Kerusuhan Massa Terus Mengintai
Oleh Ihyarul Fahmi
Akhir-akhir ini kita selalu disuguhi berbagai peristiwa-peristiwa kerusuhan (konflik) dari berbagai wilayah Nusantara sebagai akumulasi kekecewaan dan kemarahan, sikap anarkhisme pun tak terbendung, mobil, sepeda motor, bangunan pemerintah dibakar massa dan dijarah. Berbagai motif mewarnai setiap kerusuhan yang terjadi.
Peristiwa Tanjung Priuk yang menewaskan 3 Satpol PP dalam bentrok dengan pendukung Makam Mbah Priuk (Rabu, 14/4). Konflik yang disulut oleh lahan sengketa antara PT Pelindo II dengan ahli Waris makam pun mengalami kerugian, baik jiwa maupun materiil. Kerusuhan Priuk menular ke tempat lain, tepatnya di Duri Kosambi, Tangerang, Banten (Minggu, 30/5). Konflik ini muncul karena hal sepele, yakni serempetan mobil Honda Jazz dengan Taksi, yang berujung pada kematian Endit. Kerusuhan pun kemudian terjadi atas nama etnis, Betawi dan Madura.
Mojokerto, kota nan Indah di Jawa Timur rusuh (Jumat, 21/5), kedewasaan berpolitik nampaknya menjadi isu utama kerusuhan Pemilukada, yakni salah satu calon bupati tidak lolos verifikasi oleh KPU. Motifnya pun sama dengan kasus kerusuhan pasca pilkada Tuban, yakni massa pendukung pasangan yang kalah, protes dengan hasil yang dimenangkan Haeny-Lilik. Massa pun membakar kantor KPUD, Pendopo Bupati, dan rumah dinas Bupati Tuban, dua rumah warga serta hotel mustika dan sebuah SPBU milik Bupati terpilih Haeny.
Kini, Pilkada Nusa Tenggara Barat (6/7) berlangsung rusuh setelah perhitungan berakhir di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa. Ferry Zulkarnen dan Syarifudin M Nor yang unggul sementara dari calon-calon lain. Kecewa, Massa membakar kantor secretariat DPD Partai Golkar, dan satu unit mobil dihancurkan massa.
Konflik
Konflik berasal dari kata latin configure yang artinya saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses social antara dua orang atau lebih (bisa kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya dan membuat tidak berdaya.
Kekerasan kerap mewarnai peristiwa seperti Pilkada dan kasus-kasus sengketa. Kekalahan diartikan kalah segala-galanya, anarkhisme bentuk ekspresi tidak menerima ‘siap kalah’ (siap dipimpin dan siap memimpin). Belajar dari kasus kerusuhan Tanjung Priuk, Konfrontasi etnis Betawi-Madura Duri Kosambi Banten, kisruh Pilkada Mojokerto, serta yang terbaru amuk massa di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat menimbulkan kekhawatiran bahwa kerusuhan serupa pun bisa menjalar ke berbagai tempat dengan berbagai motif dan corak.
Tercatat berbagai kerugian menggurita besarnya segi materiil maupun immaterial. Selain itu menumbuhkan rasa dendam, benci, saling curiga, dengki hingga menciptakan keretakan hubungan (horizontal) antar kelompok yang lama-kelamaan menjadi bahaya laten persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berita-berita media massa baik cetak maupun visual terkesan menampilkan Jurnalisme perang yang memberitakan kerusuhan massa dengan berita-berita dengan meliput kekerasan sebagai penyebab kekacauan. Akibatnya, kesan yang ditampilkan adalah suasana peperangan. Fakta jatuhnya korban tewas, korban luka-luka, pembakaran kantor-kantor pemerintah (KPUD, rumah dinas), mobil dinas dan sebagainya lebih ditonjolkan berbanding terbalik dengan apa penyebab utama kerusuhan itu muncul.
Dari pemberitaan tersebut, kesan yang ada adalah Indonesia penuh dengan konflik kekerasan diberbagai daerah dan tentu saja masuk travel warning bagi Negara wisatawan bersangkutan, padahal Indonesia adalah negeri cinta damai. Kasus-kasus kerusuhan seperti itu tidak perlu terjadi lagi, ketika peran media sebagai media perdamaian (Jurnalisme Damai). Annabel McGoldrik dan Jake Lynch (2000) dalam Jurnalisme damai memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan, rumusnya Perdamaian=Non violence + Kreatifitas. Logika yang dipakai adalah win-win solutions.
Apakah kerusuhan massa yang disebabkan oleh Pemilukada ataupun persoalan sengketa merupakan indikasi munculnya konflik vertical dan horizontal yang tidak terselesaikan, jika tidak terkendali bisa menyebabkan kepada situasi Negara terpecah-pecah.
Gejala ini menunjukkan demokrasi kita hanya sebatas procedural, belum menyentuh pada aspek pemerataan demokrasi ekonomi. Tantangan ini memang berat, perlu solusi kongkret dan pemimpin yang tegas, selain itu partai politik perlu memperkuat basis konstituennya dan relasi konsolidasi demokrasi.
Gegap gempita piala dunia 2010 Afrika Selatan merupakan momentum untuk duduk bersama melepas energi negatif pertarungan memperebutkan akses kekuasaan baik ekonomi maupun politik. Kasus-kasus anarkhis hendaknya mendasari pola pikir massa bahwa konflik yang berujung anarkhis disertai unsur kekerasan tidaklah menguntungkan, semua rugi. Jiwa sportifitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan kemanusiaan adalah watak budaya negeri ini. Hidup bersama dengan penuh cinta kasih merupakan anugerah Yang Maha Kuasa kepada Bumi Nusantara ini.
Menang atau pun kalah bukan soal, yang terpenting adalah hikmah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konflik tuk menuju kepada perubahan yang lebih baik dan bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar