia mati. Kemudian Sa'ad menahan nafas dan bersumpah tidak akan mendoakan buruk untuk seorang pun (Riwayat Al-Hakim dari Mush'ab bin Sa'ad).
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Al-Musayyab bahwasanya Marwan pernah berkata, "Harta ini milik kami maka kami berhak memberikannya kepada orang yang kami kehendaki." Kemudian Sa`ad mengangkat kedua tangannya dan berkata, 'Aku akan berdoa." Marwan meloncat, lalu merangkulnya sambil berseru, "Engkau akan berdoa kepada Allah, hai Abu Ishaq. Tolong jangan berdoa, karena harta itu adalah milik Allah."
Diceritakan pula bahwa Sa'ad bin Abi Waqash pernah berdoa, "Ya Allah, hamba memiliki anak-anak yang masih kecil, maka tangguhkan kematianku sampai mereka dewasa (balig)." Dua puluh tahun kemudian, Sa'ad baru menemui ajalnya, sesudah menderita sakit parah. (Riwayat Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dari Yahya bin Abdurrahman bin Labibah)
Dikisahkan juga bahwa ketika Sa'ad sedang berjalan-jalan, lewatlah seorang laki-laki sambil mencaci maki Ali, Thalhah, dan Zubair. Sa'ad berkata kepada laki-laki itu, "Kamu mencaci-maki para pemimpin yang dianugerahi keunggulan oleh Allah. Demi Allah, kamu harus menghentikan cacianmu kepada mereka atau aku akan mendoakan keburukan untukmu." Laki-laki itu menjawab, "Kamu menakutiku, seolah-olah kamu ini nabi." Sa'ad lalu berdoa, "Ya Allah, ia telah mencaci-maki para pemimpin yang telah Engkau unggulkan, maka timpakan malapetaka padanya hari ini." Tiba-tiba datanglah seorang peramal perempuan sehingga orang-orang berlarian menghindarinya, lalu sang peramal memukul laki-laki itu dengan keras. Orang-orang mengikuti Sa'ad, dan berkata, 'Allah telah mengabulkan doamu, ya Abu Ishaq." Doa Sa'ad mustajab, karena Nabi Saw telah mendoakan agar doanya mustajab. (Riwayat Al Thabrani dari Amir bin Sa'ad)
Al-Tirmidzi dan Al-Hakim meriwayatkan dan menyatakan kesahihan hadis Nabi tentang Sa'ad, "Ya Allah, kabulkanlah semua doa yang dipanjatkan Sa'ad!" Hingga setiap doa yang dilantunkan Sa'ad selalu dikabulkan Allah. Dalam hadis lain juga dinyatakan, "Ya Allah, kabulkanlah doa Sa'ad dan tepatkanlah lemparan panahnya!"

Kisah 2

Riwayat lain menceritakan bahwa ketika Sa'ad bin Abi Waqash r.a. sampai di sungai Tigris, ia mencari perahu untuk menyeberang, tetapi ia tidak berhasil karena perahu-perahu telah ditambatkan. Sa'ad dan pasukannya tinggal di sana beberapa hari pada bulan Safar. Tiba-tiba datang air pasang. Sa'ad bermimpi melihat sekawanan kuda milik pasukan muslimin menceburkan diri ke sungai, lalu menyeberangi air pasang itu, padahal air pasang sungai Tigris sangat tinggi. Sa'ad menakwilkan mimpinya sebagai petunjuk agar ia menyeberangi sungai itu. Maka ia mengumpulkan pasukannya, lalu berkata, 'Aku akan menyeberangi sungai ini," dan mereka menyetujuinya. Sa`ad mempersilakan pasukannya untuk menceburkan diri ke sungai, lalu berkata, "Katakanlah! Kami memohon pertolongan Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Cukuplah Allah bagi kami, sebaik-baik Zat tempat memasrahkan diri. Tiada daya dan kekuatan, kecuali milik Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung." Lalu mereka menceburkan diri ke Sungai Tigris, menyeberangi air yang pasang itu, dan terombang-ambing ombak. Sungguh ajaib, mereka terapung di sungai itu sambil berbincang-bincang dan berpasangan, seperti ketika berjalan di daratan. Orang-orang Persia merasa heran dengan hal yang tidak masuk akal tersebut. Pasukan muslimin kemudian menaklukkan Persia dan segera mengumpulkan sebagian besar kekayaan mereka, yaitu kota-kota di Persia. Pada bulan Safar tahun 16 H, kaum muslimin menguasai rumah-rumah peninggalan kerajaan Persia. (Riwayat Abu Na'im dari Ibnu al-Dafili)
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Sa'ad berkata, "Kami menyeberangi sungai Tigris sambil membawa kuda dan binatang piaraan kami, sampai tak seorang pun melihat air dari dua tepinya. Kuda-kuda itu mendatangi pasukanku sambil menghela surainya diiringi ringkikan. Ketika melihat tingkah kuda tersebut, pasukanku segera menyeberangi sungai itu tanpa memedulikan apa pun. Tidak ada sesuatu pun milik pasukanku yang hilang dalam air, hanya sebuah gelas yang pegangannya telah pecah. Gelas itu terjatuh dan hanyut terbawa air. Namun angin dan gelombang menyeretnya ke tepi dan pemiliknya mengambilnya kembali." (Abu Na'im meriwayatkan kisah ini dari Abu `Utsman al-Nahdi)
Riwayat lain menyebutkan bahwa orang yang berjalan di atas air bersama Sa'ad adalah Salman al-Farisi. Pasukan Sa'ad menyeberangi sungai Tigris sambil terapung beserta kuda-kuda mereka. Sa'ad berkata, "Cukuplah Allah bagi kami, Dialah sebaik-baik Zat tempat memasrahkan diri. Demi Allah, Allah benar-benar akan menolong wali-Nya, memenangkan agama-Nya, dan mengalahkan musuh-Nya, jika dalam diri pasukan tidak ada kejahatan atau dosa yang mengalahkan kebaikan." Salman berkata kepada Sa'ad, "Sesungguhnya Islam itu baru. Demi Allah, lautan tunduk kepada Sa'ad dan pasukannya seperti halnya daratan tunduk kepada mereka. Mereka menyeberangi sungai, hingga air itu tidak terlihat dari tepian. Sambil terapung di sungai, mereka berbincang-bincang lebih banyak daripada ketika mereka berjalan di daratan. Mereka berhasil melintasinya, tidak ada sesuatu pun yang hilang, dan tidak ada seorang pun yang tenggelam." (Diriwayatkan oleh Abu Na'im dari Abu Bakar bin Hafsh bin `Umar)
Riwayat lain menceritakan bahwa Sa'ad dan pasukannya menccburkan diri ke sungai Tigris berpasang-pasangan. Salman menjadi pasangan Sa'ad, mereka berdampingan berjalan di atas air. Sa'ad berkata, "Demikianlah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." Air sungai Tigris mengapungkan Sa'ad dan pasukannya, sementara kuda mereka menyeberangi sungai sambil berdiri tegak. Bila Sa'ad lelah, di depannya terhampar sebuah gundukan, lalu ia beristirahat di atasnya seolah-olah berada di atas tanah. Tidak ada pemandangan yang lebih menakjubkan selain pemandangan itu, karena itulah hari itu disebut dengan Yaumul Jaratsim. Jika ada yang lelah, maka di depannya terhampar sebuah gundukan tempat untuk istirahat. (Riwayat Abu Na'im dari Amir al-Sha'idi)
Qais bin Abi Hazim berkata, "Kami menundukkan sungai Tigris yang sedang meluap airnya. Meskipun air pasang mencapai puncak ketinggiannya, prajurit berkuda tetap tegak dan air tidak sampai menyentuh ikat perut kudanya," (Riwayat Abu Na'im).
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa ketika kaum muslimin menyeberangi sungai Tigris, penduduk Persia berkata, "Mereka itu jin, bukan manusia," (Riwayat Abu Na'im dari Habib bin Shahban, dikutip dari kitab Hujjatullah 'ala al-'Alaamin).
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Safinah r.a., pelayan Rasulullah Saw.

Safinah bercerita, "Aku naik perahu, kemudian perahu itu pecah, maka aku naik papan pecahan dari perahu itu sampai ke pantai. Kemudian aku bertemu seekor macan, aku menyapanya, 'Hai Abul Harits (julukan harimau), aku adalah Safinah, pelayan Rasulullah Saw'. Harimau itu menundukkan kepalanya dan menaikkanku ke atas pundaknya, lalu mengantarku sampai di sebuah jalan. Di jalan itu, ia mengaum. Maka aku paham ia mengucapkan selamat berpisah denganku. (Diriwayatkan oleh Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah dari Muhammad bin Munkadir)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Salman al-Farisi r.a.

Table of contents 

Kisah 1

Salah satu karamah Salman adalah ketika suatu hari ia keluar dari Madain bersama seorang tamu, tiba-tiba ada sekawanan kijang berjalan di padang pasir dan burung-burung beterbangan di angkasa raya. Salman berkata, "Kemarilah wahai burung dan kijang, karena aku kedatangan seorang tamu yang sangat ingin aku muliakan. Maka datanglah seekor burung dan kijang kepadanya. Tamu itu berkata, "Maha Suci Allah." Kemudian Salman berkata kepadanya, "Apakah engkau heran melihat seorang hamba yang taat kepada Allah, tetapi ia didurhakai oleh sesuatu?" (Kisah ini aku kemukakan dalam kitab Hujjatullah 'ala al-Alamin dan dikemukakan juga oleh Syaikh Abdul Majid al-Khan al-Dimasyqi dalam kitabnya Al-Hadaiq al- Wardiyyah fi Ajla'i al Tharigah al-Naqsyabandiyyah)

Kisah 2

Harits bin Amir melakukan perjalanan sampai di Madain. Ia bertemu seorang laki-laki berpakaian lusuh membawa kulit yang disamak berwarna merah yang digunakan dalam pertempuran. Laki-laki itu menoleh ke arah Harits, lalu berkata, "Tetaplah di tempatmu, ya Abdullah!" Harits bertanya kepada orang di sampingnya, "Siapa orang ini?" Jawabnya, "Salman."
Lalu Salman masuk ke dalam rumahnya, dan mengenakan baju putih. la menyambut Harits, meraih tangannya, dan menyalaminya. Harits lalu berkata, "Ya Abu Abdullah, engkau belum pernah bertemu denganku sebelumnya, dan aku juga belum pernah bertemu denganmu. Engkau tidak mengenalku, begitu juga aku tidak mengenalmu." Salman menjawab, "Ya, demi Zat yang menguasai jiwaku. Ruhku telah mengenal ruhmu ketika aku bertemu denganmu. Bukankah engkau Harits bin `Amir?" Harits menjawab, "Ya." Salman menegaskan,'Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, `Ruh-ruh itu laksana tentara yang berperang. Tentara yang dikenal adalah kawan dan yang tak dikenal adalah lawan."' (Diriwayatkan oleh Syaikh Abdul Majid dari Abu Na'im)
Karamah ini juga dikemukakan dalam kitab Al Tabaqah karya Imam Munawi.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Tamim Al Dari r.a

Mu'awiyah bin Harmal bercerita, "Ada api keluar dari tanah yang tak berpasir. Khalifah `Umar kemudian menemui Tamim al-Dari dan menyuruhnya pergi ke tempat munculnya api itu. Maka Tamim bangkit bersama `Umar, dan aku mengikuti mereka. Keduanya pergi ke tempat api itu. Kemudian Tamim menggiring api itu dengan tangannya, sampai api itu masuk ke sebuah gua, Tamim menyusul di belakangnya. Lalu 'Umar berkata, `Tidaklah sama antara orang yang menyaksikan hal in dengan yang tidak menyaksikannya,"Umar mengucapkannya tiga kali. (Riwayat Al-Baihaqi dan Abu Na'im)
Dalam riwayat lain dari Abu Na'im diceritakan bahwa Marzuq berkata, "Pada masa 'Umar, ada api muncul. Tamim al-Dari berusaha menggiring api itu dengan selendangnya, sampai api itu masuk ke sebuah gua. Lalu `Umar berkata kepada Tamim, 'Seperti inilah, kami pernah menyembunyikanmu."'
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Tsabit bin Qais r.a.

Abdullah bin `Ubaidillah al-Anshari bercerita, "Aku ikut menguburkan Tsabit bin Qais r.a. yang gugur dalam perang Yamamah. Ia adalah juru bicara kaum Anshar. Nabi Saw. pernah menyatakan bahwa ia termasuk ahli surga. Ketika kami memasukkan jenazah Tsabit ke dalam liang lahat, kami mendengar Tsabit berkata, 'Muhammad adalah utusan Allah, Abu Bakar itu orang yang tepercaya, 'Umar itu seorang syahid, dan 'Utsman itu orang yang baik lagi penyayang.' Kami mendengar ucapannya secara langsung, padahal ia sudah menjadi mayat." (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan pengarang kitab Al-Syifa')
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Ummu Aiman r.a.

Tsabit, Abu 'Imran al-Juni, dan Hisyam bin Hisan menceritakan bahwa Ummu Aiman hijrah dari Mekkah ke Madinah tanpa membawa bekal sedikit pun. Sesampai di Rauha, ia didera haus yang amat sangat. Kemudian ia mendengar desiran yang sangat keras di atas kepalanya. Tiba-tiba ada timba yang menjulur dari langit dengan tali timba berwarna putih. Ia menggapai timba itu dan memegangnya, kemudian minum sampai puas. Ummu Aiman berkata, "Setelah meminumnya, aku berpuasa di hari yang sangat panas. Lalu aku berputar-putar di bawah terik matahari yang bisa membuatku dahaga, tetapi aku tidak merasakan dahaga lagi" (Riwayat Al-Baihaqi). Cerita ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Muni` dalam musnadnya dari jalur sanad yang lain.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Ummu Syarik al-Dausiyah r.a.

Table of contents 

Kisah 1

Yahya bin Sa'id menceritakan bahwa Ummu Syarik al-Dausiyah berhijrah, di tengah jalan ia berkawan dengan seorang Yahudi. Pada waktu itu, Ummu Syarik al-Dausiyah dalam keadaaan berpuasa. Orang Yahudi itu berkata kepada isterinya, "Jika engkau memberinya minum, aku benar-benar akan marah." Sampai di penghujung malam, Ummu Syarik al-Dausiyah masih berpuasa karena tidak ada makanan untuk berbuka. Tiba-tiba di atas dada Ummu Syarik ada timba, lalu ia meminumnya. Kemudian orang Yahudi tersebut berkata, "Aku mendengar suara orang minum." Istri Yahudi itu menyahut, "Demi'Allah, aku tidak memberinya minum." (Riwayat Ibnu Sa'ad dari `Arim bin al-Fadhl dari Hammad bin Zaid)

Kisah 2

Ibnu Sa'ad juga menceritakan bahwa Ummu Syarik al-Dausiyah memiliki wadah lemak sapi yang dianggap jelek oleh orang yang mendatanginya. Ada seseorang mengunjunginya, lalu Ummu Syarik berkata, "Di dalam wadah ini, terdapat apa yang dibutuhkan." Ia meniup wadah itu dan menjemurnya di panas matahari. Tiba-tiba wadah itu telah penuh dengan mentega. Ada yang berpendapat bahwa wadah lemak sapi Ummu Syarik termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Utsman bin 'Affan r.a.

Table of contents 

Kisah 1

Dalam kitab Al-Thabaqat, Taj al-Subki menceritakan bahwa ada seorang laki-laki bertamu kepada 'Utsman. Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia menghayalkannya. 'Utsman berkata kepada laki-laki itu, "Aku melihat ada bekas zina di matamu." Laki-laki itu bertanya, "Apakah wahyu masih diturunkan sctelah Rasulullah Saw wafat?" `Utsman menjawab, "Tidak, ini adalah firasat seorang mukmin." `Utsman r.a. mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan menegur laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.
Selanjutnya Taj al-Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah, sehingga ia bisa mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi karena mengetahui sebab kotornya, seperti 'Utsman r.a. Ketika ada seorang laki-laki datang kepadanya, `Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya yakni karena menghayalkan seorang perempuan.
Artinya, setiap maksiat itu kotor, dan menimbulkan noda hitam di hati sesuai kadar kemaksiatannya sehingga membuatnya kotor, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, "Sekali-kali tidak demikian, sesungguhnya apa yang mereka kerjakan itu mengotori hati mereka (QS Al-Muthaffifin [83]: 14).
Semakin lama, kemaksiatan yang dilakukan membuat hati semakin kotor dan ternoda, sehingga membuat hati menjadi gelap dan menutup pintu-pintu cahaya, lalu hati menjadi mati, dan tidak ada jalan lagi untuk bertobat, seperti dinyatakan dalam firman Nya, Dan hati mereka telah dikunci mati, sehingga mereka tidak mengetahui kebahagiaan beriman dan berjihad. (QS Al Taubah [9]: 87)
Sekecil apa pun kemaksiatan akan membuat hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki mata batin yang tajam seperti 'Utsman bin `Affan, sehingga ia bisa mengetahui kotoran hati meskipun kecil, karena menghayalkan seorang perempuan merupakan dosa yang paling ringan, `Utsman dapat melihat kotoran hati itu dan mengetahui sebabnya. Ini adalah maqam paling tinggi di antara maqam-maqam lainnya. Apabila dosa kecil ditambah dosa kecil lainnya, maka akan bertambah pula kekotoran hatinya, dan apabila dosa itu semakin banyak maka akan membuat hatinya gelap. Orang yang memiliki mata hati akan mampu melihat hal ini. Apabila kita bertemu dengan orang yang penuh dosa sampai gelap hatinya, tetapi kita tidak mampu mengetahui hal tersebut, berarti dalam hati kita masih ada penghalang yang membuat kita tidak mampu melihat hal tersebut, karena orang yang mata hatinya jernih dan tajam pasti akan mampu melihat dosa-dosa orang tersebut.

Kisah 2

Ibnu `Umar r.a. menceritakan bahwa Jahjah al-Ghifari mendekati 'Utsman r.a. yang sedang berada di atas mimbar. Jahjah merebut tongkat 'Utsman, lalu mematahkannya. Belum lewat setahun, Allah menimpakan penyakit yang menggerogoti tangan Jahjah, hingga merenggut kematiannya. (Riwayat Al-Barudi dan Ibnu Sakan)
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Jahjah al-Ghifari mendekati `Utsman yang sedang berkhutbah, merebut tongkat dari tangan `Utsman, dan meletakkan di atas lututnya, lalu mematahkannya. Orang-orang menjerit. Allah lalu menimpakan penyakit pada lutut Jahjah dan tidak sampai setahun ia meninggal. (Riwayat Ibnu Sakan dari Falih bin Sulaiman yang saya kemukakan dalam kitab Hujjatullah `ala al-Alamin)

Kisah 3

Diceritakan bahwa Abdullah bin Salam mendatangi `Utsman r.a. yang sedang dikurung dalam tahanan untuk mengucapkan salam kepadanya. 'Utsman bercerita, "Selamat datang saudaraku. Aku melihat Rasulullah Saw dalam ventilasi kecil ini. Rasulullah bertanya, "Utsman, apakah mereka mengurungmu?' Aku menjawab, `Ya.' Lalu beliau memberikan seember air kepadaku dan aku meminumnya sampai puas. Rasulullah berkata lagi, `Kalau kau mau bebas.niscaya engkau akan bebas, dan kalau kau mau makan bersama kami mari ikut kami.' Kemudian aku memilih makan bersama mereka." Pada hari itu juga, `Utsman terbunuh.
Menurut Jalaluddin al-Suyuthi, kisah ini adalah kisah masyhur yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis dengan beberapa sanad berbeda, termasuk jalur sanad Harits bin Abi Usamah. Menurut Ibnu Bathis, apa yang dialami 'Utsman adalah mimpi pada saat terjaga sehingga bisa dianggap karamah. Karena semua orang bisa bermimpi ketika tidur, maka mimpi ketika tidur tidak termasuk kejadian luar biasa yang bisa dianggap sebagai karamah. Hal ini disepakati oleh orang yang mengingkari karamah para wali. (Dikutip dalam Tabaqat al-Munawi dari kitab Itsbat al-Karamah karya Ibnu Bathis)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Ya'la bin Marrah

Ya'la bin Marrah berkata, "Kami bersama Rasulullah melewati pemakaman. Aku mendengar rintihan kesakitan dari dalam suatu makam, lalu aku bertanya, 'Ya Rasulullah, aku mendengar rintihan kesakitan dari dalam kubur.' Rasulullah bertanya, `Kamu bisa mendengarnya, Ya`la?' Aku menjawab, `Ya.' Kemudian Rasulullah berkata, `Sesungguhnya ia sedang disiksa karena hal yang sepele.' Aku bertanya, 'Karena apa?' Rasulullah menjawab, `Adu domba dan kencing."' (HR Al-Baihaqi)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Zaid bin Kharijah al-Anshari

Zaid bin Kharijah al-Anshari adalah keturunan Bani Harits bin Khazraj. Ia wafat pada masa 'Utsman. Setelah jenazahnya dibungkus kain kafan, terdengar suara keras dari dalam dadanya, "Terpujilah Muhammad, terpujilah Muhammad dalam lauh mahfuzh. Benarlah Abu Bakar al-Shiddiq, benarlah Abu Bakar al-Shiddiq yang lemah jiwanya tetapi teguh menegakkan perintah Allah, dalam lauh mahfuzh. Benarlah `Umar bin Khattab, benarlah `Umar bin Khattab yang kuat lagi tepercaya dalam lauh mahfuzh. Benarlah `Utsman bin Affan, benarlah `Utsman bin Affan yang mengatur sistem mereka. Enam tahun setelah ini akan muncul berbagai fitnah, yang kuat memangsa yang lemah, tanda-tanda kiamat muncul, dan akan datang dari pasukan kalian, berita tentang sumur Aris (sebuah sumur di Madinah)." Kemudian ada seorang lakilaki dari Bani Khathmah meninggal. Jenazahnya dikafani dengan bajunya, lalu terdengar suara keras dari dalam dadanya, "Benarlah, benarlah apa yang telah dikatakan oleh Zaid dan Bani Harits bin Khazraj." (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Sa'id bin Musayyab)
Al-Baihaqi menjelaskan cerita tentang sumur Aris, "Nabi Saw membuat sebuah cincin kemudian memakainya, lalu cincin itu dipakai Abu Bakar, disusul `Umar, dan terakhir `Utsman, sampai kemudian cincin itu jatuh ke sumur Aris pada tahun keenam pemerintahan `Utsman. Sejak saat itu, kinerja Utsman berubah dan sebab-sebab fitnah muncul, seperti yang telah dikatakan jenazah Zaid bin Kharijah enam tahun sebelumnya."
Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa sahabat rasulullah yang mampu berbicara setelah meninggal dunia adalah Kharijah bin Zaid, sebagaimana diceritakan oleh Nu'man bin Basyir. Kharijah bin Zaid adalah salah seorang pemimpin kaum Anshar. Suatu hari, ketika ia melewati sebuah jalan di Madinah antara waktu zuhur dan asar, mendadak ia jatuh, lalu wafat. Mendengar berita wafatnya Kharijah, kaum Anshar mengetahui mendatanginya dan membawanya ke rumahnya, mengafaninya dengan pakaian dan dua buah selendang. Kaum Anshar baik laki-laki maupun perempuan menangisi kematiannya. Jenazah Kharijah dibiarkan terbungkus kain kafan dalam waktu lama, karena orang-orang meratapi kematiannya yang mendadak, sehingga mereka tidak menyegerakan pemakamannya. Pada waktu antara magrib dan isya, orang-orang mendengar suara mengatakan, "Diamlah kalian semua! Diamlah kalian semua!" Mereka mencari asal suara itu, ternyata suara itu muncul dari bawah pakaian yang ditutupkan ke jenazah Kharijah. Lalu mereka membuka penutup wajahnya, tiba-tiba jenazah Kharijah berkata, "Muhammad adalah urusan Allah, seorang nabi yang ummi, penutup para nabi yang tidak ada nabi setelahnya. Sebagaimana yang ditetapkan dalam lauh mahfuzh." Lalu berkata lagi, "Benarlah, benarlah." Lalu berkata, "Ini adalah utusan Allah, semoga keselamatan, rahmat, dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan atasmu ya Rasuullah, begitu juga rahmat dan barakah Allah." Kemudian ia wafat kembali seperti semula. (Riwayat Al Thabrani).
Riwayat ini dikutip dari kitab saya (penulis), Hujjatullah `ala al-'Alamin. Dalam kisah itu, seolah-olah Kharijah bin Zaid melihat ruh Nabi Saw hadir di sampingnya. Ia hanya menyebutkan tiga khalifah setelah Rasulullah Saw. wafat dan memuji mereka, tetapi tidak menyebutkan Ali, karena ketika itu Ali belum menjabat khalifah. Kemudian aku mengecek hal tersebut dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir pada bab tentang biografi Kharijah bin Zaid al-Khazraji. Saya melihat ada perbedaan pendapat tentang tokoh dalam kisah ini, apakah Kharijah bin Zaid atau Zaid bin Kharijah. Di akhir pembahasannya, Ibnu Atsir mengatakan bahwa pendapat yang benar adalah Zaid bin Kharijah.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Zainab Ummu Kultsum

Sayyidah Zainab Ummu Kultsum adalah putri Sayyidina All bin Abi Thalib dari Sayyidah Fatimah al-Zahra' r.a., juga istri `Umar bin Khatthab r.a. Dalam kitab Al-Isyarat fi Amakin al-Ziyarat, Ibnu Haurani mengemukakan bahwa `Umar menikahi Sayyidah Zainab dengan mahar 40.000. Sayyidah Zainab melahirkan Zaid yang bergelar Dzul Hilalain dan hanya sebentar mendampingi `Umar. Ia wafat di Ghauthah, daerah di Damaskus, setelah peristiwa pembunuhan saudara laki-lakinya, Husain r.a. Ia dimakamkan di daerah yang bernama Rawiyah, selanjutnya daerah tersebut dinamai dengan nama Sayyidah Zainab Ummu Kultsum, yang sekarang terkenal dengan sebutan Makam Al-Sittu.
Syaikh Abu Bakar al-Maushili bercerita, "Aku menziarahi makam Sayyidah Zainab satu kali bersama sekelompok sahabatku. Aku tidak masuk ke makamnya, tetapi hanya menghadap ke arah makamnya. Kami menundukkan pandangan sebagaimana ditetapkan para ulama bahwa peziarah sebaiknya menghormati mayit sebagaimana ketika ia masih hidup. Ketika aku sedang menangis dengan khusyuk dan rendah hati, tiba-tiba aku melihat sosok perempuan bertubuh besar, terhormat, dan berwibawa. Orang tidak akan mampu memandangnya karena begitu menghormatinya. Kemudian perempuan itu menoleh ke arahku dan berkata, 'Hai anakku, semoga Allah menambahkan penghormatan dan kesopanan kepadamu. Tahukah kamu bahwa kakekku adalah Rasulullah Saw dan para sahabatnya selalu menziarahi Ummu Aiman, karena ia perempuan terhormat. Sampaikan kabar gembira kepada umat bahwa kakekku, para sahabat, dan anak cucunya mencintai umat ini, kecuali orang yang murtad dari agama ini karena mereka membencinya.' Aku gelisah memikirkan ucapan perempuan itu yang bagiku merupakan misteri. Ketika aku sadar sepenuhnya, perempuan itu tak tampak lagi. Akhirnya, aku rajin menziarahi makam Sayyidah Zainab sampai sekarang." Ibnu Asakir mengatakan bahwa di sebelah barat makam Sayyidah Zainab r.a. terdapat makam Sayyid Mudrik al-Shahabi. (Diceritakan oleh Ibnu Haurani)
Ibnu al-Atsir telah menulis biografi tentang Sayyidah Zainab r.a. dalam kitab Usud al-Ghabah, dan menuturkan bahwa Sayyidah Zainab r.a. dilahirkan sebelum Rasulullah Saw wafat. Setelah dinikahi `Umar, ia menikah lagi dengan putra pamannya yaitu 'Aun bin Ja'far, sesuai perintah ayahandanya. Sayyidah Zainab dan anak laki-lakinya Zaid, wafat pada waktu yang sama. Abdullah bin `Umar menshalati jenazahnya atas perintah saudara laki-laki Zainab r.a. yaitu Hasan r.a.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Zanirah r.a.

'Urwah menceritakan bahwa Abu Bakar r.a. memerdekakan tujuh orang di antara budak-budak yang disiksa tuannya karena beriman kepada Allah dan masuk.Islam. Di antaranya adalah Zanirah yang menjadi buta karena disiksa. Orang-orang musyrik mengatakan bahwa yang menyebabkan Zanirah buta hanyalah Lata dan `Uzza. Maka Zanirah menyangkalnya, "Sama sekali tidak, demi Allah bukan Lata dan 'Uzza yang membuatku buta." Kemudian Allah mengembalikan penglihatannya. (Riwayat Al-Baihaqi)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

`Abdullah bin Zubair r.a.

Ketika Abdullah bin Zubair disalib oleh Hajjaj (tokoh kafir dari Syam), orang-orang yang menyaksikannya mencium harum minyak wangi dari tubuhnya, sehingga penduduk Syam tertarik hatinya. (Dikemukakan oleh Syaikh `Ulwan al-Hawi dalam kitab Nasamat al-Ashar)

Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

`Ali bin Abi Thalib k.w.

Table of contents 

Kisah 1

Sid bin Musayyab menceritakan bahwa ia dan para sahabat menziarahi makam-makam di Madinah bersama `Ali. All lalu berseru, "Wahai para penghuni kubur, semoga dan rahmat dari Allah senantiasa tercurah kepada kalian, beritahukanlah keadaan kalian kepada kami atau kami akan memberitahukan keadaan kami kepada kalian." Lalu terdengar jawaban, "Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah senantiasa tercurah untukmu, wahai amirul mukminin. Kabarkan kepada kami tentang hal-hal yang terjadi setelah kami." All berkata, "Istri-istri kalian sudah menikah lagi, kekayaan kalian sudah dibagi, anak-anak kalian berkumpul dalam kelompok anak-anak yatim, bangunan-bangunan yang kalian dirikan sudah ditempati musuh-musuh kalian. Inilah kabar dari kami, lalu bagaimana kabar kalian?" Salah satu mayat menjawab, "Kain kafan telah koyak, rambut telah rontok, kulit mengelupas, biji mata terlepas di atas pipi, hidung mengalirkan darah dan nanah. Kami mendapatkan pahala atas kebaikan yang kami lakukan dan mendapatkan kerugian atas kewajiban yang yang kami tinggalkan. Kami bertanggung jawab atas perbuatan kami." (Riwayat Al-Baihagi)

Kisah 2

Dalam kitab Al-Tabaqat, Taj al-Subki meriwayatkan bahwa pada suatu malam, `Ali dan kedua anaknya, Hasan dan Husein r.a. mendengar seseorang bersyair:
Hai Zat yang mengabulkan doa orang yang terhimpit kezaliman
Wahai Zat yang menghilangkan penderitaan, bencana, dan sakit
Utusan-Mu tertidur di rumab Rasulullab sedang orang-orang kafir mengepungnya
Dan Engkau Yang Maha Hidup lagi Maha Tegak tidak pernah ttdur
Dengan kemurahan-Mu, ampunilah dosa-dosaku
Wahai Zat tempat berharap makhluk di Masjidil Haram
Kalau ampunan-Mu tidak bisa diharapkan oleh orang yang bersalah
Siapa yang akan menganugerahi nikmat kepada orang-orang yang durhaka.

`Ali lalu menyuruh orang mencari si pelantun syair itu. Pelantun syair itu datang menghadap Ali seraya berkata, "Aku, ya Amirul mukminin!" Laki-laki itu menghadap sambil menyeret sebelah kanan tubuhnya, lalu berhenti di hadapan All. Ali bertanya, "Aku telah mendengar syairmu, apa yang menimpamu?" Laki-laki itu menjawab, "Dulu aku sibuk memainkan alat musik dan melakukan kemaksiatan, padahal ayahku sudah menasihatiku bahwa Allah mcmiliki kekuasaan dan siksaan yang pasti akan menimpa orang-orang zalim. Karena ayah terus-menerus menasihati, aku memukulnya. Karenanya, ayahku bersumpah akan mendoakan keburukan untukku, lalu ia pergi ke Mekkah untuk memohon pertolongan Allah. Ia berdoa, belum selesai ia berdoa, tubuh sebelah kananku tiba-tiba lumpuh. Aku menyesal atas semua yang telah aku lakukan, maka aku meminta belas kasihan dan ridha ayahku sampal la berjanji akan mendoakan kebaikan untukku jika Ali mau berdoa untukku. Aku mengendarai untanya, unta betina itu melaju sangat kencang sampai terlempar di antara dua batu besar, lalu mati di sana."
`Ali lalu berkata, "Allah akan meridhaimu, kalau ayahmu meridhaimu." Laki-laki itu menjawab, "Demi Allah, demikianlah yang terjadi." Kemudian 'Ali berdiri, shalat beberapa rakaat, dan berdoa kepada Allah dngan pelan, kemudian berkata, "Hai orang yang diberkahi, bangkitlah!" Laki-laki itu berdiri, berjalan, dan kembali sehat seperti sedia kala. `Ali berkata, "Jika engkau tidak bersumpah bahwa ayahmu akan meridhaimu, maka aku tidak akan mendoakan kebaikan untukmu."

Kisah 3

Fakhrurrazi yang hanya sedikit memasukkan cerita-cerita tentang karamah para sahabat dalam kitabnya, juga meriwayatkan bahwa seorang budak kulit hitam penggemar `Ali mencuri. Budak itu diajukan kepada Ali dan ditanya, "Betulkah kau mencuri?" la menjawab, "Ya," maka `Ali memotong tangannya. Budak itu berlalu dari hadapan `Ali, kemudian berjumpa dengan Salman al-Farisi dan Ibnu al-Kawwa'. Ibnu al-Kawwa' bertanya, "Siapa yang telah memotong tanganmu?" Ia menjawab, "Amirul mukminin, pemimpin besar umat muslim, menantu Rasullah, dan suami Fatimah." Ibnu al-Kawwa' bertanya, "la telah memotong tanganmu dan kamu masih juga memujinya?" Budak itu menjawab, "Mengapa aku tidak memujinya? Ia mcmotong tanganku sesuai dengan kebenaran dan berarti membebaskanku dari neraka."
Salman mendengarkan penuturan budak itu, lalu menceritakannya kepada All. Selanjutnya Ali memanggil budak hitam itu, lalu meletakkan tangan yang telah dipotong di bawah lengannya, dan menutupnya dengan selendang, kemudian Ali memanjatkan doa. Orang-orang yang ada di sana tiba-tiba mendengar seruan dari langit, "Angkat selendang itu dari tangannya!" Ketika selendang itu diangkat, tangan budak hitam itu tersambung kembali dengan izin Allah.

Kisah 4

Dalam kitab Al-I`tibar, Usamah bin Munqidz mengemukakan kisah yang didengamya dari Syihabuddin Abu al-Fath, pelayan Mu'izuddaulah bin Buwaihi di Mosul pada tanggal 18 Ramadhan 566 M. Diceritakan bahwa ketika Syihabuddin berada di dalam Masjid Shunduriyah di pinggir kota Anbar daerah Tepi Barat, Khalifah Al-Muqtafi datang berkunjung bersama salah seorang menterinya. AI-Mugtafi memasuki masjid tersebut, yang dikenal dengan sebutan Masjid Amirul Mukminin Ali, dengan memakai baju biasa dan menyandang pedang yang hiasannya dari besi. Tak seorang pun mengetahui bahwa ia adalah seorang khalifah, kecuali orang-orang yang telah mengenalnya. Pengurus masjid mendoakan sang menteri. Lalu sang menteri berkata, "Celaka, doakanlah khalifah!"
Kemudian Khalifah Al-Mugtafi berkata kepada menterinya, "Tanyakan sesuatu yang bermanfaat pada pengurus masjid itu. Katakan padanya bahwa dulu pada masa pemcrintahan Maulana Al-Mustazhhir, aku melihat la menderita sakit di wajahnya. Wajahnya penuh bisul schingga jika mau makan, bisulnya harus ditutup dengan sapu tangan, agar makanan bisa masuk ke mulutnya."
Pengurus masjid itu menjelaskan, "Seperti Anda ketahui, aku berulang kali datang ke masjid ini dari Anbar. Suatu hari, ada seseorang menemuiku dan berkata, `Kalau engkau berulang kali menemui si Fulan setiap datang dari Anbar, seperti engkau berulang kali datang ke masjid ini, niscaya si Fulan akan memanggilkan tabib untukmu yang bisa menghilangkan penyakit di wajahmu.' Perkataan orang itu merasuk ke hatiku dan menghimpit dadaku. Lalu aku tertidur pada malam itu dan bermimpi bertemu amirul mukminin Ali bin Abi Thalib yang tengah berada dalam masjid tersebut seraya bertanya, `Lubang apa ini?' Maksudnya adalah sebuah lubang di tanah. Kemudian aku mengadukan penyakit yang menimpaku tetapi `Ali berpaling dariku. Maka aku kembali mengadukan penyakitku dan perkataan yang diucapkan oleh lelaki yang menemuiku di masjid tadi. All berkata, `Engkau termasuk orang yang menginginkan dunia.' Kemudian aku terbangun, dan tiba-tiba bisul-bisul di wajahku lenyap."
Khalifah Al-Mugtafi berkata, "Ia benar," lalu menoleh ke arah Syihabuddin dan berkata, "Bicaralah pada pengurus masjid itu, cari tahu apa yang la minta, tuliskan permintaannya disertai tanda tangannya, dan berikan padaku untuk kutandatangani."
Selanjutnya Syihabuddin berbincang-bincang dengan pengurus masjid itu, dan pengurus masjid itu bercerita, "Aku memiliki istri yang sedang menyusui anak dalam keadaan hamil dan beberapa anak perempuan. Setiap bulan, aku membutuhkan 3 dinar." Syihabuddin menuliskan permintaan pengurus masjid Ali itu beserta alamatnya dan Al-Mugtafi menandatanganinya.
Al-Mugtafi kemudian menyuruh Syihabuddin untuk menyampaikan permintaan pengurus masjid itu ke dewan keuangan. Syihabuddin membawa berkas permintaan pengurus masjid itu ke dewan keuangan dan dewan menandatanganinya tanpa membacanya serta mengambil bagian tulisan khalifah Al-Mugtafi. Ketika sekretaris dewan membuka tulisan itu untuk dipindahkan, ia menemukan tulisan khalifah Al-Mugtafi di bawah tanda tangan pengurus masjid Ali yang berbunyi, "Seandainya ia meminta lebih dari itu, tentu akan diberi."

Kisah 5

Kisah lainnya menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw menyuruh Abu Dzar memanggil Ali. Sesampai di rumah Ali, Abu Dzar melihat alat penggiling sedang menggiling gandum padahal tidak ada seorang pun di sana. Kemudian Abu Dzar menceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw Beliau berkata, "Hai Abu Dzar! Tahukah kau bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat yang berjalan-jalan di bumi dan mereka diperintahkan untuk membantu keluarga Nabi Muhammad Saw." (Dikemukakan olch Al-Shubban dalam kitab Is`af al-Raghibin dan Al Mala' dalam kitab Sirahnya)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

`Ashim bin Tsabit dan Khabib r.a.

Table of contents 

Kisah 1

Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw pernah mengirim pasukan yang dipimpin oleh Ashim bin Tsabit. Mereka berangkat, dan ketika tiba di daerah antara Asfan dan Mekkah, mereka teringat akan caci-maki suku Hudzail. Ternyata suku Hudzail membuntuti pasukan muslimin dari jarak dekat sejauh 100 lemparan anak panah. Suku Hudzail mengikuti jejak pasukan muslimin sampai kemudian berhasil menyusul mereka. Ashim dan pasukannya berada di Fad-Fad, sebuah tempat yang cukup tinggi. Namun suku Hudzail berhasil mengepung pasukan muslimin, dan mengadakan perjanjian, "Kalian harus berjanji bahwa jika kalian turun, maka kami tidak akan membunuh seorang pun dari kalian." Ashim menjawab, "Kami tidak akan turun untuk meminta perlindungan orang kafir. Ya Allah, kabarkanlah keadaan kami kepada Nabi-Mu!"
Suku Hudzail dengan liciknya memanah pasukan muslimin sehingga berhasil membunuh Ashim dan tujuh orang lainnya, yang tersisa adalah Khabib, Zaid bin Ditsnah, dan seorang lainnya. Akhirnya, tiga orang ini mau membuat perjanjian dan kesepakatan dengan suku Hudzail. Mereka turun, tetapi suku Hudzail melepaskan tali busur dengan bengis, lalu mengikat mereka. Ditsnah berkata, "Mereka melanggar perjanjian." Ditsnah menolak tunduk kepada suku Hudzail, maka mereka menarik dan memaksanya untuk tunduk kepada mereka, tetapi ia tetap tidak mau, akhirnya suku Hudzail membunuhnya.
Suku Hudzail membawa Khabib dan Zaid lalu dijual sebagai budak di Mekkah. Keturunan Harits bin 'Amir bin Naufal membeli Khabib, padahal Khabiblah yang membunuh Harits pada waktu perang Badar. Khabib menjadi tawanan mereka sampai ada kesepakatan mereka untuk membunuhnya.
Khabib meminjam pisau cukur dari salah seorang anak perempuan Harits, perempuan itu meminjamkannya. Perempuan itu berkata, "Aku lupa anakku ada di mana." Khabib mencari anak itu sampai menemukannya, lalu memangku anak itu di atas pahanya. Ketika perempuan itu melihat Khabib, ia betul-betul kaget karena Khabib juga menggenggam pisau cukur. Khabib bertanya, "Apakah kau takut aku akan membunuhnya? Insya Allah aku tidak akan melakukannya." Perempuan itu berkomentar, "Aku belum pernah melihat tawanan sebaik Khabib. Aku pernah melihatnya makan anggur yang baru saja dipetik, padahal ketika itu di Mekkah tidak musim buah-buahan dan ia masih terikat rantai besi. Itu tak lain rezeki dari Allah."
Ketika keturunan Harits membawa Khabib keluar dari Mekkah untuk dibunuh, Khabib meminta waktu untuk shalat dua rakaat. Ia melakukan shalat, lalu berdoa, "Ya Allah, lemparilah mereka terus menerus dengan kerikil, bunuhlah mereka semua, hingga tiada seorang pun yang tersisa."
Dalam riwayat lain, Khabib mengucapkan doa, "Ya Allah, aku tidak menemukan utusan untuk mengabarkan keadaan kami kepada RasulMu. Sampaikan salamku untuknya!" Jibril kemudian menemui Nabi Saw untuk memberitahukan keadaan Khabib dan menyampaikan salamnya. Para sahabat melihat Rasulullah Saw yang saat itu sedang duduk berkata, "Salam kembali untuknya. Khabib telah dibunuh suku Quraisy." (HR Al-Baihaqi dan Abu Na`im dari jalur Musa bin Uqbah, dari Ibn Syihab, dari `Urwah)

Kisah 2

Allah telah mengabulkan doa `Ashim sebelum ia dibunuh yang memohon kepada Allah untuk mengabarkan keadaan pasukannya kepada Rasulullah. Hari itu juga, di lain tempat Rasulullah Saw memberitahukan keadaan mereka kepada kaum muslimin. Suku Quraisy mendatangi jenazah Ashim untuk mengambil bagian tubuhnya yang mereka inginkan, karena 'Ashim telah membunuh salah seorang pembesar suku Quraisy pada waktu perang Badar. Akan tetapi Allah mengirim sekawanan lebah untuk melindungi dan mengamankan jenazah `Ashim, sehingga suku Quraisy tidak bisa memotong sedikit pun bagian tubuh Ashim. (Riwayat Bukhari)
Riwayat lainnya menceritakan bahwa ketika suku Hudzail berhasil membunuh `Ashim bin Tsabit, mereka menginginkan kepalanya untuk dijual kepada Sullafah binti Sa'ad, karena ia pernah bernadzar sewaktu anak laki-laki satu-satunya terbunuh, bahwa jika ia bisa memenggal kepala `Ashim bin Tsabit, sungguh ia akan meminum arak dari tulang tengkorak kepala `Ashim. Akan tetapi sekawanan lebah yang dikirim Allah untuk melindungi jenazah Ashim membuat mereka tidak bisa memenggal kepalanya. Karena sekawanan lebah itu menghalangi suku Hudzail mendekati jenazah `Ashim, mereka berkata, "Biarkan saja dulu sampai lebah itu pergi sehingga kita bisa mengambil jenazah Ashim." Namun Allah memerintahkan lembah untuk menelan Ashim dan membuatnya lenyap. Ashim telah berjanji kepada Allah bahwa ia tidak akan menyentuh orang musyrik dan tidak akan disentuh oleh mereka selama hidupnya, maka Allah menjaga `Ashim agar tidak disentuh orang musyrik ketika wafat sebagaimana semasa hidupnya." (Diceritakan oleh Al-Baihaqi dari jalur Ibnu Ishaq dari `Ashim bin `Umar bin Qatadah)
Kisah lainnya menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. mengutus Ashim bin Tsabit menemui orang-orang kafir. Kemudian mereka ingin memenggal kepalanya untuk diserahkan kepada Sullafah. Akan tetapi Allah mengutus sekawan lebah untuk menjaganya hingga mereka tidak bisa memenggal kepalanya. Adapun tentang Khabib disebutkan bahwa ia berdoa, "Ya Allah aku tidak mendapatkan seseorang untuk menyampaikan salamku kepada Rasul-Mu, maka sampaikanlah salamku untuknya." Saat itu juga di tempat yang lain, para sahabat melihat Rasulullah berkata, "Salam kembali untuknya." Para sahabat bertanya, "Untuk siapa ya Nabi?" Beliau menjawab, "Untuk saudara kalian, Khabib, yang telah terbunuh." (HR Baihaqi dan Abu Na'im dari Buraidah bin Salman Aslami)

Kisah 3

Amr bin Umayyah al. Dhamri bercerita, "Rasullah Saw menyuruhku mengambil jenazah Khabib sendirian. Aku menghampiri sepotong kayu yang digunakan orang-orang kafir untuk menyalib Khabib, setelah ia dibunuh. Aku menaiki kayu itu sambil mengedarkan pandangan karena takut ada musuh yang melihat. Aku melepaskan Khabib dan meletakkannya di atas tanah, lalu aku beranjak dari sana sedikit. Ketika aku menoleh lagi, jenazah Khabib sudah tidak ada, seolah-olah ditelan bumi. Hingga kini jenazah Khabib tidak diketahui keberadaannya." (Riwayat Ibnu Ahi Syaibah dan Al-Baihaqi Ja'far bin `Amr bin Umayyah al-Dhamri)
Riwayat yang lain menceritakan bahwa Rasulullah Saw. menyuruh Migdaq dan Zubair untuk menurunkan Khabib dari kayu salib. Mereka berdua sampai di daerah Tan'im, dan menemukan di sekitar Khabib ada 40 orang sedang memanggang sate. Lalu mereka menurunkan Khabib, dan Zubair membawanya ke atas kudanya. Jenazah Khabib masih segar dan tidak berubah sedikit pun. Orang-orang musyik mengejar mereka berdua. Ketika mereka berhasil menyusul, Zubair melemparkan jenazah Khabib, dan tiba-tiba jenazahnya lenyap ditelan bumi. Oleh karena itu, Khabib disebut 'orang yang tertelan bumi'. (Diriwayatkan oleh Abu Yusuf dalam kitab Al-Lathaif dari Al-Dhahhak)
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Pendahuluan

PENDAHULUAN
Ingatlah! sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat.
(QS Yunus [10]: 62-64)
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Segala puji bagi Allah, Tuhan penguasa seluruh alam, Zat yang memuliakan hamba-hamba-Nya yang saleh yang Dia kehendaki dengan menganugerahkan berbagai karam ah, yang merupakan bagian dari mukjizat para nabi yang diutus dan bukti kebenaran agama-Nya yang lurus. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan ke haribaan Rasul yang utama, penghulu segenap makhluk, junjungan kita Muhammad yang jujur lagi tepercaya, yang dianugerahi Allah mukjizat paling banyak bila dibandingkan dengan seluruh nabi dan rasul. Beliau adalah wali termulia di tengah-tengah umatnya dengan karamah paling sempurna dibandingkan dengan wali-wali yang mendahuluinya.
Kitab ini saya beri judul Jami' Karamat al-Auliya' (Karamah-karamah wali Allah), karena dalam kitab ini, saya menghimpun karamah para wali yang belum pernah dibukukan sebelumnya. Setiap karamah umumnya saya sandarkan pada pemilik aslinya, kalau ia dikenal atau —ini jarang sekali— saya nisbatkan pada periwayatnya, jika nama wah itu tidak begitu dikenal orang. Setiap karamah saya rujukkan pada kitab yang saya kutip, kecuali yang saya saksikan sendiri atau saya dengar langsung dari seseorang yang telah menyaksikannya secara langsung.
Saya menyebutkan beberapa referensi yang banyak saya kutip, agar dapat diketahui bahwa tidak ada kesamaan dalam bab-babnya dan supaya tidak ada satu karamah yang dilekatkan pada orang yang tidak memilikinya. Kitab-kitab tersebut di antaranya:
  1. Misykat al-Mashabih karya Waliyyuddin al-Tabrizi (disusun tahun 737 H.). Dari kitab ini saya mengutip kurang lebih seratus hadis tentang mukjizat.
  2. Al-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi (wafat tahun 606 H.). Dalam pendahuluan, saya mengutip penjelasan Al-Razi tentang ketetapan karamah para wali, termasuk juga karamah para sahabat Nabi.
  3. Al-I'tibar karya Amir Usamah bin Munqidz (wafat tahun 584 H. di Damaskus).
  4. Al-Risalah al-Qusyairiyyah karya Abu al-Qasim al-Qusyairi (wafat tahun 465 H. di Naisabur).
  5. Mishbah al-Zhallam fi al-Mustaghitsin bi Khair al-Anam 'alaihi al-Shalat wa al-Salam karya Abu 'Abdullah bin al-Nu'man al-Marakisyi (wafat tahun 683 H.).
  6. Ruh al-Quddus, Al-Futuhat al-Makiyyah, Mawaai' al-Nujum, dan Al-Muhadharat karya Al-Syaikh al-Akbar Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi (wafat tahun 636 H.).
  7. Raudh al-Rayyahin dan Nasyr al-Mahasin karya Imam al-Yafi'i (wafat tahun 768 H.).
  8. Tuffah al-Arwah karya Kamaluddin Muhammad bin Abi Hasan 'AU al-Siraj al-Rifa'i al-Qursy al-Syafi'i (hidup pada abad ke-8 H., satu masa dengan Al-Subki dan Ibnu Taimiyyah). Kitabnya yang berjudul Karamat al-Auliya' terdiri dari 2 jilid, tetapi yang saya temukan hanya jilid pertama.
  9. Syarh al-Hikam al-'Athaiyyah karya 'Arif bin 'Ibad (wafat tahun 792 H)
  10. Tuhfatul Ahbab karya Al-Sakhawi yang membicarakan wah-wali yang dimakamkan di Mesir. Al-Sakhawi hidup pada abad ke-9 H., ia bukanlah Al-Hafidz al-Sakhawi yang terkenal itu.
  11. Ayisyarai U Amakin al-Ziyarat fi Dimasyqa al-Syam karya Ibnu al-Haurani, hidup pada abad ke-11 H.
  12. Tuhfah al-Anam fi Fadhail al-Syam karya Syaikh Jalaluddin al-Bishyri al-Dimasyqi, disusun pada tahun 1002 H.
  13. Thabaqah al-Khaiuwash min Ahli al-Yaman karya Imam Zainuddin Abil 'Abbas Ahmad bin Ahmad bin 'Abdil Lathif al-Syarji al-Zubaidi, penyusun Mukhtashar al-Bukhari (wafat tahun 893 H. di daerah Zubaidi, Yaman).
  14. Al-Anas al-Jalil karya Qadhi 'Abdurrahman al-'Alimi al-Hanbali (wafat tahun 927 H.).
  15. Al-Syaqaiq al-Nu'maniyyah karya Thasyi Kubra(wafat tahun 893 H).
  16. Syarhu Ta'iyyah Ibn Habib Ashafdi dan Nasamat al-Ashar fi Karamat al-Auliya' al-Akhyar karya Sayyid Syaikh 'Ulwan al-Hamwi. Ia wafat pada 936 H. meninggalkan kitab Nasamat al-Ashar yang belum selesai disusun, seolah-olah baru berupa pendahuluan sebuah buku yang masih perlu disempurnakan.
  17. Qala'id al-Jawahir fi Manaqib Syaikh Abdil Qadir karya Syaikh Muhammad bin Yahya al-Tadzfi al-Hanbali (wafat tahun 963 H.).
  18. Al-Minan al-Kubra, Al-Bahr al-Maurud, Al-Ajwibat al-Mardhiyyah, dan Al-Thabaqah al-Kubra karya Imam 'Abdul Wahhab al-Sya'rani (wafat tahun 973 H.).
  19. Al-Thabaqah al-Kubra dan Al-Thabaqah al-Shughra karya Imam al-Munawi (wafat tahun 1001 H.).
  20. Al-Ibriz fi Manaqib Sayyid 'Abdil 'Aziz al-Dibaghi karya Ibnu al-Mubarak al-Fasi, mulai disusun tahun 1129 H.
  21. Al-Musyri' al-Rawi fi Manaqib Sadatina 'Ali Ba'alwi karya salah seorang ulama besar, Sayyid Muhammad bin Abi Bakar al-Syali Ba'alwi (wafat tahun 1093 H.).
  22. Al-Kawakib al-Sairah fi A'yan al-Mi'ah al-'Asyirah karya Syaikh Muhammad Najmuddin al-Ghazi (wafat tahun 1061 H. di Damaskus Syam).
  23. Nafhu al-Thayyib karya Syihab Ahmad al-Muqri (wafat tahun 1041 H)
  24. Khulasat al-Atsar fi A'yan al-Qarni al-Hadi 'Asyara karya Al-Muhibbi (wafat tahun 1111 H. di Damaskus).
  25. Khulasat al-Atsar fi A'yan al-Qarni al-Tsani 'Asyara karya Sayyid Muhammad Khalil al-Muradi, seorang mufti Syam (wafat tahun 1206 H.).
  26. Tarikh Mishra karya 'Abdurrahman bin Hasan al-Jabaruti (wafat tahun 7 H.).
  27. Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah karya Syaikh 'Abdul Ghani al-Nablusi (wafat tahun 1144 H.).
  28. Syarh al-Burdah karya Syaikhuna Hasan al-'Adwi al-Mishra (wafat tahun 1303 H. di Mesir).
  29. Hadaia al-Wardiyyah fi Haqaiq Ajla'i al-Naqsyabandiyyah karya Syaikh 'Abdul Majid, putra dari Syaikh Muhammad al-Khani al-Naqsyabandi (wafat tahun 1317 H. di Konstantinopel).
  30. Manaqib al-Quthbi al-Kabir Sayyid Syamsuddin al-Hanafi al-Mishri, disusun oleh Syaikh 'AU bin 'Umar al-Batnuni, karena saking ringkasnya maka kemudian disempurnakan dengan mengutip dari Thabaqah al-Sy a'rani,
  31. 'Umdat al-Tahqiq fi Basyairi 'Ali al-Shiddiq karya Syaikh Ibrahim al-'Abidi al-Maliki,
  32. Manaqib al-Quthbi Syamsuddin al-Hifni al-Mishri karya Syaikh Hasan Syammatul Mishri al-Fawi (murid Syaikh Syamsuddin).
  33. Manaqib al-Quthbi Sayyidi al-Syaikh Muhammad al-Jasri al-Tharabulusi karya putranya sendiri yaitu Al-'Allamah Syaikh Husain al-Maujud al-'An.
  34. Juga kitab saya sendiri Hujjatullah 'ala al-'Alamin yang sebagiannya saya kutip dari Al-Thabaqah karya Al-Subki. Kitab tersebut dipinjam oleh seseorang dari Mesir untuk dicetak beberapa tahun yang lalu, tetapi sampai sekarang belum juga kembali dan belum juga dicetak. Hanya Allah tempat memohon pertolongan.
Karamah para wali dalam kitab ini saya kutip dari 40 kitab lebih yang disusun oleh para wali agung, ulama-ulama agung yang diakui eksistensinya di seluruh penjuru dunia. Saya juga terkadang mengutip dari beberapa kitab lain dengan menyebut nama penyusunnya saja. Satu karamah terkadang dijelaskan dalam beberapa kitab. Dalam hal ini, saya cukup mengutip dari satu kitab saja. Misalnya, saya mengutip satu karamah dari kitab Al-Munawi, kemudian saya menemukan karamah tersebut juga ada dalam kitab Al-Thabaqah karya Al-Zubaidi yang lebih dulu ditulis daripada kitab Al-Munawi. Kemudian saya menemukannya lagi dalam kitab Al-Yafi'i yang lebih dahulu ditulis daripada kitab karya Al-Zubaidi. Maka saya akan tetap menggunakan kutipan saya yang pertama yakni dari kitab al-Munawi meskipun kitab yang saya kutip ditulis lebih belakangan.
Menurut saya, karamah-karamah yang disebutkan dalam kitab ini tidak kurang dari sepuluh ribu, mungkin pemilik karamah ini ada sekitar 1400-an wali, termasuk para sahabat Nabi dan orang-orang setelannya hingga saat kitab ini disusun, yang notabene tokoh-tokoh besar tak terkecuali beberapa karamah orang-orang yang tidak dikenal yang dijelaskan dalam penutup. Saya tidak membaca kitab-kitab berisi karamah dan cerita para wali yang ditulis dengan metode para muhadditsin seperti kitab Al-Zuhud karya Imam Ahmad, Hilyat al-Auliya' karya Abu Na'im, Shufuwwat al-Shufuwwah karya Ibnu Al-Jauzi, serta Karamat al-Auliya' karya Abu Muhammad al-Khilal, Ibnu Abi Dunya, dan Al-Lalakai. Kalaupun saya mengutip dari sebagian kitab tersebut, maka sesungguhnya saya mengutip dengan perantaraan orang yang mengutip darinya seperti Al-Munawi dan yang lain.
Perlu diketahui bahwa setiap karamah wali merupakan mukjizat bagi nabinya, seperti akan dijelaskan dalam pembahasan. Karamah para wali dari umat Muhammad Saw. adalah mukjizat yang membuktikan kebenaran dan kesahihan agama yang diemban Nabi. Inilah misi yang terkandung dalam penyusunan kitab ini, agar menjadi tambahan untuk kitab saya Hujjatullah 'ala al-'Alamin fi Mukjizat Sayyid al-Mursalin Saw. Tujuan penyusunan kitab ini bukan semata-mata untuk mengutip cerita-cerita historis dan hikayat yang dituturkan, untuk menimbulkan kesan kekaguman dengan karamah yang dianugerahkan Allah pada hamba-hamba-Nya yang khawwas (elit spiritual), yakni para sufi. Tujuan sebenarnya merujuk pada diri alim ulama dan orang-orang pilihan itu sendiri. Barangsiapa meyakini para wali dan meminta barakah melalui cerita-cerita dan atsar mereka, serta penyebaran karamah-karamah mereka, pada hakikatnya telah berusaha memperkuat keimanan kepada Allah dan kekuasaan-Nya yang maha dahsyat, juga memuliakan hamba-hamba-Nya yang saleh dan taat. Hal tersebut bermanfaat untuk mengokohkan kebenaran agama yang lurus dan mengakui kebenaran junjungan kita Nabi Muhammad Saw. sebagai penghulu para rasul yang paling bermanfaat, tinggi, dan agung. Dengan demikian, meyakini para wali dan karamah-karamahnya di samping akan menimbulkan keimanan bagi orang yang tidak beriman, juga akan semakin memperkuat iman bagi orang yang sudah beriman. Inilah tujuan utama penulisan kitab ini. Segala puji hanya milik Allah, penguasa segenap pujian.
Saya mengurutkan nama-nama wali pemilik karamah secara alfabetis. Pada umumnya, setiap huruf diurutkan berdasarkan masa hidup wali, sebagian lagi diprediksi jika saya tidak mengetahui tahun wafatnya. Karamah-karamah yang tidak diketahui nama pemiliknya saya letakkan di bagian penutup, tetapi saya mengutipnya dari para periwayat dan penulis kitab yang tepercaya. Bab pendahuluan merupakan bagian yang sangat penting, yang menjelaskan maksud dan faedah karamah para wah, ketetapan karamah dan jenis-jenisnya, serta tingkatan-tingkatan wali, sehingga kitab ini menjadi sebuah kitab yang ringkas.
Saya menyertakan lebih dari 100 hadis yang berkaitan dengan mukjizat Nabi Muhammad Saw., baik yang shahih maupun hasan (dalam terjemahan ini, 100 hadis tersebut diklasifikasikan dalam beberapa tema). Saya tampilkan pula hadis-hadis tentang karamah 54 sahabat menurut urutan abjad, juga karamah wali-wali yang bernama Muhammad untuk mengagungkan nama yang mulia ini, seperti yang dilakukan oleh para sejarahwan, di antaranya Imam Nawawi dalam Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat. Beberapa wah yang tidak saya ketahui nama aslinya dan terkenal dengan nama kunyah atau laaab (gelar), maka yang saya gunakan adalah nama tenarnya, diikuti penyebutan nama aslinya.
Sebelum memulai pembahasan, saya akan mengutarakan beberapa catatan yang perlu diketahui oleh pembaca kitab ini:
  1. Nama-nama wali pemilik karamah dalam kitab ini diurutkan secara alfabetis, dengan pertimbangan nama semata tanpa memperhatikan sifat-sifatnya. Bila ada beberapa nama yang sama, maka penentuan yang didahulukan atau diakhirkan tergantung pada sejarahnya dengan mempertimbangkan masa hidupnya. Untuk orang-orang yang tidak diketahui masanya, saya beri keterangan "ini perkiraan", mungkin kalau saya mau bersusah payah untuk melacak, saya akan menemukan sejarah dan waktu wafat sebagian dari mereka. Namun kesibukan menghalangi saya untuk melakukan kegiatan tersebut. Banyak pemilik karamah yang dikenal dengan nama kunyah (julukan dengan menggunakan kata Abu, Ummu, atau Ibnu), laqab (gelar kehormatan), atau nasab (keturunan) mereka tanpa saya ketahui nama asli mereka. Saya menyebut mereka berdasarkan urutan huruf yang sesuai dengan sifat mereka yang paling dikenal, baik laqab maupun kunyahnya. Tidak mungkin nama kuniyah Abu al-Hasan, lalu saya sebut 'Ali, bila dalam referensi tidak ada penjelasan nama 'Ali. Kuniyah menunjukkan bahwa itulah namanya. Ada juga wali yang mempu nyai dua nama kunyah dan laqab secara bersamaan, bila demikian, saya menjelaskan karamah berdasarkan huruf yang sesuai dengan nama itu, karena mengikuti sifat yang lebih dikenal.
  2. Kadang-kadang saya meringkas penjelasan tentang karamah wali dengan mengemukakan substansi biografinya saja, adakalanya karena metode buku rujukan, tetapi adakalanya karena begitu banyaknya karamah yang dimilikinya dan karena sudah terkenalnya sang wali. Jika demikian, maka saya berupaya meringkas dan tidak berpanjang lebar menuturkannya. Misalnya beberapa karamah Sayyid 'Abdul Qadir al-Jailani, Sayyid Muhammad Hanafi, Sayyid Muhammad al-Hifni, Sayyid Muhammad al-Jasr al-Tarabulusi, dan lain sebagainya. Mereka memiliki banyak karamah yang diceritakan dan masyhur dalam beberapa kitab yang disusun khusus tentang karamah.
  3. Jika ada wali pemilik karamah yang sudah diketahui tanggal wafatnya namun tidak dituliskan, maka akan dikemukakan tanggal wafatnya setelah penjelasan tentang karamahnya. Penambahan tersebut tentu bukan suatu kesalahan.
  4. Semua orang menjelaskan biografi para wali dengan sumber penyaksian langsung. Saya mengumpulkan dan mengutip sebagian karamah tersebut dari mereka. Saya menyaksikan dan meyakini kewalian dan karamah mereka karena kesaksian saya kepada para penutur cerita itu. Mereka mengetahui hakikat dan rahasia-rahasia Allah. Demi Allah, saya sendiri bukan orang yang memiliki kewalian secara khusus dan bukan ahli kasyf, sehingga saya bisa mengetahui para wali Allah dengan pengetahuan sejati. Barang-siapa sepakat dengan prasangka baik saya, maka itulah yang saya kehendaki. Namun, jika tidak, maka semoga Allah mengampuni saya dan dirinya. Maha Suci Allah dari segala sesuatu. Dia mengetahui segala ciptaan, sementara kita meng-hukumi sesuatu secara lahiriah. Allah-lah pelindung kegaiban. «
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Penutup: Biografi Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Yusuf al-Nabhani adalah ulama yang sangat alim, cerdas, wara', pemberi hujjah, takwa, dan ahli ibadah. Ia selalu menyenandungkan cinta dan pujian untuk Rasulullah Saw dalam bentuk tulisan, kutipan,riwayat, karangan, dan kumpulan syair. Nama lengkapnya adalah Nasiruddin Yusuf bin Isma`il al-Nabhani, keturunan Bani Nabhan, salah satu suku Arab Badui yang tinggal di Desa Ijzim, sebuah desa di bagian utaraPalestina, daerah hukum kota Haifa yang termasuk wilayah Aka, Beirut. Al-Nabhani lahir pada 1265 H dan dibesarkan di Ijzim. Ia menghafal Al-Qur'an dengan berguru kepada ayahandanya sendiri, Isma'il bin Yusuf, seorang syaikh berusia 80 tahun. Pada usia lanjut, Isma`il bin Yusuf masih dikaruniai akal, pancaindra, kekuatan, dan hafalan yang sempuma, rajin beribadah, dan bacaan Al-Qur'an-nya sangat bagus. Setiap tiga hari sekali, Isma`il mengkhatamkan Al-Qur'an, hingga khatam tiga kali dalam seminggu. Keistimewaan dan kelebihan ini sangat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan pribadi Yusuf al-Nabhani, yang selalu dibekali hidayah dan ketakwaan dari ayahnya yang saleh di lingkungan yang bersih dan suci.
Selesai mengkhatamkan hafalan Al-Qur'an, Yusuf al-Nabhani disekolahkan orang tuanya ke Al-Azhar, dan mulai bergabung pada Sabtu awal Muharram 1283 H. Ia tekun belajar dan menggali ilmu dengan baik dari imam-imam besar dan ulama-ulama umat yang kritis dan ahli ilmu syariat dan bahasa Arab dari empat imam madzhab.
Ia sangat tekun berikhtiar dan meminta bimbingan kepada orangorang berilmu tinggi yang menguasai dalil aqli dan naqli, sehingga ia dapat mereguk samudra ilmu mereka dan mengikuti metode keilmuan mereka. Hal ini berlangsung sampai bulan Rajab 1289 H. Kemudian ia mulai berkelana meninggalkan Mesir untuk ikut serta menyebarkan ilmu dan mengabdi kepada Islam, agar bermanfaat bagi kaum muslimin dan meninggikan mercusuar agama.
Ketika namanya semakin terkenal, bintangnya semakin bersinar, dan banyak orang mendapatkan bimbingan dan petunjuk darinya, ia diangkat sebagai pejabat pengadilan di wilayah Syam, dan akhirnya menjadi ketua Pengadian Tinggi di Beirut. Pekerjaannya itu dijalaninya dengan penuh kesungguhan dan niat menolong serta dianggapnya sebagai ibadah disertai niat yang tulus ikhlas. Hatinya senantiasa berzikir dan membaca Al-Qur'an, banyak bershalawat untuk Rasulullah Saw., keluarga, dan sahabat-sahabat beliau. Yusuf al-Nabhani selalu mengisi waktu malam dan siangnya dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan sunnah tanpa henti, bosan, atau lupa. Tak terhitung banyaknya peristiwa luar biasa yang terjadi padanya, peristiwa-peristiwa yang hanya dikhususkan untuk para wali dan hamba Allah yang selalu dekat dengan-Nya.
la juga tidak meninggalkan aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan orang-orang yang luhur dan dicintai, yakni menyusun dan mengarang berbagai kitab yang sangat mengagumkan. Imam besar ini diyakini mendapatkan ilham kebenaran dari Allah. Kitab-kitabnya yang bernilai tinggi dan agung membahas berbagai disiplin ilmu; ilmu hadis, sejarah Nabi, pujian untuk Nabi, tafsir, pembelaan terhadap Islam, pujian kepada Allah Swt., kisah-kisah tentang wali-wali Allah dan orang-orang khusus-Nya, dan lain sebagainya. Kitab-kitab tersebut tidak mungkin lahir dari kemampuan individualnya belaka, tetapi dibantu dengan karamah, kekuatan, dan pertolongan dari Allah Swt. Jika Allah mencintai hamba-Nya yang benar, maka Dia menjadikan pendengaran-Nya sebagai pendengaran hamba- Nya, dan penglihatan-Nya sebagai penglihatan-hamba-Nya.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani

Penutup: Guru-guru Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani

Yusuf al-Nabhani mereguk samudra ilmu dan imam-imam ternama di Al-Azhar. Di antaranya adalah:
  • Syaikh Yusuf al-Barqawi al-Hanbali, syaikh pilihan dari mazhab Hanbali
  • Syaikh Abdul Qadir al-Rafi'i al-Hanafi al Tharabulusi, syaikh pilihan dari masyarakat Syawam
  • Syaikh Abdurrahman al-Syarbini al-Syafi`i
  • Syaikh Syamsuddin al-Ambabi al-Syafi'i, satu-satunya syaikh pada masanya yang mendapat julukan Hujjatul Ilmi dan guru besar Universitas Al-Azhar pada masa itu. Dan gurunya ini, Yusuf al-Nabhani belajar Syarah Kitab al-Ghayah wa al-Tagrib fi Fighi al-Syafi`iyyah karya Ibnu Qasim dan Al-Khathib al-Syarbini, dan kitab-kitab lainnya dalam waktu 2 tahun.
  • Syaikh Abdul Hadi Naja al-Ibyari (wafat tahun 1305 H.)
  • Syaikh Hasan al-'Adwi al-Maliki (wafat tahun 1298 H.)
  • Syaikh Ahmad al-Ajhuri al-Dharir al-Syafi`i (wafat tahun 1293 H.)
  • Syaikh Ibrahim al-Zuru al-Khalili al-Syafi'i (wafat tahun 1287 H.)
  • Syaikh al-Mu'ammar Sayyid Muhammad Damanhuri al-Syafi`i (wafat tahun 1286 H.)
  • Syaikh Ibrahim al-Saga al-Syafi'i (wafat tahun 1298 H) Darinya, Yusuf al-Nabhani mempelajari kitab Syarab `al-Tahrir dan Manhaj karya Syaikh Zakaria al-Anshari al-Syafi`i, berikut catatan pinggir kedua kitab tersebut, selama tiga tahun, hingga Al-Nabhani dianugerahi ijazah sebagai pertanda atas kapasitas dan posisi keilmuannya.
Artikel ini adalah bagian dari buku Kisah Karomah Wali Allah karangan Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani